Tak sampai satu bulan, Indonesia diguncang dua aksi terorisme. Padahal, pemerintah terus berupaya memberantas terorisme, bahkan di tengah pandemi Covid-19. Bagi masyarakat, terorisme tetap menimbulkan kekhawatiran.
Oleh
Rangga Eka Sakti/Litbang Kompas
·4 menit baca
Aksi teror yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, dan di Markas Besar Polri, Jakarta, beberapa saat lalu membekas di benak publik. Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan April 2021. Lebih dari 80 persen responden khawatir terhadap aksi terorisme yang terjadi belakangan ini, bahkan sebagian besar dari responden menyatakan sangat khawatir.
Kedua teror ini terjadi saat pandemi Covid-19 masih melanda. Tak ayal, upaya kontra-terorisme menjadi tantangan ketika pemerintah juga harus berjibaku untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang menurun seiring dengan pandemi. Di sisi yang lain, pemerintah juga harus mengatasi krisis kesehatan akibat Covid-19.
Secara umum, masyarakat mengapresiasi upaya pemerintah memberantas terorisme. Hasil jajak pendapat juga menunjukkan hampir tiga perempat responden menyatakan kinerja pemerintah sudah cukup baik dalam melawan terorisme. Sikap yang berbeda disampaikan 23 persen responden yang menilai kinerja pemerintah dalam memberantas terorisme masih belum baik.
Salah satunya terkait kinerja pemerintah dalam program reintegrasi bekas narapidana terorisme (napiter). Jajak pendapat menangkap, lebih dari 60 persen responden menyatakan hasil program reintegrasi napiter ke masyarakat belum optimal, terutama dalam mencegah mereka mengulang kembali aksi terornya.
Di sisi lain, responden cenderung terbuka kepada bekas napiter. Hal ini tampak dari sikap 49,9 persen responden yang menyatakan siap menerima bekas napiter kembali hidup di tengah masyarakat.
Keterbukaan masyarakat untuk menerima bekas napiter ini tidak hanya terekam dalam jajak pendapat kali ini saja. Hal yang sama juga terekam di jajak pendapat Kompas pada Februari 2020. Saat itu, masyarakat dihadapkan dengan isu WNI eks anggota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang hendak direpatriasi pemerintah.
Hasilnya, hampir separuh responden saat itu setuju bila mereka bisa pulang ke Indonesia setelah diteliti kadar radikalismenya, bahkan lebih bisa menerima jika mereka juga menjalani proses hukum dulu di Indonesia.
Sikap sebagian masyarakat yang relatif terbuka ini tidak lepas dengan anggapan bahwa teroris sebetulnya korban indoktrinasi. Sebanyak 72,4 persen responden menganggap, selain karena inisiatif sendiri, doktrin organisasi teroris juga memengaruhi pelaku teror untuk melancarkan aksi mereka. Dari jumlah itu, 48 persen di antaranya percaya teroris menjadi radikal murni karena terpapar doktrin kelompok teroris. Hanya 17 persen responden yang meyakini pelaku teror melakukan aksinya murni atas inisiatif sendiri.
Faktor ideologi
Berbicara indoktrinasi tentu tidak bisa dilepaskan dengan materi apa yang ditanamkan dalam diri pelaku teror. Jajak pendapat merekam, faktor ideologis, seperti radikalisme atas nama agama, menjadi yang paling berpengaruh. Faktor ideologis ini disampaikan lebih dari sepertiga responden.
Selain itu, hal tersebut juga didorong faktor tekanan ekonomi, seperti kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang kemudian diikuti sikap politik bahwa semua ini dilihat karena pemerintah yang mengakibatkan mereka hidup kekurangan. Hal ini juga terbaca dari pandangan responden yang menganggap faktor politis, seperti kebencian terhadap pemerintah, juga turut menyumbang terjadinya teror.
Namun, terlepas dari ketiga faktor tersebut, terdapat juga faktor perkembangan teknologi informasi dan internet serta faktor transnasional yang turut memberikan menjadi pemantik seseorang menjadi radikal dan terlibat dalam aksi teror.
Dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan internet, semakin mudah bagi mereka menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat. Tak hanya itu, fenomena ini juga bisa dimanfaatkan mereka yang terpapar ideologi radikal untuk belajar menjadi teroris secara otodidak. Sebagai contoh, seorang terduga teroris di Cilincing, Jakarta Utara, pada 2019 merakit bom triaseton triperoksida (TATP) setelah membeli semua bahannya secara online.
Deradikalisasi
Untuk melawan terorisme, selama ini program deradikalisasi menjadi rumusan yang acap diutarakan. Tak ayal, selain langkah yang sifatnya operatif, seperti penangkapan terduga teroris oleh Densus 88 Polri, deradikalisasi juga dijadikan ujung tombak program antiterorisme pemerintah.
Meski demikian, dengan adanya fenomena teror yang melibatkan bekas napiter, muncul pertanyaan soal keampuhan program deradikalisasi. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menunjukkan, sekitar 10 persen dari bekas napiter kembali terlibat aksi teror.
Tentu saja hal ini berbahaya karena satu orang residivis napiter saja mampu memberikan daya rusak yang luar biasa. Sebagai contoh, pelaku bom Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, 2016, yang menewaskan delapan orang dan menyebabkan puluhan orang luka-luka merupakan residivis kasus perampokan bank terkait pendanaan terorisme enam tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula bekas napiter yang berhasil lepas dari jerat jejaring terorisme. Mereka bisa kembali mencari nafkah dan terintegrasi dengan masyarakat seperti sediakala. Di antaranya dialami Ali Imron dan Ali Fauzi, bekas pelaku kasus Bom Bali I (2002), yang kini justru berperan aktif dalam program deradikalisasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemerintah melakukan program deradikalisasi dalam empat tahapan. Keempat tahapan itu adalah identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial.
Di tengah berbagai tantangan yang muncul, program deradikalisasi tetap akan menjadi kunci bagi upaya penanganan terorisme. Publik tentu berharap, sikap terbuka masyarakat dalam menerima bekas napiter kasus terorisme semestinya juga diikuti dengan kualitas program deradikalisasi. Dengan demikian, publik tidak akan merasa khawatir bekas napiter yang sudah menyatu kembali di tengah masyarakat akan kembali melakukan teror. Semoga.... (LITBANG KOMPAS)