Mengukur Tingkat Kesadaran Protokol Kesehatan
Aspek kemampuan diri dari jenis kelamin, usia, persepsi keparahan, dan dukungan sosial menentukan tingkat kesadaran mematuhi protokol kesehatan.
Ketaatan pada protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19 akan berjalan lebih efektif jika kesadaran masyarakat melampaui ketakutan mereka terhadap penertiban.
Mengapa kepatuhan terhadap protokol kesehatan (prokes) relatif sulit terwujud? Penelitian bertajuk ”Analysis of the impact of Health Beliefs and Resource Factors on Preventive Behaviors Against the Covid19 Pandemic” dari Sunhee dan Seoyong (2020) menjelaskannya dari pendekatan health believe model dan resource factors.
Pendekatan health believe model melihat sejumlah persepsi yang membentuk kepatuhan individu terhadap prokes, di antaranya kemampuan diri, persepsi kerentanan, keparahan, manfaat dan hambatan serta petunjuk bertindak. Adapun teori resource terdiri dari variabel ekonomi penduduk, pendidikan, pengetahuan, serta dukungan/jaringan sosial.
Hasil penelitian terhadap 1.525 penduduk Korea Selatan selama 6-11 Agustus tersebut menunjukkan, persepsi kemampuan diri individu menjadi faktor yang paling memengaruhi dalam pencegahan penularan Covid-19.
Jenis kelamin (perempuan), usia, jumlah lansia dalam keluarga, persepsi keparahan, manfaat yang dirasakan, self-efficacy (efikasi diri), kesehatan keluarga yang buruk, paparan media, pengetahuan, status kesehatan pribadi, dan dukungan sosial berpengaruh positif terhadap tindakan pencegahan.
Efikasi diri memiliki kekuatan penjelas terbesar, diikuti oleh jenis kelamin (wanita), pengetahuan, status kesehatan pribadi, keparahan yang dirasakan, dan dukungan sosial. Tingkat pendidikan, status kesehatan pribadi, dan dukungan sosial, juga memainkan peran moderasi dalam mendorong tindakan pencegahan.
Baca juga: Protokol Kesehatan yang Hampir Dilupakan
Membandingkan hasil yang diperoleh di penelitian Sunhee dan Seoyong tersebut dengan kondisi kepatuhan Indonesia beroleh hasil yang tak jauh berbeda. Kemampuan diri yang antara lain dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, persepsi keparahan, dan dukungan sosial berpengaruh pada pada tingkat kesadaran individu untuk patuh pada protokol kesehatan.
Hasil survei Kompas terbaru menunjukkan, kaum perempuan memiliki kesadaran lebih tinggi ketimbang laki-laki untuk menaati prokes. Sebanyak 85,77 persen perempuan menyatakan lebih sering menggunakan masker ketimbang laki-laki (83,1 persen).
Sebanyak 62,15 persen perempuan juga lebih sering menjaga jarak ketimbang laki-laki (61 persen). Juga untuk urusan mencuci tangan, tingkat kepatuhan perempuan lebih tinggi 80,3 persen daripada laki-laki (74,9 persen).
Tingginya kepatuhan prokes di kalangan perempuan tidak lepas dari norma di masyarakat menempatkan mereka sebagai tulang punggung merawat keluarga (Kompas, 15/6/2020). Contohnya, perempuan lebih sering berperan mengurus anak ketimbang laki-laki.
Hasil survei Kompas juga menunjukkan, usia juga menjadi variabel lain yang membentuk kesadaran individu. Ada kecenderungan kepatuhan menjalankan prokes yang menguat seiring bertambahnya usia.
Tingkat kepatuhan menjaga jarak (76,9 persen) dan mencuci tangan (88,1 persen) semakin tinggi di kelompok usia 60 tahun ke atas. Hanya untuk kebiasaan menggunakan masker, tingkat kepatuhan tertinggi justru ada pada kelompok usia 17-30 tahun (86,3 persen).
Baca juga: Penduduk tua Lebih Patuhi Protokol Kesehatan
Faktor lain
Selain usia, sejumlah faktor lain juga menentukan level kesadaran individu dalam menaati prokes. Hasil survei Kompas juga menunjukkan adanya kecenderungan bahwa masyarakat semakin patuh pada prokes seiring tingginya kekhawatiran mereka terhadap Covid-19.
Sebanyak 87 persen responden yang merasa khawatir selalu menggunakan masker. Juga 80 persen yang khawatir lebih sering mencuci tangan dan 65 persen selalu menjaga jarak.
