Tragedi Talangsari Jangan Ditelan Pandemi
Tahun ini, tepat 32 tahun terjadinya peristiwa Talangsari. Komitmen bersama untuk memulihkan hak-hak korban serta langkah advokasi perlu dilanjutkan agar keadilan hukum dapat diraih.
Perdamaian bersemi melalui forum dialog dan komitmen bersama untuk memulihkan hak-hak korban Tragedi Talangsari 1989 yang diadakan pada Desember 2020. Upaya pemulihan terhadap korban perlu dilanjutkan dengan langkah advokasi agar keadilan hukum juga dapat diraih.
Di pertengahan Desember 2020, diadakan forum dialog di Dusun Subing Batu 3, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Labuhanratu, Lampung Timur. Dalam momen tersebut, hadir Paguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung dan Tim Terpadu Penanganan HAM Berat Kemenkopolhukam RI, Pemerintah Provinsi Lampung, serta Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Mereka menandatangani komitmen bersama untuk memenuhi dan memulihkan hak-hak keluarga dan korban Tragedi Talangsari 1989.
Menurut Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) Edi Arsadad, komitmen tersebut diapresiasi dan didukung oleh keluarga dan korban. Secara ringkas, kesepakatan tersebut memuat pemenuhan hak ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur di wilayah Talangsari. Akan tetapi, Edi Arsadad menyatakan bahwa keluarga korban tetap meminta Kejaksaan Agung melanjutkan proses hukum pelanggaran HAM di masa lalu.
Pemenuhan dan pemulihan hak-hak sipil ini penting bagi keluarga dan korban Talangsari mengingat status mereka yang sering kali didiskriminasikan oleh pemerintah setempat. Misalnya pada 2005, salah seorang keluarga korban ada yang tidak mendapat akses imunisasi polio bagi anaknya. Padahal warga di dusun tetangganya mendapatkan imunisasi tersebut.
Barulah di 2014, hak-hak sipil tersebut mulai didapatkan oleh keluarga dan korban setelah diusahakan oleh Suroso yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dusun Talangsari. Pembangunan infrastruktur pun mulai terlihat seperti pembangunan jalan aspal ke Desa Rajabasa.
Hingga Oktober 2020, LPSE Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat adanya alokasi dari pemerintah sejumlah Rp 14,4 miliar untuk pembangunan infrastruktur permukiman dalam rangka penanganan pascabencana Talangsari.
Menyusul kesepakatan Desember 2020 tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis siaran pers. Kontras mendesak Tim Terpadu Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk melanjutkan proses hukum sampai pada pengadilan HAM. Pesannya, jangan sampai kesepakatan pemulihan ini menjadi dalih untuk menghindari pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM berat.
Kontras menilai bahwa proses pembuatan kesepakatan bersama yang sangat cepat, terburu-buru, dan tidak menghendaki pelibatan korban. Kesepakatan tersebut sempat mengalami perubahan draf berulang kali. Justru poin terpenting yang diajukan korban, yakni penyelesaian kasus Talangsari melalui mekanisme yudisial atau pengadilan HAM, ditolak oleh Tim Terpadu.
Sebelumnya pada 20 Februari 2019, Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM telah menyelenggarakan Deklarasi Damai Talangsari Lampung. Akan tetapi, tak lama Ombudsman RI menyatakan bahwa ada malaadministrasi di dalamnya karena tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan tidak sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, menurut Edi Arsadad, Deklarasi Damai Talangsari Lampung memuat kejanggalan, yakni tidak dihadiri korban dan tidak ada berkas deklarasi sesudahnya.
Upaya nonyudisial atau islah terkait peristiwa Talangsari juga pernah dilakukan pada 2000. Kala itu, ada Gerakan Islah Nasional (GIN) yang dibentuk oleh mantan Komandan Korem 043 Garuda Hitam, Hendropriyono. Dalam kesepakatan GIN, beberapa keluarga korban dijanjikan akan diberi tambak, kebun sawit, dan sarana mata pencaharian lainnya.
Alih-alih berusaha menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, GIN justru melancarkan tindakan yang terkesan menutupi kasus ke permukaan. Dalam Catatan Kerja Kontras atas Kasus Talangsari 1989, GIN bersama kelompok warga yang mendukung islah melakukan teror kepada warga yang tetap menuntut pengusutan kasus Talangsari secara hukum. Selain itu, mereka juga bergerak dengan menggelar pengajian rutin dan menyuarakan larangan bagi warga untuk mengungkapkan kasus.
