Pola Makan untuk Selamatkan Bumi
Pangan yang dikonsumsi masyarakat turut menyumbang kerusakan pada lingkungan. Membangun pola makanan yang sehat akan turut menyelamatkan Bumi.
Bumi menghadapi ancaman perubahan iklim. Pimpinan dunia, ilmuwan, pemerhati lingkungan, dan masyarakat umum harus terlibat dalam memulihkan Bumi. Salah satu upaya yang bisa diterapkan dalam keseharian adalah kesadaran pada jenis makanan yang akan dikonsumsi.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk perubahan iklim (COP) ke-25 yang diselenggarakan pada 2019 tidak berhasil menyepakati agenda-agenda penting dalam upaya mengendalikan suhu Bumi.
COP26 yang sejatinya diadakan di Glasgow, Inggris, pada tahun 2020 pun ditunda karena Covid-19. Risiko yang harus ditanggung umat manusia akan perubahan iklim pun semakin besar.
Berdasarkan Paris Agreement (Kesepakatan Paris), pemimpin-pemimpin dunia harus melakukan upaya ambisius dalam membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius sampai akhir abad ini.
Kesepakatan Paris adalah hasil COP21 tahun 2015 dan menjadi tonggak sejarah penting dalam penanganan perubahan iklim. Namun, hingga September 2019 saja, Badan Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan suhu Bumi sudah naik 1,1 derajat celsius.
Secara sederhana, perubahan iklim adalah naiknya temperatur rata-rata Bumi yang bertambah lebih cepat dari biasanya. Hal ini terjadi karena panas Matahari yang diserap Bumi tidak bisa dikembalikan karena terhalang oleh gas-gas yang terperangkap di atmosfer.
Gas-gas ini disebut sebagai gas rumah kaca. Komposisi terbesar dari gas rumah kaca adalah karbondioksida. Hingga akhir 2019, WMO melaporkan komposisi gas rumah kaca adalah 66 persen karbon dioksida, 16 persen metana, 7 persen nitrogen oksida, dan 13 persen gas lainnya.
Gas-gas ini muncul dalam jumlah yang tidak terbendung karena aktivitas manusia. Dari sisi produksi, gas rumah kaca terbentuk dari penggunaan bahan bakar fosil, pembukaan hutan untuk budidaya ternak, pembangunan gedung, hingga penumpukan sampah. Produksi gas rumah kaca makin tidak terkendali karena rusaknya ekosistem yang berfungsi menyerap emisi gas tersebut.
Daya dukung hidup seperti ekosistem hutan rusak dan hilang. Hutan dialihfungsikan menjadi pabrik, perkebunan tanaman industri, peternakan, hingga perumahan. Ekosistem terumbu karang dan biota laut juga terancam karena pencemaran air hingga eksploitasi sumber daya.
Upaya pemulihan Bumi pun banyak dikampanyekan, seperti bijak dalam menggunakan plastik, air, listrik, hingga kendaraan bermotor. Namun, itu saja ternyata tidak cukup. Salah satu usaha yang masih jarang orang praktikan adalah kesadaran pada apa saja yang ada di atas piring makanan.
Baca juga : Di Rumah Saja, Momentum Memperbaiki Pola Makan Anak
Pola makan
Pembicaraan tentang menyelamatkan Bumi perlu diperluas hingga diskursus tentang apa yang kita makan. Dalam laporan ”Global Food System Emissions Could Preclude Achieving Climate Change Target” yang diterbitkan jurnal Science pada 2020 menyebut, selain pembakaran bahan bakar fosil, sektor agrikultur juga punya peran krusial dalam menyumbang perubahan ikilm.
Tren sistem pangan global bergantung pada makanan berbasis hewan makin mengancam usaha pengendalian suhu Bumi.
Produksi pangan menghasilkan emisi karbon dioksiada dan metana. Pengelolaan sumber pangan berdampak pada alih fungsi hutan hingga pencemaran oleh penggembalaan ternak. Lembaga Climate Watch mencatat sumber gas rumah kaca global pada 2016 yang berasal dari jalan, perumahan, area komersial, industri, agrikultur, dan perikanan mendominasi hingga 30,4 persen.