Faktor lainnya adalah soal kepercayaan. Hampir setahun pandemi Covid19 dengan kasus positif mencapai jutaan orang, masih ada masyarakat Indonesia yang tidak percaya adanya virus korona.
Hasil survei Kompas pun menunjukkan ada 7,3 persen responden yang tidak percaya virus korona sebagai penyebab pandemi. Mereka yang tidak percaya umumnya berasal dari kalangan ekonomi dan pendidikan rendah.
Sebanyak 57,5 persen responden yang tidak memercayai virus korona berpendidikan dasar dan 61 persen dari kelas ekonomi bawah. Jika tidak percaya, bagaimana akan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.
Faktor sosial budaya juga menjadi salah satu hal yang memengaruhi ketidakpatuhan. Masyarakat melonggarkan protokol kesehatan saat bertemu dengan keluarga, kerabat, ataupun teman. Faktor inilah yang antara lain mengakibatkan semakin banyaknya kluster keluarga.
Baca juga: Menakar Efektivitas PPKM dan PSBB
Kebiasaan berkumpul atau bersilaturahmi juga merupakan budaya masyarakat Indonesia yang berpotensi meningkatkan kasus. Dari tiga protokol kesehatan, tingkat kepatuhan menjaga jarak selalu lebih rendah.
Merujuk hasil survei Kompas, tingkat kepatuhan menjaga jarak hanya 61,7 persen. Adapun tingkat kepatuhan menggunakan masker ( 84,5 persen) dan kebiasaan mencuci tangan (77,8 persen).
Masyarakat cenderung untuk duduk atau berdiri berdekatan secara bergerombol. Meski masih menggunakan masker, faktor jaga jarak kerap kali diabaikan.
Tayangan Kompas TV per 5 Januari menunjukkan ada 24,03 juta teguran lisan dari catatan kepolisian. Ada juga 3,7 juta teguran tertulis, serta 2,9 juta pelanggar terkena sanksi sosial. Ada pula yang berakhir dengan pidana kurungan sebanyak 9 kasus.
Aparat polisi juga menutup 2.625 tempat usaha yang melanggar protokol kesehatan (prokes). Jumlah denda dari operasi penertiban mencapai Rp 7 miliar.
Merujuk pada catatan ”Monitoring Tingkat Kepatuhan Protokol Kesehatan (Satgas Covid-19)”, restoran merupakan lokasi yang tingkat kepatuhan protokol kesehatannya terendah. Disusul rumah, tempat olahraga publik/taman, jalan umum, dan tempat ibadah.
Teguran aparat membuahkan hasil. Catatan Monitoring Satgas Covid-19, terjadi peningkatan kepatuhan protokol kesehatan saat diberlakukan PPKM yang diikuti dengan operasi penertiban.
Takut didenda
Sebelum PPKM, angka rata-rata kepatuhan memakai masker 78,79 persen. Setelah PPKM, angka kepatuhan naik menjadi 87,66 persen pada periode 24-31 Januari.
Angka kepatuhan menggunakan masker juga mulai naik di kabupaten/kota. Periode 3 Januari, ada 88 kabupaten/kota yang tingkat kepatuhan memakai maskernya 91-100 persen. Selanjutnya pada pemantauan periode 31 Januari, jumlahnya meningkat 118 kabupaten/kota.
Hal serupa terjadi pada kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Angkanya naik dari 77,51 persen menjadi 87,22 persen pada periode yang sama. Tingkat kepatuhan 91-100 persen di kabupaten/kota juga meningkat, dari 67 menjadi 129 kabupaten/kota.
Peningkatan kepatuhan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi satgas pemantau. Namun, kemungkinan besar akan terjadi penurunan tingkat kepatuhan saat operasi penertiban dilonggarkan.
Sebagai gambaran adalah pemantauan sebelum penerapan PPKM. Tingkat kepatuhan menggunakan masker dan menjaga jarak periode Oktober-Desember terus turun.
Hal tersebut menunjukkan kepatuhan yang terbentuk di masyarakat karena takut didenda atau melakukan sanksi sosial. Masyarakat mau menggunakan masker, menghindari kerumunan, ataupun menjaga jarak karena takut kena denda dan sanksi sosial.
Hampir setahun pandemi berlangsung. Kesadaran pribadi masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan belum terbentuk. Kepatuhan yang ada sifatnya sementara, hanya saat operasi penertiban. Akankah kepatuhan masyarakat terus begini? (LITBANG KOMPAS)