Kawasan Puncak, Bogor, memiliki tingkat risiko bencana longsor yang cenderung tinggi. Memulihkan lahan konservasi alam menjadi cara menahan makin sering terjadinya bencana longsor.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·5 menit baca
Bencana longsor menjadi ancaman besar bagi wilayah Kabupaten Bogor. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor mencatat, tanah longsor merupakan bencana yang paling sering terjadi dalam tujuh tahun terakhir. Selain longsor, bencana yang juga banyak menimpa wilayah ini adalah angin kencang dan banjir.
Sepanjang 2014-2020 terjadi 1.442 tanah longsor di Kabupaten Bogor. Longsor paling banyak terjadi pada 2020, yaitu sebanyak 428 bencana longsor. Artinya, tahun lalu setidaknya terjadi satu kali bencana longsor dalam satu hari di wilayah Kabupaten Bogor. Hingga awal 2021 ini, bencana longsor masih terus mengintai wilayah Bogor. Dari 66 kejadian bencana yang terjadi pada Januari 2021, sebanyak 28 di antaranya tanah longsor.
Kondisi geografis dan tofografi lahan yang labil membuat daerah Bogor memiliki tingkat rentan longsor dan pergerakan tanah. Dari sisi geografis, sebagian kawasan Kabupaten Bogor berupa dataran tinggi. Lebih dari seperempat bagian wilayah adalah perbukitan dan pegunungan. Bahkan, ada sekitar 8,43 persen wilayah yang berada pada ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan sebanyak 0,22 persen berada di ketinggian 2.000-2.500 mdpl.
Berada di wilayah tinggi yang masuk kategori hulu membuat daerah ini rentan longsor. Terlebih tipe batuan penyusun tanahnya didominasi oleh hasil letusan gunung yang relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapat curahan hujan yang deras.
Tingkat kerawanan ini ditambah dengan karakter jenis tanah penutup yang didominasi oleh material vulkanik lepas yang sangat peka terhadap erosi. Tidak heran jika beberapa wilayah di Bogor rawan tanah longsor. Kerentanan bencana ini juga terlihat dari hasil kajian Indeks Risiko Bencana 2018 dari BNPB. Tingkat risiko bencana untuk tanah longsor dan banjir di Kabupaten Bogor berada pada tingkat risiko tinggi.
Dalam catatan BPBD Kabupaten Bogor, tingkat kerentanan longsor tinggi terdapat di bagian selatan dan bagian tengah dengan luasan 11.773,82 hektar. Daerah dengan tingkat kerentanan menengah terdapat pada bagian selatan, barat, dan timur dengan luasan sebesar 83.675,27 hektar.
Secara spesifik kawasan rawan longsor terletak di Kecamatan Cijeruk, Cigombong, Caringin, dan Megamendung. Wilayah lain adalah Babakan Madang, Cisarua, Cigudeg, dan Sukajaya. Melihat sebaran lokasinya, sebagian besar kawasan rawan longsor tersebut berada di wilayah Puncak Bogor, terutama Kecamatan Megamendung.
Kawasan Puncak
Masifnya bencana longsor di wilayah Puncak, Bogor, menuntut perhatian dari pemerintah daerah untuk mengurangi risiko bencana. Terlebih wilayah Puncak menjadi salah satu kawasan strategis nasional dengan potensi sebagai sumber air permukaan, cagar alam, taman nasional, dan kawasan sempadan mata air. Di kawasan tersebut juga terdapat hulu aliran sungai Ciliwung yang memiliki peran utama sebagai kawasan resapan air.
Perlindungan terhadap kawasan konservasi ini perlu dilakukan untuk mengatur kegiatan dan pengembangan pada kawasan rawan gerakan tanah agar terhindar dari terjadinya bencana. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2016-2036 menetapkan peraturan zonasi untuk kawasan rawan tanah longsor dengan memperhatikan pemanfaatan ruang serta pembatasan pendirian bangunan.
Rencana pengelolaan kawasan rawan bencana alam mengatur pelarangan kegiatan pemanfaatan tanah yang mempunyai potensi longsor. Selain itu, upaya perlindungan terhadap kawasan rawan gerakan tanah dan longsor juga dilakukan untuk menghindari terjadinya bencana akibat perbuatan manusia.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kabupaten Bogor pada 2018 merumuskan tantangan pembangunan berkelanjutan yang dihadapi wilayah Bogor. Dua tantangan yang diungkapkan adalah berkurangnya daerah resapan air yang memicu terjadinya bencana serta kurangnya cadangan air tanah yang dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan ekologi dan ekosistem.