Bidang transportasi dan industri konstruksi menyumbang masing-masing 15,9 persen dan 12,4 persen gas rumah kaca. Belum lagi kegiatan agrikultur yang kontribusi gas rumah kaca mencapai 11,8 persen.
Dalam artikel ”The Significance of Agricultural Source of Greenhouse Gases” yang diterbitkan lembaga Fertilizer Research pada 1994, aktivitas agrikultur menyumbang 25 persen dari toal emisi karbon dioksida, 65 persen metana, dan 90 persen nitrogen oksida. Studi selama lebih dari 20 tahun ini pun menyebut kontribusi emisi dari peternakan dan pertanian sebelumnya diremehkan.
Artinya, pangan yang diproduksi untuk dikonsumsi masyarakat turut menyumbang kerusakan pada lingkungan. Sayangnya, penelitian emisi pada sektor ini masih rendah dan cenderung enggan dibicarakan.
Brebt Loken, pakar pangan dari World Wildlife Fund (WWF), dalam wawancara dengan New York Times pada 12 Januari 2021 menyampaikan bahwa tujuan iklim tidak dapat dicapai tanpa perubahan dalam sistem pangan. Ia, bersama kelompok ilmuan The Lancet, merekomendasikan pengurangan 50 persen konsumsi global daging merah dan beberapa makanan lain hingga tahun 2050.
Pada 13 November 2017, jurnal BioScience menerbitkan manifesto ”World Scientists’ Warning to Humanity: A Second Notice” yang disampaikan 15.365 ilmuan dari 184 negara. Manifesto ini menegaskan tiga belas poin penting menjaga Bumi, salah satunya usaha untuk mempromosikan diet baru yang mengarah pada makanan berbasis tumbuhan.
Pada umumnya, pola makan atau diet menjadi topik yang masuk dalam perbincangan kesehatan ataupun gaya hidup. Figur-figur yang menerapkan pola makan sehat berbasis tumbuhan juga makin banyak bermunculan. Hal ini menjadi harapan untuk makin meningkatkan kesadaran betapa apa yang ada di isian piring saji kita bisa sekaligus menyelamatkan Bumi.
Baca juga : Atur Pola Makan Saat Lebaran
Film
Pola makan yang dapat menyelamatkan Bumi menjadi kampanye baru dalam mengatasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Keresahan pada penurunan daya dukung lingkungan memantik sejumlah sineas untuk membedah mengapa Bumi semakin berwajah nestapa.
Salah satunya adalah film dokumenter Seaspiracy yang ditayangkan perdana pada 24 Maret 2021 di platform pelantar digital Netflix. Film ini mengangkat persoalan degenerasi laut yang disebabkan oleh eksploitasi penangkapan ikan.
Sutradara sekaligus narator dalam film ini melakukan investigasi, menampilkan data, dan melakukan wawancara pada sejumlah ahli, akitivis, penulis buku, hingga korban dari perbudakan awak kapal. Film ini menyampaikan pesan bahwa cara kerja ekosistem laut dalam menjaga keseimbangan Bumi hanya mungkin terjadi jika tidak ada penangkapan ikan besar-besaran.
Selain Seaspiracy, film lainnya yang turut menyumbang narasi penting dalam kesadaran akan pangan demi memulihkan Bumi adalah Cowspiracy dan What the Health. Kedua film jenis dokumenter ini untuk menyampaikan pesan betapa kita perlu kembali memikirkan jenis makanan yang kita pilih demi dampak pada lingkungan hidup.
Pada akhirnya, Bumi selalu cukup untuk menghidupi berapa pun orang asal tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Ledakan populasi manusia yang digadang-gadang menyebabkan penggundulan hutan dan eksploitasi sumber daya, bukanlah persoalan jika semua bisa merasa cukup.
Tepat kalimat aktivis lingkungan muda Greta Thunberg, ”It is not the people who are the problem, it is our behaviour.” (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mencari Pola Makan Sehat