Bersepeda Semakin Jauh dengan MRT Jakarta
Tepat dua tahun melayani masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya, MRT menciptakan terobosan baru.
Sepeda nonlipat kini diperbolehkan masuk ke dalam kabin MRT yang artinya dapat menjangkau calon penumpang lebih luas, sekaligus memacu komuter mengayuh sepeda semakin jauh lagi.
Tanggal 24 Maret 2021, genap dua tahun MRT beroperasi melayani mobilitas sebagian warga DKI Jakarta dan sekitarnya. Hingga sekarang angkutan massal ini melayani jalur di fase I sepanjang 16 km dengan total 13 stasiun dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI. Dari jalur itu, MRT pernah mengangkut rata-rata hingga 90.000 penumpang per hari pada September 2019.
Masih belum besar memang jika dibandingkan dengan jumlah penumpang di Kereta Commuter Indonesia (KCI) dan Transjakarta. Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2019 KRL Jabodetabek telah melayani rata-rata hingga 921.000 penumpang per hari. Sementara di tahun yang sama, Transjakarta rata-rata mengangkut 800.000 penumpang.
Meski demikian, jumlah penumpang harian di atas 80.000 sudah menjadi prestasi tersendiri bagi MRT, mengingat jangkauan layanan angkutan ini masih kalah jauh dibandingkan dengan dua moda transportasi massal sebelumnya. Tahun 2019, KRL Jabodetabek telah memiliki panjang rute 418,5 km dengan total 80 stasiun. Sementara Transjakarta 204 km dengan 278 halte.
Dalam dua tahun beroperasi, MRT juga telah menciptakan sejumlah inovasi yang belum ditemukan di moda lain. Salah satunya kemudahan pembayaran tiket. Selain kartu single trip, multitrip, kartu Jaklingko, dan kartu elektronik bank, MRT juga menyediakan tiket di aplikasi MRT. Dari aplikasi itu, pembayaran dapat menggunakan uang elektronik, seperti OVO, Gopay, Dana, dan LinkAja.
Pada hari ulang tahunnya yang kedua, terobosan baru kembali diciptakan MRT Jakarta, yaitu sepeda nonlipat masuk kereta. Inovasi yang juga mulai diterapkan LRT Jakarta ini sebenarnya sudah ada di KCI dan Transjakarta, tetapi baru terbatas untuk sepeda lipat. Dengan diperbolehkan sepeda nonlipat berdimensi lebih besar, MRT dan LRT menjadi pionir penyedia fasilitas ini di Jakarta.
Baca juga: Transportasi yang Melipat Kepadatan Jalanan
Sepeda Nonlipat
Terdapat tiga stasiun yang disiapkan MRT dengan fasilitas sepeda nonlipat, yaitu Stasiun Lebak Bulus Grab, Blok M BCA, dan Bundaran HI. Fasilitas itu, di antaranya parkir sementara di sekitar mesin penjual tiket, toilet, dan mushala. Selain itu, juga telah disediakan jalur khusus sepeda di setiap tangga stasiun lengkap dengan tandanya untuk memudahkan mobilitas para pesepeda.
Menggunakan fasilitas ini perlu memperhatikan sejumlah ketentuan. Penumpang bersepeda hanya diperbolehkan di luar jam sibuk ketika hari kerja (pukul 07.00-09.00 dan pukul 17.00-19.00). Sementara khusus akhir pekan tidak terbatas waktu sesuai jam operasional MRT. Kereta khusus pesepeda adalah kereta nomor enam dengan kapasitas maksimal empat sepeda per keberangkatan.
Meski diperuntukkan bagi pesepeda nonlipat, terdapat standar dimensi yang diizinkan masuk. Maksimal 200 x 55 x 120 cm (P x L x T) dengan lebar ban tidak lebih dari 15 cm. Mengacu ketentuan itu, terpantau penumpang dengan berbagai tipe sepeda nonlipat mencoba fasilitas ini, termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan sepeda kesayangannya, tipe Skyliner merek Schwinn.
Adapun LRT Jakarta menerapkan standar dimensi yang sedikit berbeda. Sepeda nonlipat yang diperbolehkan maksimal 170 x 70 x 125 cm. Layanan baru ini baru dapat diakses di Stasiun Pegangsaan Dua dan Stasiun Velodrome sepanjang jam operasional. Kapasitas maksimal jumlah sepeda per keberangkatan lebih banyak, yaitu delapan sepeda.
