Mendorong Metode Baru Penanganan Sampah Medis Covid-19
Di tengah pandemi, limbah medis banyak berasal dari penggunaan alat pelindung diri, seperti masker sekali pakai dan jarum suntik dari vaksinasi. Pengelolaan limbah medis ini menjadi tantangan tersendiri.
Pandemi Covid-19 belum usai. Limbah medis akibat penanganan Covid-19 pun terus bertambah. Sampah atau limbah medis tidak hanya dihasilkan dari aktivitas fasilitas kesehatan, tetapi juga dari penggunaaan alat pelindung diri, seperti masker sekali pakai dan jarum suntik dari vaksinasi.
Kondisi ini mengakibatkan perlunya penanganan yang cepat dan tepat terhadap sampah medis Covid-19. Pengembangan metode-metode baru dalam pengolahan sampah medis menjadi kian mendesak.
Limbah medis merupakan jenis limbah infeksius yang perlu penanganan khusus untuk mengurangi risiko penularan penyakit dan pencemaran lingkungan. Selain dari limbah B3 medis padat yang bersifat infeksius atau kontak dengan pasien dan petugas di fasilitas layanan kesehatan, limbah infeksius juga dapat berasal pemakaian masker di rumah tangga, limbah pada pemakaian alat tes cepat, ataupun limbah jarum suntik dari vaksinasi yang sudah berlangsung.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan surat nomor S-194/PSLB3/PLB.2/4/2020 tanggal 20 April 2020 perihal pelaksanaan pengelolaan limbah B3 medis dari kegiatan penanganan Covid-19 kepada kepala DLH provinsi seluruh Indonesia.
Berdasarkan laporan yang diterima KLHK sampai 4 Februari 2021, jumlah timbulan limbah Covid-19 sebanyak 6.417,95 ton. Dari data Kemenkes, sumber terbanyak adalah apotek (26.418 unit), puskesmas (9.825), klinik (7.641), rumah sakit (2.820), laboratorium kesehatan, unit transfusi darah, tempat praktik mandiri, dan lainnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam periode 19 Maret 2020 sampai dengan 4 Februari 2021, DKI Jakarta menjadi daerah dengan timbulan limbah medis terbanyak, yaitu 4.630,86 ton.
Jumlah sampah medis padat masih akan terus bertambah. Karena itu, penanganan Covid-19 tidak hanya penting dalam hal penyembuhan dan pencegahan bertambahnya korban, tetapi juga mendesak untuk mengelola sampah medis secara tepat.
Baca juga : Fasilitas Pemusnah Limbah Medis Diperbanyak
Apabila tidak ditangani secara serius dan cepat, dampaknya bisa lebih berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Terlebih, kapasitas pengolahan limbah B3 medis di beberapa daerah pun masih terbatas.
Ragam pengelolaan
Penanganan limbah infeksius atau B3 medis khusus Covid-19 sesungguhnya telah diatur khusus dalam Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tahun 2020 mengenai Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19).
Pengaturan limbah medis juga tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P56/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Menurut aturan tersebut, limbah infesius dari fasilitas pelayanan kesehatan harus disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari. Limbah ini setelah disimpan harus dimusnahkan dengan fasilitas insinerator dengan suhu pembakaran 800 derajat celsius.
Selain itu, limbah infeksius juga dapat dimusnahkan dengan cara diautoklaf yang dilengkapi dengan pencacah. Residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoklaf dikemas dan dilekati simbol ”beracun” dan label LB3 yang selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara. LB3 selanjutnya diserahkan kepada pengelola LB3.
Fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki peralatan insinerator ataupun autoklaf dapat melakukan penguburan dengan disinfeksi terlebih dahulu menggunakan disinfektan berbasis klor 0,5 persen serta merusak bentuk asli limbah supaya tidak dapat digunakan kembali.
Namun, penguburan limbah B3 hanya dapat dilakukan terhadap limbah medis berupa limbah patologis dan benda tajam. Selain itu, penguburan limbah tersebut juga harus sesuai dengan konstruksi yang ditetapkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2015 meski dapat dilakukan dengan menggunakan jasa perusahaan pengolahan yang berizin.
