Cegah Kegaduhan, Benahi Komunikasi Pejabat Publik
Komunikasi yang dilakukan pemerintah sering kali belum dapat menjangkau publik dengan tepat, bahkan tidak jarang berujung blunder.
Komunikasi yang dilakukan pemerintah sering kali belum dapat menjangkau publik dengan tepat, bahkan tidak jarang berujung blunder. Lihat saja di sejumlah isu, mulai dari awal pandemi Covid-19, vaksin, RUU Cipta Kerja, HINGGA soal sertifikat tanah elektronik, tak pernah lepas dari kontroversi.
Padahal, pejabat publik seharusnya mampu menyampaikan kebijakan publik secara menyeluruh kepada masyarakat. Alih-alih menggunakan influencer yang ada, pejabat publik seharusnya memperlengkapi diri dengan kemampuan dan pemahaman dalam berkomunikasi kepada publik atau didukung tim komunikasi yang memang ahli dalam komunikasi publik.
Bagaimanapun, komunikasi secara umum merupakan suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan antardua orang atau lebih. Pesan yang disampaikan dapat berupa komunikasi lisan, tulisan, verbal, dan nonverbal. Terkait dengan hal ini, komunikasi jajaran pemerintahan saat ini masih harus dibenahi karena sering kali menimbulkan disinformasi ataupun kesimpang siuran informasi.
Komunikasi pejabat publik yang buruk terhadap masyarakat sebenarnya sudah terlihat saat awal penanganan pandemi Covid-19. Saat itu, hampir tidak terlihat koordinasi yang jelas antara instansi pemerintah dan informasi satu pintu terhadap antisipasi penyebaran virus Covid-19.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bahkan mencatat ada sejumlah pernyataan blunder yang dikeluarkan pemerintah pusat selama pandemi virus Covid-19. Pernyataan blunder itu dikeluarkan Presiden Joko Widodo dan jajaran di kabinetnya.
Pejabat publik seharusnya mampu menyampaikan kebijakan publik secara menyeluruh kepada masyarakat.
Metode penelitian LP3ES mengalisis media massa, baik media berita daring, televisi, maupun media sosial, dari 1 Januari sampai 5 April 2020. Penelitian ini menunjukkan, dalam waktu 100 hari sejak Covid-19 menjadi isu dan ancaman di Indonesia telah ada 37 pernyataan blunder yang mengakibatkan kegaduhan terkait dengan penanganan Covid-19.
Beberapa komentar dari jajaran menteri pemerintahan Jokowi menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Sebut saja saat Menko Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan berseloroh Covid-19 sudah lama pergi (10/2/2020). Selorohannya merujuk pada mobil sedan tipe Corona yang tak diproduksi lagi.
Kondisi yang sama terjadi pada saat sejumlah peneliti asing menengarai wabah Covid telah muncul di Indonesia, Menteri Kesehatan Letjen Dr Terawan Agus Putranto yang membantahnya sambil menantang para peneliti itu untuk datang ke Indonesia (11/2/2020). ”Nanti sembuh sendiri,” begitu komentar Terawan yang kemudian menjadi olok-olok di media sosial.
Hal serupa dilakukan Menko Polhukam Mahfud MD yang mengutip kelakar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa Covid-19 tidak bisa masuk Indonesia karena perizinannya berbelit-belit. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga berguyon bahwa Covid-19 tak masuk ke Indonesia karena setiap hari orang-orang di sini makan nasi kucing sehingga kebal pada 17/2/2020.
Selain berkomunikasi dengan publik lewat konferensi pers dengan awak media, pejabat publik saat ini kian memanfaatkan media sosial, seperti Twitter dan Instagram untuk menjangkau publik. Media sosial digunakan dalam menyampaikan informasi berupa gambar, video, musik, grafik, dan masih banyak lagi. Tujuannya tak lain untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat luas melalui dunia maya.
Kegaduhan di media sosial
Sayangnya, penggunaan media sosial oleh pejabat publik membuat pesan yang disampaikan kian menimbulkan kegaduhan di tengah publik. Tidak jarang, pesan yang disampaikan kemudian viral dan dikritik tajam oleh warganet.
Seperti yang terjadi pada 15/3/2020, di mana Staf Khusus Milenial Angkie Yudistia mengunggah informasi yang salah terkait dengan cara sederhana mendeteksi virus korona selama 10 detik dengan tarik napas.
Informasi tersebut dibagikannya melalui akun Instagram pribadi miliknya @angkie.yudistia. Warganet memberikan teguran terhadap Angkie bahwa unggahan tersebut tidak benar. Setelah mendapatkan teguran, Angkie menghapus unggahan tersebut dan menyampaikan permohonan maaf.
Kesalahan dalam berkomunikasi juga dilakukan oleh staf khusus milenial pada (6/11/2020). Sebuah surat perintah tugas berkop Sekretariat Kabinet RI yang dibuat oleh Stafsus Milenial Aminuddin Ma’ruf viral di media sosial memerintahkan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri se-Indonesia untuk menghadiri pertemuan khusus dengannya.
