Potensi munculnya kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) memang tidak bisa dihindari. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan KIPI adalah melakukan penapisan status kesehatan individu sebelum vaksinasi.
Oleh
Yoesep Budianto
·5 menit baca
Potensi munculnya kejadian ikutan setelah vaksinasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Tingkat keparahan respons tubuh, antara lain, dipengaruhi oleh kerentanan psikis individu. Karena itu, keberanian untuk mengungkapkan kejujuran terhadap kondisi tubuh sebelum vaksinasi merupakan faktor yang dapat membantu menekan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI).
Proses vaksinasi diikuti dengan kejadian ikutan, seperti mual, lemas, pusing, atau lainnya. KIPI merupakan kejadian medis yang tidak diinginkan setelah pemberian imunisasi atau vaksinasi. Kejadian ikutan ini belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, gejala KIPI bisa berupa gejala ringan yang dirasakan tidak nyaman atau berupa kelainan hasil pemeriksaan laboratorium.
Vaksinasi massal di Indonesia yang dimulai dari tenaga kesehatan memunculkan banyak laporan kejadian ikutan, mulai dari ringan hingga berat. Data dari Komnas KIPI per 22 Februari 2021 menunjukkan bahwa kasus reaksi kejadian ikutan dalam kategori ringan tercatat sebesar 5 per 10.000 kasus, sedangkan reaksi serius sebanyak 42 per 1.000.000 kasus.
Temuan ini menggambarkan setelah lebih dari sebulan vaksinasi massal Covid-19, laporan KIPI di Indonesia didominasi reaksi ringan dan sebagian besar muncul karena faktor kecemasan individu. Reaksi ringan yang muncul biasanya berupa mual, kesulitan bernapas, kesemutan, lemas, dan lainnya. Komnas KIPI menjelaskan bahwa reaksi ringan akan hilang tanpa pengobatan setelah 1-2 hari.
Observasi pasien dengan reaksi ringan atau berat menunjukkan kondisi yang beragam. Lebih dari 64 persen pasien yang mengalami KIPI ternyata dominan dipicu oleh kecemasan individu. Kejadian tersebut dapat dikelompokkan sebagai immunization stress release respond, yaitu situasi yang muncul karena respons tubuh yang cemas terhadap materi vaksin yang disuntikkan.
Komnas KIPI menyebutkan bahwa hasil observasi fisik pasien yang cemas menunjukkan kondisi tubuh normal. Tingkat keparahan respons tubuh dipengaruhi oleh kerentanan psikis individu yang panik dan cemas karena melihat kejadian serupa menimpa orang lain atau mendengar cerita dari orang terdekat.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia memberikan saran antisipasi reaksi pascavaksinasi, mulai dari reaksi lokal, sistemik, hingga lainnya. KIPI yang berupa reaksi lokal, seperti nyeri, kemerahan, bengkak pada tempat suntikan, dapat diredam dengan melakukan kompres dingin di lokasi suntik dan minum Paracetamol.
Apabila KIPI yang muncul ada reaksi sistemik, seperti demam, nyeri otot seluruh tubuh (myalgia), nyeri sendi (atralgia), badan lemah, atau sakit kepala, maka antisipasi dilakukan dengan minum air lebih banyak, kompres dingin lokasi suntik, meminum Paracetamol, dan memakai baju yang nyaman.
Selain lokal dan sistemik, reaksi lain yang cukup mengkhawatirkan adalah reaksi alergi (urtikaria atau oedem), reaksi anafilaksis (muncul shock karena alergi berat), dan pingsan (syncope). Apabila pasien mengalami reaksi-reaksi tersebut, dibutuhkan penanganan medis secara menyeluruh.
Pengendalian KIPI
Pengawasan KIPI menjadi urgensi dalam waktu dekat sebab vaksin yang digunakan terbilang vaksin baru dan sebenarnya masih digunakan secara terbatas. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar keamanan vaksin dapat dinilai dengan tepat serta mengendalikan KIPI adalah penapisan status kesehatan individu.
Secara ringkas, penapisan didefinisikan sebagai langkah identifikasi dugaan penyakit atau kecacatan yang belum dikenali di dalam tubuh seseorang. Proses penapisan harus dilakukan dengan maksimal sebelum vaksinasi. Di sisi lain, masyarakat juga perlu terbuka dan jujur terkait dengan kondisi tubuhnya.