Masih ditemukannya limbah B3 medis di tempat pembuangan akhir (TPA) menunjukkan bentuk kelonggaran dan pengabaian atas masalah lingkungan dan manusia. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan kian mendesaknya masalah ini diatasi lewat metode yang tepat.
LIPI menawarkan beberapa opsi, terlebih dalam pengolahan limbah medis B3 padat, seperti masker. Menurut berbagai hasil riset LIPI tentang disinfeksi limbah masker, ada beberapa cara yang lebih sederhana dan bisa dilakukan. Disinfeksi limbah masker bedah, misalnya, dapat menggunakan pemanasan dengan oven selama 45 menit pada suhu 70 derajat celsius.
Namun, untuk masker N95, disinfeksi dapat menggunakan alkohol atau etanol 70 persen, pemanasan 70 derajat celsius selama 60 menit, atau menggunakan sinar ultraviolet dalam jarak 50 sentimeter selama 50 menit.
LIPI juga membuat alat-alat pensteril berbasis ultraviolet dengan menggunakan hidrogen peroksida. Disinfeksi juga dapat dilakukan dengan menyemprot masker dengan alkohol sebelum memasukkannya ke dalam wadah yang terpisah dari sampah lain.
Limbah padat infeksius juga dapat ditangani dengan teknologi plasma, yang lebih dikenal dengan nama plasma gasifikasi (gasification) dan pengkristalan atau vitrifikasi (vitrification).
Baca juga : Limbah Medis B3 Masker Sekali Pakai di DKI Tembus 12,785 Ton
Metode ini akan mengurai berbagai senyawa organik dan anorganik menjadi elemen-elemen dasar dari sebuah senyawa sehingga dapat didaur ulang. Plasma gasifikasi dan vitrifikasi dikenal sebagai teknologi bersih (green technology), yang sisa akhir dari proses pengolahannya berupa sintesis gas yang terdiri dari gas karbon monoksida dan hidrogen serta kerak logam yang tidak berbahaya (bukan B3).
Manfaat
Jika dikelola dengan benar, limbah medis B3 ini juga bisa mendatangkan manfaat dan peluang bisnis baru. Pengolahan limbah medis B3 yang dapat menghasilkan produk daur ulang akan dapat mengungkit aktivitas ekonomi.
Salah satu uji coba pengolahan limbah masker sekali pakai telah dilakukan tiga orang dari peneliti LIPI pada akhir 2020. Berdasarkan analisis FTIR dan DSC, kebanyakan masker sekali pakai berbahan polipropilen (PP) dengan titik leleh 163-169 derajat celsius sehingga dapat didaur ulang.
Dari beberapa metode sterilisasi, tim yang terdiri atas tiga anggota inti dari LIPI itu memilih cara mudah yang bisa diterapkan masyarakat. Setelah disterilkan dengan pemutih kain, limbah masker yang masih basah dikeringkan hingga seperti semula.
Limbah masker kemudian dicacah atau dipotong kecil-kecil. Proses selanjutnya, memasukkan cacahan itu ke dalam mesin esktruder hingga keluar hasil berupa bijih plastik daur ulang berbentuk pelet atau butiran padat yang keras.
Dari bahan baku tersebut, tim mencetak beberapa jenis barang plastik, seperti baskom dan lembaran plastik. Hasil kerja sama dengan sebuah politeknik tekstil, limbah masker itu menjadi tali plastik panjang seperti benang layangan.
Cara-cara baru yang ditawarkan ini seharusnya dikembangkan secara luas, terlebih di sejumlah daerah yang kesulitan dengan cara lama. Selain itu, advokasi juga harus dilakukan dari pusat kepada daerah.
Di sisi lain, pemerintah baik pusat maupun daerah juga harus terus memperbarui pengetahuan terkait teknologi pengolahan limbah, terutama limbah medis pada masa pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)