Kecerdasan Buatan Akan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Saat ini negara-negara di dunia berada dalam kompetisi untuk menerapkan teknologi paling cerdas untuk dijadikan pondasi ekonomi digital di masa depan.
Era kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligent) mendorong negara-negara di dunia berlomba menerapkan teknologi paling cerdas untuk dijadikan pondasi ekonomi digital di masa depan. Namun, pemerataan manfaat AI perlu dipupuk sejak dini agar tidak memperlebar jarak kesenjangan antarnegara.
Kecerdasan buatan merupakan partner dari peradaban manusia. AI dapat didefinisikan sebagai sistem komputer yang mampu mengenali kondisi lingkungan, berpikir, belajar, serta mengambil keputusan sesuai dengan tujuan yang ditanamkan. Dengan demikian, sistem AI mampu mempelajari, menganalisis, serta mengambil keputusan dalam suatu kondisi tertentu yang didasari oleh serangkaian data.
Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kegiatan manusia. Dalam perkembangannya, kecerdasan buatan dimanfaatkan dalam kegiatan bisnis. Kemampuan kecerdasan buatan meningkatkan produktivitas dari kegiatan industri dan konsumsi masyarakat sehingga berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Gambaran sumbangan kecerdasan buatan (artificial intelligence) membentuk masa depan perekonomian dunia tergambar dalam laporan lembaga riset PwC bertajuk “Sizing the prize: What’s the real value of AI for your business and how can you capitalise?”. Dalam laporan tersebut disebutkan proyeksi kecerdasan buatan (AI) yang mampu menyumbang peningkatan GDP dunia mencapai 14 persen atau senilai 15,7 triliun dollar AS pada 2030 nanti.
Perkiraan kontribusi AI tersebut terhadap perekonomian dunia didasarkan tiga aspek, yaitu perkembangan kecerdasan buatan, adopsi AI oleh dunia usaha, dan investasi AI oleh negara-negara di dunia. Walau tersebar dalam tiga aspek yang saling berkaitan, muara dari pengembangan AI tidak dapat dielakkan dari titik utama yakni persaingan menguasai kekuatan ekonomi dunia.
Saat ini negara-negara di dunia berada dalam kompetisi untuk menerapkan teknologi paling cerdas untuk dijadikan pondasi ekonomi digital di masa depan. Hal yang menarik dari proyeksi ekonomi 10 tahun mendatang adalah tetap bersaingnya kekuatan China dan Amerika Serikat. Saat ini kedua negara adidaya tersebut terlibat perang dagang, dan di era kecerdasan buatan mereka akan bersaing dalam wujud sistem digital.
Di era kecerdasan buatan saat ini persaingan kekuatan ekonomi tetap didominasi China dan AS dengan mulai munculnya India sebagai pemain ekonomi dunia yang cukup menonjol.
Persaingan penciptaan AI dapat ditilik dari seberapa banyak kekayaan intelektual yang didaftarkan di kantor hak paten. Merujuk dari laporan World Intellectual Property Organization (WIPO) 2019, kantor hak paten di AS, China, dan Jepang merupakan tiga negara terbanyak yang menerima pendaftaran hak kekayaan intelektual terkait teknologi AI.
Sedangkan dari data perusahaan swasta pengembang AI, penemuan terbanyak ditelurkan oleh IBM dengan jumlah hak paten 8.290, disusul Microsoft dengan 5.930 penemuan teknologi. Dari benua Asia terdapat perusahaan Jepang, Toshiba (5.223 paten) dan Korea Selatan, Samsung (5.102 paten) yang turut mendominasi penemuan serta pengembangan AI dunia.
Peluang tumbuh
Riset lain dilakukan lembaga penelitian McKinsey meneliti penggunaan AI di bidang ekonomi dan bisnis. Hasil survei dimuat dalam laporan ”Global Survey: The State of AI in 2020”. Publikasi tersebut menyebutkan, saat ini terdapat 58 persen perusahaan di dunia yang sudah menerapkan setidaknya satu fungsi kecerdasan buatan dalam bisnisnya.
McKinsey mengkategorikan delapan aktivitas bisnis yang saat ini sudah disokong oleh teknologi A antara lain pengembangan produk dan jasa, operasional layanan, manufaktur, pemasaran dan penjualan, analisis risiko, manajemen rantai persediaan, manajemen sumber daya manusia, serta strategi finansial perusahaan.
