Memahami Sulitnya Berlibur Tanpa Bepergian
Berlibur dan bepergian adalah dua hal yang saling berlekatan. Liburan kreatif menjadi pilihan mengisi kekosongan yang aman.
Berlibur tanpa bepergian ke luar wilayah adalah hal sulit. Namun, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih belum usai, masyarakat perlu kreatif untuk mengisi liburan tanpa bepergian. Jangan sampai agenda berlibur justru menambah lonjakan jumlah kasus positif Covid-19 untuk kesekian kalinya.
Liburan dan wisata menjadi sebuah dilema sejak awal pandemi di Indonesia. Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020 lalu, industri pariwisata mengalami kerugian besar. Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, kerugian di industri ini sudah mendekati Rp 1.000 triliun yang berimbas ke 18 juta pekerja di sektor manufaktur dan 12 juta pekerja di sektor pariwisata.
Setidaknya ada tiga faktor, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar di sejumlah daerah, menurunnya daya beli masyarakat, dan aspek psikologis masyarakat yang takut tertular Covid-19 bila berwisata. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun mencoba mengatasi permasalahan ini dengan memberikan insentif kepada para pelaku industri pariwisata dan melakukan promosi wisata dengan menjaga protokol kesehatan.
Uniknya, muncul pola baru masyarakat dalam berlibur atau bepergian ke daerah lain. Tiap kali ada beberapa hari libur yang berderet, masyarakat melakukan mobilitas ke luar daerah dan bersamaan dengan itu, dua minggu kemudian kasus positif Covid-19 mengalami peningkatan pertumbuhan.
Libur panjang pertama adalah cuti bersama Hari Raya Idul Fitri pada 22-25 Mei 2020. Meski sebelumnya pemerintah sudah menetapkan larangan mudik, tapi tetap saja tidak mampu menahan laju mobilitas masyarakat. Imbasnya, terjadi peningkatan kasus positif sebanyak 69 hingga 93 persen pada periode 6-28 Juni 2020.
Kemudian, pada 15-17 Agustus 2020 ada waktu masa liburan yang memanfaatkan akhir pekan yang disambung oleh HUT Kemerdekaan RI. Pemberitaan Kompas pada 16 Agustus 2020 mencatat, kondisi lalu lintas di jalur wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menuju Jakarta dan sekitarnya terpantau padat. Mobilitas masyarakat pada liburan singkat berimbas pada peningkatan kasus positif sebesar 59 hingga 188 persen pada periode 1-3 September 2020.
Selanjutnya di akhir Oktober, tepatnya pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ditemukan lagi momen liburan singkat pada 28 Oktober 2020 hingga 1 November 2020. Hasil tes cepat yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor selama libur panjang akhir pekan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, menunjukkan adanya potensi penyebaran Covid-19 di kalangan wisatawan (Kompas, 2/11/2020). Akibatnya, peningkatan kasus positif dialami selama 8-22 November 2020 dengan jumlah 17 hingga 22 persen.
Seakan tidak belajar dari sebelumnya, peningkatan kasus positif juga terjadi setelah liburan panjang akhir tahun 2020. Tercatat pada 22 Januari 2021, terjadi penambahan 3.792 kasus sebagai imbas mobilitas yang tinggi di akhir tahun. Kala itu Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Murtado menekankan bahwa di akhir Januari hingga awal Februari 2021 kasus positif harian mencapai rata-rata 170.000 kasus per hari.
Melihat pola liburan dan kaitannya dengan meningkatnya kasus aktif, maka ada dilema antara upaya meningkatkan kembali industri pariwisata dan kebiasaan berlibur masyarakat. Dilema ini dapat menemukan solusinya melalui transformasi liburan di tengah pandemi, seperti misalnya staycation yang selama ini dipromosikan oleh sejumlah hotel dan villa.
Dilema wisata
Sejatinya, berlibur memang sulit dipisahkan dari aktivitas bepergian dari satu daerah ke daerah lainnya. Sejarah kemunculan liburan dapat ditelusuri dari kebudayaan yang dipraktikkan oleh masyarakat Yunani Kuno. Pada masa itu, cikal bakal wisata sudah ada ketika masyarakat menyelenggarakan berbagai festival (seperti ritual untuk dewa-dewi) hingga perlombaan di gelanggang olahraga.
Jika merujuk berdasarkan akar katanya, liburan berasal dari bahasa Latin (vaca) yang berarti “kekosongan”. Dalam bahasa Inggris istilah ini dibahasakan menjadi vacancy dan sedikit berbeda dengan istilah holiday yang merujuk ke hari libur karena hari raya (keagamaan atau nasional) yang berlangsung satu atau dua hari saja. Maka, liburan memang berarti mengisi kekosongan (waktu) dengan kegiatan lain di luar rutinitas.
