Beban Berlipat Anak Pekerja Migran di Tengah Pandemi Covid-19
Perlindungan anak pekerja migran di masa pandemi Covid-19 tidak dapat dilepaskan dari kebijakan menyeluruh terhadap anak Indonesia.
Pandemi Covid-19 berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali anak. Risiko penularan, penurunan daya beli keluarga, hingga kekerasan anak saat pandemi membuat perlindungan anak pekerja migran tidak dapat dilepaskan dari kebijakan menyeluruh terhadap anak.
Infeksi virus SARS-CoV-2 tidak mengenal batasan usia. Semua kelompok umur memiliki peluang terpapar virus korona. Hingga 4 Maret 2021, tercatat 1,36 juta kasus infeksi korona di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, persentase kasus positif pada anak-anak hingga remaja mencapai 12 persen. Persentase tersebut lebih tinggi dari lansia (10,7 persen).
Data tersebut menunjukkan rentannya anak terhadap penularan virus korona. Faktor risiko terinfeksi virus korona terhadap anak tidak terbatas pada kelalaian individu, melainkan peran orang terdekat atau keluarga yang tinggal bersamanya, apakah mematuhi protokol kesehatan atau tidak. Kegiatan di luar ruangan tentu berpotensi besar menyebabkan infeksi terhadap keluarga di rumah.
Selain rentan tertular, dampak langsung situasi pandemi menyebar ke berbagai aspek kehidupan anak, mulai dari akses pendidikan, jaminan kesehatan, perlindungan anak, hingga pemenuhan kebutuhan dasar akan makanan bergizi. Daya adaptasi anak dituntut lebih kuat saat ini, mengingat adanya ancaman gangguan psikologi karena keterbatasan kegiatan dan permasalahan lain di rumah.
Kerentanan kesehatan anak-anak di masa pandemi Covid-19 terekam dalam penelitian oleh Wahana Visi Indonesia di 251 desa yang tersebar di sembilan provinsi di Indonesia. Survei dilakukan kepada 900 rumah tangga dan terdiri dari 943 orang anak. Penelitian ini turut merekam situasi di wilayah pekerja migran, yaitu NTB dan NTT.
Kemampuan pemenuhan kecukupan gizi dan konsumsi makanan menjadi tantangan separuh rumah tangga yang ditemui. Setidaknya 53 persen keluarga tidak mampu menyediakan makanan bergizi atau empat kelompok sumber makanan gizi seimbang.
Lebih miris lagi, 97 persen bayi dua tahun tidak terpenuhi kebutuhan minuman dan makanannya berdasarkan frekuensi dan variasi makanan. Kondisi tersebut adalah imbas dari penurunan pendapatan, sehingga rumah tangga mengurangi kualitas dan kuantitas makanan.
Keterbatasan akses makanan bergizi mengancam kesehatan anak-anak, seperti malnutrisi akut dan stunting. Usia anak paling terbatas akses makanannya adalah 6-9 bulan. Kondisi lebih parah tentu dialami oleh anak pekerja migran yang memang secara ekonomi terbatas.
Secara ekonomi, sepertiga proporsi pengasuh anak pekerja migran tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara pengasuh yang bekerja, jenis pekerjaannya dominan sektor informal, seperti petani (40,8 persen), buruh (26,2 persen), dan pedagang (11,5 persen).
Jaminan kesehatan keluarga, khususnya anak, makin rentan dengan frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan yang turun drastis hingga 30 persen. Sementara rumah tangga yang tidak mengakses layanan kesehatan ibu dan anak mencapai 54 persen.
Situasi tersebut diperparah dengan fakta bahwa 1 dari 5 rumah tangga tidak memiliki jaminan kesehatan. Petugas posyandu juga tidak datang ke desa-desa di masa pandemi Covid-19, kecuali memang dihubungi terlebih dahulu oleh warga.
Disrupsi pandemi memaksa keluarga lalai terhadap kesehatan dasar anak, seperti imunisasi dasar lengkap. Apabila tidak diantisipasi, rendahnya cakupan imunisasi mampu menimbulkan wabah penyakit, seperti campak, difteri, atau tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan dan Unicef mencatat sekitar 84 persen layanan imunisasi anak terganggu selama pandemi. Padahal, dalam situasi normal saja cakupan imunisasi dasar lengkap anak hanya 58 persen di Indonesia.
Putus sekolah
Pandemi Covid-19 juga memiliki dampak signifikan terhadap meningkatnya jumlah anak putus sekolah. Catatan dari Unicef menunjukkan bahwa sejumlah 938 anak atau proporsi satu persen dari anak berusia 7-18 tahun mengalami putus sekolah selama pandemi, mayoritas karena keterbatasan ekonomi.
Tentu banyak faktor yang dapat menyebabkan anak beresiko putus sekolah, seperti lebih memilih bekerja untuk mendapat upah, membantu merawat adik, tidak ada pengawasan dari pihak sekolah, hingga orang tua yang memilih menghentikan pendidikan anaknya.