Baca juga: Gerak Cepat Kereta Listrik Indonesia
Terlepas dari ketentukan yang diberlakukan, fasilitas sepeda nonlipat masuk kabin kereta sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah moda lain selain MRT dan LRT, di antaranya fasilitas rak depan untuk sepeda di Suroboyo Bus yang diterapkan sejak 1 Juli 2019. Setelah itu disusul fasilitas bagasi sepeda di KA Argo Parahyangan Excellence jurusan Jakarta-Bandung (pergi-pulang) sejak 1 Januari 2020.
Munculnya fasilitas ini di sejumlah moda transportasi umum bukan tanpa alasan. Di dalam tulisan Synergies from Improved Cycling-Transit Integration: Toward an integrated urban mobility system (Ronald Kager dan Lucas Harms, 2017) disebutkan, fasilitas sepeda masuk kabin merupakan salah satu bagian dari sejumlah komponen integrasi transit bersepeda.
Selain fasilitas itu, ada komponen untuk mengubah budaya bertransportasi dengan penyediaan sejumlah infrastruktur, seperti jalur khusus sepeda, jalur khusus bus, dan rambu-rambu di setiap persimpangan jalan, hingga rasa aman tercipta bagi setiap pengguna jalan raya, termasuk pesepeda yang harus berbagi ruang dengan berbagai jenis moda transportasi lain.
Setelah itu disusul skema persewaan sepeda dan fasilitas parkir sepeda di sekitar lokasi transit baik stasiun dan halte. Dengan dua komponen ini, setidaknya sepeda dapat menjadi alternatif baru bagi calon penumpang untuk menggapai dari dan ke lokasi transit, di samping beberapa pilihan yang sudah eksis sebelumnya, seperti berjalan kaki, bus pengumpan, maupun kendaraan pribadi.
Semakin jauh
Beberapa komponen di atas akan memengaruhi pola perjalanan dan penggunaan lahan di sekitar lokasi transit. Dibandingkan dengan berjalan kaki, radius tempuh perjalanan seseorang dengan sepeda akan meningkat hingga sembilan kali. Angka ini diperoleh dari hasil kuadrat selisih kecepatan bersepeda yang lebih cepat tiga kali dari berjalan kaki (5-6 km/jam versus 15-18 km/jam).
Sebagai contoh di Belanda, 500 meter merupakan radius berjalan ke halte bus lokal yang dapat diterima dan 2,2 km ke stasiun antarkota. Sementara jika mengunakan sepeda, akan lebih jauh lagi menjadi 1,5 km ke halte bus lokal dan 7 km ke stasiun antarkota. Dengan radius tempuh yang lebih luas ini membuat kian banyak rumah tangga terhubung dengan stasiun terdekat.
Tidak hanya itu, semakin luasnya radius tempuh perjalanan ini juga terjadi di lokasi transit tujuan. Hingga setelah keluar dari stasiun atau halte tujuan, penumpang dapat melanjutkan bersepeda menuju destinasi yang lebih jauh dan lebih bervariasi. Sepeda yang digunakan pun tidak harus milik pribadi, tetapi dapat memanfaatkan fasilitas persewaan sepeda di sekitar lokasi transit.
Kondisi inilah yang secara perlahan dapat mengubah penggunaan lahan di sekitar lokasi transit dalam radius cukup luas. Perjalanan yang semakin fleksibel dengan jarak tempuh cukup jauh dari bersepeda berpotensi menciptakan subpusat kegiatan baru di beberapa lokasi. Mereka saling terhubung membentuk jaringan, termasuk dengan pusat kegiatan di mana lokasi transit berada.
Beberapa komponen di atas sebenarnya sudah tersedia di sekitar stasiun-stasiun MRT fase I, mulai dari jalur sepeda yang menjulur panjang dari Jalan RS Fatmawati hingga Jalan Jenderal Sudirman, juga fasilitas persewaan sepeda gowes yang terletak tidak jauh dari stasiun. Berbasis daring, persewaan sepeda ini menjadi sangat mudah menggunakan aplikasi di ponsel pintar.
Dengan fasilitas yang cukup lengkap dan nyaman ini, diharapkan budaya transportasi baru nan ramah lingkungan dapat terwujud di jalur MRT. Terlebih dengan inovasi sepeda nonlipat masuk ke dalam kabin kereta di HUT-nya yang kedua. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan sulitnya bersepeda di Jakarta dalam jarak sangat jauh karena keterbatasan jenis sepeda yang dimiliki.
(LITBANG KOMPAS)