Budaya berlibur ini kemudian dikembangkan oleh masyarakat Romawi, yakni dengan pergi bersama-sama ke dari kota besar ke daerah-daerah kecil. Kota Pompeii menjadi salah satu tujuan plesiran warga Romawi kala itu dan di sana mereka membangun vila-vila mewah untuk menetap sementara. Hingga kini, kota Pompeii masih terkenal sebagai wisata yang menyajikan situs sejarah dan pemandangan yang indah karena dekat Gunung Vesuvius.
Pada masa itu, salah satu yang tokoh terkenal yang sering berlibur ialah Kaisar Nero. Ia memiliki istana di Antium, daerah pinggir pantai yang berjarak sekitar 53 kilometer dari Kota Roma. Di sinilah ia bersantai ketika pasukan yang diperintahkannya membakar habis Kota Roma pada tahun 64.
Di masa berikutnya, tepatnya sejak abad ke-12 (Abad Pertengahan), masyarakat Eropa penganut Kristiani melakukan ziarah ke Santiago de Compostela. Ziarah ini dimulai dengan melakukan jalan kaki dari St. Jean Pied-du-Port, Prancis menuju Gereja Katedral Santiago de Compostela, Spanyol. Perjalanan ini memakan waktu 30 hingga 35 hari jalan kaki dengan jangkauan 25 hingga 27 kilometer tiap harinya. Kala itu, nilai ziarah religius jauh lebih berharga dari pada berlibur yang cenderung menghambur-hamburkan kekayaan.
Akan tetapi, pada Masa Kegelapan (Dark Ages) yang terjadi hingga akhir abad ke-15, fenomena berlibur atau berziarah hilang sementara waktu di Eropa. Sebab, terjadi pengekangan masyarakat oleh pemerintah, banyak terjadi peperangan dan adanya wabah mematikan. Berpelesiran hanya dilakukan oleh para anggota kerajaan dan bangsawan yang berdalih melakukan diplomasi dengan negara lain.
Aktivitas liburan yang mewah mulai menjadi tren pada akhir abad ke-17 hingga ke-18, ketika para bangsawan Eropa mulai memprakarsai sebuah tur besar (Grand Tour). Tur ini merupakan perjalanan tamasya yang dikhususkan untuk bangsawan muda dengan mengunjungi situs klasik peninggalan Masa Renaisans di Paris, Venesia, dan Florensia.
Pada Masa Revolusi Industri, liburan menjadi kebutuhan baru yang dimiliki masyarakat yang mulai mengenal sistem bekerja secara mekanis. Ditambah pula, penemuan alat transportasi massal seperti kereta api uap, menjadi pendukung terbangunnya budaya mengisi waktu liburan dengan bepergian ke daerah lain. Meski begitu, bepergian dengan pesawat terbang komersial belum ada saat itu karena pesawat lebih diperuntukkan untuk keperluan militer.
Kini, liburan sudah membudaya yang melekat pada manusia pekerja (homo faber). Liburan menjadi kebutuhan yang tidak kalah penting untuk menjaga kebugaran fisik dan mental di sela-sela rutinitas bekerja yang padat.
Hasil survei Kompas pada 27 Desember 2020 - 9 Januari 2021 mengungkapkan kerinduan publik untuk melakukan liburan jarak jauh, mengunjungi destinasi di kota-kota terdekat, serta berlibur di tempat kerabat setelah pandemi berlalu. Keinginan tersebut menggambarkan kebutuhan akan rekreasi bagi masyarakat. Akan tetapi, kebiasaan berlibur harus diubah seiring kondisi pandemi saat ini.
Kreatif
Dalam kesempatan-kesempatan liburan ke depan, ada baiknya masyarakat kembali pada esensi berlibur (Bahasa Latin: vaca) yang berarti mengisi kekosongan. Dengan situasi pandemi saat ini, kekhawatiran akan penularan virus korona masih menjadi pertimbangan sebagian publik untuk melakukan liburan. Sebanyak 21,5 persen responden mengungkapkan tidak melakukan rekreasi lokal karena takut tertular Covid-19.
Kondisi ini sekaligus menjadi refleksi bahwa berlibur tidak perlu dengan bepergian jauh, namun perlu mengembangkan kreativitas untuk mengisi kekosongan waktu tersebut. Melakukan hal menarik yang belum pernah dicoba atau menekuni hobi baru di rumah selama liburan dapat menjadi solusi mengisi kekosongan waktu yang aman. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Libur Lebaran Tanpa Mudik ke Kampung Halaman