Salah satu faktor utama dari putusnya sekolah anak adalah faktor sosial-budaya yang merujuk pada persepsi keliru tentang pendidikan. Sebagian masyarakat berpandangan bahwa pendidikan tidak terlalu penting.
Kesulitan ekonomi turut memaksa orang tua lebih memilih anak bekerja daripada sekolah. Kondisi tersebut tentu menguat di tengah tekanan pandemi saat ini. Kerentanan anak putus sekolah turut mengancam anak pekerja migran, mengingat sebelum pandemi saja sudah ada anak pekerja migran yang tidak bersekolah.
Riset yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial (2018) menunjukkan, terdapat 25 persen anak pekerja migran yang ditemui dalam kondisi tidak bersekolah.
Potret sulitnya akses pendidikan anak pekerja migran nyata terjadi di Indonesia. Apabila secara umum anak berisiko putus sekolah, maka anak pekerja migran memiliki risiko jauh lebih besar untuk berhenti atau sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah.
Selain akses kesehatan dan pendidikan yang semakin terbatas di tengah pandemi, perlindungan anak pekerja migran terhadap tindak kekerasan harus mendapat perhatian khusus. Banyak kasus kekerasan, penganiayaan, atau dipekerjakan secara paksa yang dialami anak-anak tersebut.
Seorang anak berusia 16 tahun dan tiga saudaranya di NTT mendapat perlakuan kasar oleh pamannya, setelah ditinggal orang tuanya bekerja di Malaysia. Mereka juga dipekerjakan di ladang dan jarang diberi makan.
Dua bersaudara di Lampung berusia 6 dan 10 tahun diracun oleh ayahnya yang mencoba bunuh diri setelah ditinggal istrinya menjadi pekerja migran. Seorang anak usia 5 tahun bahkan mengalami pelecehan seksual oleh kakeknya, setelah ditinggal oleh orang tuanya ke Taiwan.
Kasus-kasus tersebut adalah gambaran rentannya anak pekerja migran menjadi korban kekerasan oleh orang lain, bahkan keluarganya sendiri, yang terjadi sebelum pandemi Covid-19. Kasus serupa mungkin saja terjadi dan dapat meningkat selama pandemi ini.
Perlindungan anak
Laporan Kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 6.519 pengaduan kasus pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2020. Dari laporan tersebut, pengaduan paling tinggi terjadi di kluster keluarga dan pengasuhan alternatif (24,9 persen).
Hasil serupa ditunjukkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di mana tercatat 7.190 kasus kekerasan terhadap anak dengan jumlah korban sebanyak 7.868 jiwa. Korban paling banyak adalah kasus kekerasan seksual yang mencapai 4.540 anak.
di masa pandemi, sebanyak 53 persen keluarga tidak mampu menyediakan makanan bergizi
Pandemi memicu banyaknya kekerasan di skala rumah tangga. Tekanan ekonomi yang kuat mampu menimbulkan gesekan antar anggota keluarga dan berujung tindak kekerasan. Tantangan perlindungan anak pekerja migran menjadi lebih berat, karena dibutuhkan pengawasan ekstra, sebab bisa saja perlakuan kasar tersebut sudah berlangsung lama dan anak menjadi takut melapor.
Anak pekerja migran menjadi salah satu kelompok yang rentan saat ini, bahkan sebelum situasi pandemi Covid-19. Banyak dari mereka yang tumbuh tanpa orang tua sejak usia kurang dari satu tahun. Saat ditinggalkan oleh orang tuanya, kehidupan mereka bergantung pada pengasuhnya.
Nasib kurang baik banyak dialami oleh anak pekerja migran. Catatan Kementerian Sosial RI menyebutkan anak-anak tersebut rentan kurang gizi, sehingga berdampak pada terhambatnya pertumbuhan di usia emas. Bahkan, hak atas air susu ibu (ASI) turut tidak terpenuhi.
Di tengah situasi pandemi saat ini, anak pekerja migran tentu perlu mendapat jaminan kesehatan dan pendidikan yang lebih layak. Sebagaimana anak-anak lainnya di seluruh Indonesia, mereka diperhadapkan pada dua risiko besar, yaitu terinfeksi Covid-19 karena minimnya pemahaman tentang pandemi, ancaman putus sekolah, serta kehilangan pekerjaan.
Baca juga: Merajut Asa Anak Pekerja Migran
Karenanya, perlindungan anak pekerja migran tidak dapat dilepaskan dari kebijakan menyeluruh terhadap anak. Di masa vaksinasi Covid-19, anak-anak tersebut juga bukan merupakan kelompok prioritas penerima vaksin. Kondisi ini menjadi tantangan terbaru yang dihadapi anak-anak Indonesia yang bakal lebih lama beradaptasi dengan keberadaan virus korona di sekitarnya.
Untuk menjamin perlindungan bagi anak di masa pandemi, langkah konkret perlu diambil oleh pemerintah dengan memastikan keberlanjutan pendidikan dan akses kesehatan, serta memberikan perlindungan dari tindak kekerasan. Khusus bagi anak pekerja migran, kebijakan pendampingan perlu diberikan untuk memberikan motivasi meraih kehidupan yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Nenekku, Orangtuaku