Kementerian Kesehatan telah membagi keputusan vaksinasi menjadi tiga, yaitu dapat diberikan, ditunda, dan tidak diberikan. Keputusan tersebut ditentukan oleh kondisi fisik seseorang, mulai dari suhu tubuh, tekanan darah, hingga komorbid, seperti diabetes, jantung, dan paru-paru.
Khusus untuk komorbid, masyarakat perlu melakukan pengobatan rutin agar kondisi tubuh stabil serta melakukan konsultasi khusus sebelum menerima vaksin. Hal tersebut juga berlaku untuk individu yang memiliki alergi. Sementara untuk masyarakat umum perlu menjaga kondisi tubuh agar tetap bugar.
Pengawasan kondisi fisik seseorang sebelum dan sesudah vaksinasi menjadi urgensi dalam penanganan pandemi saat ini, khususnya agar pembentukan antibodi dapat lebih maksimal. Apabila antibodi terbentuk dengan baik, infeksi virus korona dapat terkendali.
Antibodi pascavaksinasi
Vaksinasi bertunjuan untuk pembentukan antibodi terhadap virus korona di dalam tubuh manusia sehingga tidak terjadi infeksi. Apabila antibodi terbentuk, tubuh memiliki sistem pertahanan jauh lebih efektif dibandingkan dengan sistem pertahanan alaminya.
Efektivitas antibodi dari vaksinasi terletak di durasi pembentukannya yang lebih cepat. Artinya, tubuh tidak perlu terinfeksi terlebih dulu agar mampu menyesuaikan dan mengeluarkan sistem pertahanan yang sesuai dengan karakter virus korona.
Dosis vaksin virus SARS-CoV-2 didominasi dua kali suntik dengan jeda 14 hingga 28 hari. Proses tersebut tidak lepas dari durasi respons tubuh dalam pembentukan antibodi. Vaksin pertama dilakukan untuk mengenalkan tubuh terhadap partikel virus sehingga pembentukan antibodi masih sangat minim.
Antibodi terbentuk secara perlahan, kemudian diperkuat melalui vaksinasi kedua. Komnas KIPI menyebutkan bahwa antibodi baru optimal setelah 28 hari pascasuntikan. Oleh sebab itu, setiap orang masih harus tetap waspada terhadap potensi infeksi virus korona.
Lantas, apakah ada kasus positif yang dialami oleh individu pascavaksinasi? Sebagai contoh, Bupati Sleman, DI Yogyakarta, dinyatakan positif Covid-19 sepekan setelah vaksinasi. Nasib yang sama dialami Kepala Dinas Kesehatan Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat, NTB.
Apabila ada seseorang terinfeksi setelah vaksinasi, perlu dilihat periode infeksi pasien tersebut. Kementerian Kesehatan RI dan Komnas KIPI menjelaskan bahwa dibutuhkan waktu bagi vaksin untuk memicu pembentukan antibodi virus SARS-CoV-2 di dalam tubuh manusia.
Vaksin pertama adalah fase pengenalan tubuh terhadap materi virus dan pembentukan awal sehingga antibodi yang muncul masih sangat rendah. Sementara vaksinasi kedua mendorong pembentukan masif antibodi di dalam tubuh. Estimasi waktu agar antibodi optimal sekitar 14-28 hari setelah vaksin.
KIPI berupa reaksi lokal, seperti nyeri dan bengkak pada tempat suntikan dapat diredam dengan melakukan kompres dingin di lokasi suntik dan minum Paracetamol.
Oleh sebab itu, jeda antara vaksinasi pertama dan kedua serta durasi pascavaksinasi kedua hingga pembentukan antibodi efektif adalah masa-masa rawan infeksi virus korona. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi faktor seseorang terinfeksi pascavaksinasi, yaitu respons tubuh, lingkungan tempat hidup, dan intensitas kegiatan harian di tengah kerumunan.
Setiap individu yang telah divaksin masih harus menjaga protokol kesehatan sebab viral load atau jumlah virus di dalam tubuh dapat melampaui kemampuan antibodi untuk menangkalnya. Aktivitas di tengah kerumunan dan lalai protokol kesehatan menjadi celah untuk terinfeksi.
Proses vaksinasi massal diperkirakan berjalan hingga 2022. Pemantauan KIPI masih harus dilakukan agar risiko reaksi ringan hingga berat dapat diatasi dengan tepat. Secara umum, potensi munculnya KIPI memang tidak bisa dihindari. Namun, setiap orang mampu meminimalkannya dengan jujur terhadap kondisi tubuh sebelum dan sesudah vaksinasi. (LITBANG KOMPAS)