Tragedi
Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari, Lampung Timur, yang kini telah berubah nama menjadi Dusun Subing Putra III, Desa Rajabasa Lama. Menurut rilis yang dikeluarkan oleh Kontras, saat itu telah terjadi penyerbuan ke Desa Talangsari oleh pasukan militer. Penyerbuan tersebut dilakukan atas dugaan makar ingin mengganti Pancasila dengan ajaran agama oleh jemaah pengajian Talangsari pimpinan Warsidi.
Aksi penyerbuan ini tidak terjadi tiba-tiba, tetapi menjadi momen puncak eskalasi konflik atas kecurigaan warga setempat dengan aktivitas kelompok Warsidi. Memang, kelompok Warsidi adalah bagian dari Gerakan Usroh yang menjalin hubungan dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Salah seorang mantan terpidana kasus Talangsari, Sudarsono, mengatakan bahwa awalnya kelompok Warsidi memang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia di Dusun Talangsari.
Aktivitas kelompok ini mulai mengundang kecurigaan warga sekitar yang berbeda dusun karena mengadakan ceramah bernada ekstrem hingga berlatih bela diri. Kepala desa dan warga sekitar akhirnya melaporkan mereka ke Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara Kapten Sutiman. Laporan tersebut diteruskan Sutiman ke Kodim Lampung Tengah.
Pada 5 Februari 1989, para pengintai yang dikirim Sutiman melakukan penculikan pada beberapa pengikut Warsidi yang mencurigakan dan bersenjatakan panah beracun. Keesokan harinya, Sutiman beserta rombongan sipil dan militer mendatangi kelompok Warsidi di Umbul Cideung. Namun, justru berakhir bentrok. Sutiman serta satu prajurit TNI meninggal akibat bentrokan tersebut.
Hal ini pun memantik pihak militer untuk menyerbu kelompok Warsidi. Berdasarkan laporan Komnas HAM, sekurang-kurangnya terdapat 130 orang meninggal dunia akibat penyerbuan tengah malam 7 Februari 1989. Kemudian, ada 53 orang yang ditahan, 77 orang diusir secara paksa dari kampung tersebut, 46 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami persekusi.
Selang 16 tahun kemudian, pada 2 Maret 2005, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaraan Hak Asasi Manusia (KPP HAM). Kemudian, KPP HAM menyimpulkan adanya unsur pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Talangsari. Pada 2006, berkas hasil penyelidikan KPP HAM lalu diserahkan oleh Komnas HAM kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Menolak lupa
Hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan lebih lanjut, apalagi ke tahap pengadilan HAM. Padahal, masyarakat, korban, dan keluarga korban terus menantikan terbukanya kebenaran atas peristiwa kelam ini. Harapannya, para pelaku dapat terungkap dan diproses berdasarkan hukum yang berlaku.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, tragedi Talangsari merupakan satu dari 12 kasus pelanggaran HAM yang masih menunggu penyelesaian tuntas dari Negara. Merujuk pada Survei Litbang Kompas pada September-Oktober 2019, hampir 99,5 persen responden menyebutkan pengadilan merupakan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Dari total tersebut, 62,1 persen responden memilih penyelesaian melalui mekanisme pengadilan nasional.
Berdasarkan laporan Komnas HAM, sekurang-kurangnya terdapat 130 orang meninggal dunia akibat penyerbuan tengah malam 7 Februari 1989.
Tahun lalu, peringatan Tragedi Talangsari 1989 diadakan dengan pertemuan antarlembaga beserta korban dan keluarga korban. Pandemi Covid-19 belum menyerang Indonesia, sehingga silaturahmi dapat terjalin. Dalam kesempatan itu, peringatan diisi dengan pameran perjalanan advokasi korban dan pendamping dari tahun ke tahun serta diskusi publik agar generasi muda tidak melupakan tragedi ini.
Kini komitmen bersama untuk memenuhi dan memulihkan hak-hak keluarga dan korban Talangsari masih perlu dikawal. Advokasi tetap perlu diperjuangkan agar kebenaran terungkap dan keadilan diraih. Pemerintah perlu melanjutkan penyidikan sebagai bentuk nyata kehadiran negara dalam penyelesaian kasus ini.
Tahun ini tepat 32 tahun terjadinya peristiwa Talangsari. Tiap tahun, lembaga swadaya masyarakat, kelompok PK2TL, lembaga bantuan hukum, serta pihak-pihak yang mendukung penyelesaian kasus ini berkumpul untuk terus menyuarakan hak para korban. Jangan sampai nantinya kasus-kasus pelanggaran HAM berat hanya menjadi ritual peringatan tiap tahun. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : KKR Fasilitasi Proses Yudisial dan Non-yudisial