Pertemuan tersebut membahas terkait dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Warganet mempermasalahkan surat tersebut lantaran dinilai telah melanggar kewenangan seorang staf khusus.
Pada Januari 2021, penyampaian informasi yang simpang siur dari pejabat terkait dengan tentang sertifikat tanah elektronik masih membuat kesimpangsiuran informasi yang diterima publik. Penerbitan sertifikat tanah elektronik langsung menuai keramaian karena ada informasi sertifikat lama akan ditarik. Selain itu, banyak warganet yang melayangkan protes atas kebijakan tersebut karena tak yakin dengan keamanan sertifikat tanah elektronik.
Teguran
Tidak heran jika Presiden Jokowi setidaknya menegur sebanyak tiga kali sepanjang 2020 kepada semua jajarannya terkait dengan buruknya komunikasi mereka kepada publik. Teguran Presiden menunjukkan kekecewaannya akan kemampuan komunikasi terhadap publik yang dilakukan jajarannya.
Teguran pertama diberikan Presiden pada (24/8/2020) saat memimpin rapat terbatas mengenai laporan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta. Presiden Jokowi meminta jajarannya agar berkomunikasi terlebih dulu dengan juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, sebelum memberikan pernyataan terkait dengan penanganan Covid-19.
Kali kedua, teguran Presiden pada (19/10/2020) meminta menteri jelaskan secara detail rencana vaksinasi saat memimpin rapat terbatas mengenai antisipasi penyebaran Covid-19 saat libur panjang akhir Oktober 2020 di Istana Merdeka.
Presiden mengingatkan agar semua jajarannya memberikan pemahaman secara rinci kepada masyarakat terkait dengan rencana vaksinasi yang akan dilakukan pemerintah. Mulai dari proses seperti apa, siapa yang pertama kali akan diberikan vaksin, hingga kenapa mereka diprioritaskan, perlu dijelaskan secara gamblang kepada publik.
Selanjutnya, pada (21/10/2020) Presiden menegur semua jajaran kabinet karena komunikasi publik pemerintah sangat buruk ketika menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Hal tersebut diungkapkan Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko.
Padahal, komunikasi terhadap publik merupakan bagian krusial bagi keberlangsungan bangsa. Pelaksanaannya membutuhkan cara, teknik, dan medium yang tepat, efektif, dan efisien. Tujuannya agar isi pesan yang disampaikan dapat diserap dengan baik oleh khalayak. Penguasaan kemampuan komunikasi menjadi keharusan bagi para pejabat publik.
Komunikasi kepada masyarakat dari jajaran kabinet yang buruk berulang kali menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan yang ditimbulkan akibat buruknya komunikasi publik dari jajaran kabinet tentu menggerus citra Presiden Jokowi. Kondisi ini juga menjadi kontraproduktif dengan keinginan Presiden Jokowi untuk membangun tim kerja yang berkualitas dan profesional.
Menjadi ”influencer”
Peran komunikasi terhadap publik sudah seharusnya dijalankan dengan baik oleh pejabat publik karena mereka yang paling mengerti tentang kebijakan yang dibuat dan memiliki tanggung jawab untuk membangun dialog dengan masyarakat. Namun, sayangnya peran ini sering kali dialihkan kepada influencer saat para pejabat publik tidak mampu berkomunikasi dengan baik kepada publik.
Semestinya para pejabat publik yang menjadi influencer dalam mengomunikasikan kebijakan publik, bukan para influencer yang ada saat ini. Pelibatan influencer untuk mengomunikasikan suatu kebijakan kepada masyarakat dinilai kurang efektif karena tokoh-tokoh ini belum tentu memahami kebijakan yang dikomunikasikan secara menyeluruh. Influencer hanya akan efektif jika diikutsertakan dalam promosi sebuah kegiatan ataupun program yang hendak dilakukan.
Kode etik atau standar yang mengatur kerja para influencer untuk melakukan evaluasi terhadap aktivitas para influencer pun belum ada. Berbeda dengan pejabat publik yang terikat dengan prinsip-prinsip dan aturan yang terikat dan diatur oleh negara.
Penggunaan influencer dalam menyampaikan informasi yang terkait dengan kebijakan publik dapat berisiko munculnya disinformasi atau hoaks yang berpotensi merusak citra lembaga negara.
Alih-alih menggunakan influencer yang ada, pejabat publik perlu memiliki kemampuan dan pemahaman terkait dengan komunikasi terhadap publik serta didampingi tim khusus yang benar-benar ahli dalam menjalankan tugas komunikasi publik. Harapaannya, pejabat publik dapat membangun interaksi secara langsung dengan masyarakat dengan kemampuan komunikasi publik yang baik. (LITBANG KOMPAS)