Pada aktivitas pengembangan bisnis, misalnya, terdapat 23 persen pengusaha yang mengaku menggunakan AI pada proses pengembangan produk dan jasa. Adopsi AI pada proses terebut diberi tugas khusus untuk meneliti perilaku konsumen sehingga produsen dapat memberikan produk barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Apabila ditilik lebih lanjut, beberapa tugas AI bukanlah hal baru. Misalnya proses riset pasar sudah dilakukan sejak lama oleh para pelaku bisnis. Hanya saja, perbedaannya terletak pada teknologi canggih yang digunakan. Dengan berinvestasi pada AI, perusahaan berharap mampu menghemat sumber daya, biaya, serta waktu. Hulunya berupa terwujudnya dinamika produksi yang lebih efisien.
Di tengah optimisme menyongsong revolusi industri 4.0, bencana global pandemi Covid-19 menerpa. Namun AI justru menjadi salah satu sektor yang tidak terlalu terpengaruh krisis akibat pandemi. Para pengusaha justru melihat penerapan AI menjadi jalan keluar dari krisis akibat pandemi.
Riset McKinsey menemukan bahwa 47 persen pengusaha mengaku tidak mengurangi nilai investasinya untuk membangun teknologi AI, bahkan ada 32 persen pimpinan perusahaan yang menyatakan menambah investasinya.
Kondisi investasi yang positif di bidang AI didasari oleh pandangan pelaku bisnis bahwa teknologi tersebut mampu merapikan komponen dalam perusahaan. Hasilnya kegiatan usaha akan semakin efisien, melihat adanya dampak krisis yang menuntut pengusaha harus segera melakukan efisiensi saat ini hingga di masa mendatang.
Solidaritas
Datangnya era kecerdasan buatan dan otomasi mendorong dinamika bisnis dan tenaga kerja. Diperlukan sejumlah strategi oleh negara-negara untuk menyiapkan persaingan revolusi industri 4.0. Oxford Insight pada tahun 2019 membuat indeks kesiapan seluruh negara anggota PBB dalam menerapkan AI.
Indeks tersebut menunjukkan seberapa siap sebuah negara mengadopsi teknologi AI dalam segala aspek kehidupan warganya. Aspek yang diukur meliputi pemerintahan, infrastuktur digital dan data, kemampuan dan pendidikan SDM, serta pelayanan publik.
Dari hasil kajian yang dilakukan, negara-negara penguasa ekonomi dunia seperti AS, China, Inggris, dan Jerman masuk peringkat 20 besar teratas. Oxford Insight juga menilai lima negara memiliki kesiapan matang menuju era kecerdasan buatan yaitu Singapura, Inggris, Jerman, AS, dan Finlandia. Sedangkan Indonesia berada di urutan ke-57 dari 194 negara.
Posisi Indonesia cukup baik, menunjukkan kesiapan sekaligus peluang untuk merebut kue ekonomi di era 4.0. Saat ini pemerintah Indonesia, telah memiliki rencana strategi nasional pengembangan kecerdasan buatan. Implementasinya dilakukan dengan membuat kebijakan satu data Indonesia, peta jalan industri Indonesia (Making Indonesia 4.0), serta membangun jaringan komputasi awan (clouds computation).
Dengan fokus membangun infrastruktur digital, potensi Indonesia yang diprediksi akan menjadi negara peringkat ke-4 dengan ekonomi terkuat dunia di era kecerdasan buatan bukan tidak mungkin dapat terwujud.
Namun, di luar kompetisi mempersiapkan diri menyambut era AI, kajian Oxford Insight juga menemukan kondisi beberapa negara yang lemah dalam pengembangan teknologi sepuluh tahun mendatang. Jurang pemisah kemajuan ekonomi diprediksi justru akan semakin lebar dengan kehadiran AI.
Disebutkan bahwa akan timbul ketimpangan ekonomi antara negara di belahan bumi utara dengan belahan bumi selatan. World Economic Forum juga mengingatkan indikasi ketimpangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang dapat melebar di era 4.0.
Karenanya, tantangan negara-negara di era kecerdasan buatan adalah menghadirkan pemerataan manfaat AI sehingga tidak memperlebar jarak kesenjangan. Sudah ada beberapa contoh pemanfaatan AI untuk menjalin kolaborasi dan solidaritas.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Mitra Peradaban Modern Manusia
Adopsi AI di negara berkembang sangat bermanfaat untuk membantu bidang pertanian, kesehatan, serta pendidikan. Kehadiran AI dapat membantu mengidentifikasi penyakit tanaman sehingga mencegah gagal panen yang berujung pada krisis pangan.
Kecanggihan teknologi memungkinkan negara maju memberi bantuan berupa teknologi dan dapat berguna dalam jangka panjang selain memberi kebutuhan pokok. Dalam konteks ini, kehadiran kecerdasan buatan justru dapat dimanfaatkan untuk mendistribusikan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, masih ada peluang untuk membangun ekonomi dunia yang solider dengan kehadiran AI. (LITBANG KOMPAS)