Berkurangnya daerah resapan air ini salah satunya disebabkan alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya dan lahan terbangun. Intepretasi visual Litbang Kompas dari citra satelit yang tersedia di Google Earth pada 2012 dan 2020 memperlihatkan perubahan lanskap wilayah Puncak, yaitu di Kecamatan Cisarua dan Megamendung. Dibandingkan tahun 2012, sedikitnya ada 10 persen atau sekitar 170 hektar lahan terbangun baru di dua wilayah tersebut pada 2020.
Temuan senada juga muncul dari kajian ”Guna Lahan, Perizinan, Rencana Tindak dan Upaya Pengendalian Hulu Sungai Ciliwung Cisadane” yang dilakukan Bappeda Kabupaten Bogor. Rata-rata peningkatan luas lahan terbangun di kawasan hulu Sungai Ciliwung pada 2010-2017 adalah 4,36 persen per tahun. Bahkan, ada kawasan permukiman yang berlokasi pada peruntukan kawasan hutan seluas 30,51 hektar.
Luas lahan terbangun pada 2010 sebesar 2.380 hektar dan meningkat menjadi 3.142 hektar pada 2017. Pertumbuhan lahan terbangun banyak terdapat di Kecamatan Cisarua. Daya dukung pariwisata menjadi faktor utama pertumbuhan bangunan di kawasan Puncak. Dari sisi bangunan akomodasi wisata, Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan dua wilayah dengan jumlah keberadaan hotel dan rumah makan terbanyak di Kabupaten Bogor.
Selain lahan terbangun, kualitas daerah resapan juga mendapat tekanan dari lahan kritis. Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai-Hutan Lindung Citarum-Ciliwung menunjukkan, luas lahan kritis di DAS Ciliwung pada 2018 mencapai 5.328 hektar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 96 persen lahan kritis DAS Ciliwung terdapat di wilayah Megamendung dan Cisarua.
Pemulihan
Dua data di atas menunjukkan, tutupan lahan yang terus berubah dengan dominasi area terbangun dan tingkat kekritisan lahan di DAS Ciliwung berdampak negatif pada kualitas daya serap air hujan. Kondisi ini membuat luasan area serapan air hujan menurun sehingga dengan cepat membuat luapan banjir dan menggerus tanah.
Bencana alam, utamanya tanah longsor dan banjir, makin banyak terjadi di Kabupaten Bogor. Jika pada 2014 terdapat 204 kejadian longsor dan banjir, jumlahnya meningkat menjadi 603 kejadian pada 2020. Megamendung merupakan wilayah yang paling banyak mengalami bencana alam sepanjang 2020.
Kejadian terakhir adalah bencana banjir bandang di Gunung Mas, Cisarua, pada 19 Januari 2021. Banjir bandang terjadi sebanyak empat kali akibat dipicu adanya longsor di Curug Cisampai, hulu dari Sungai Ciliwung.
Peningkatan kejadian bencana longsor dan banjir terjadi seiring berkurangnya luas daerah konservasi dan keberadaan lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu. Antisipasi perlu dilakukan dengan memulihkan lahan konservasi alam.
RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 sudah mengatur pola ruang wilayah Kabupaten Bogor yang meliputi kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung bukan hanya meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan cagar budaya, tapi juga mencakup kawasan rawan bencana alam. Besarannya ditetapkan 46 persen dari total luas wilayah Bogor.
Aturan tersebut jelas menetapkan bahwa pemanfaatan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik bencana dan pembatasan pendirian bangunan. Artinya, keselamatan warga dan kelestarian lingkungan menjadi syarat utama pembangunan wilayah di Bogor.
Pemerintah Kabupaten Bogor telah melakukan beberapa langkah pengendalian bencana, seperti menertibkan bangunan liar, pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Cisarua dan Megamendung, penanaman 10.000 pohon di 4 desa, serta pengembangan eco village di Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, dan Sukaraja.
Upaya pemulihan kawasan Puncak juga sudah memetakan rencana aksi dalam jangka pendek dan jangka menengah. Rencana jangka pendek dilakukan dengan membuat sumur resapan, pembuatan rorak di area perkebunan, pengerukan telaga, serta penanaman rumput gajah.
Dalam jangka panjang telah disiapkan konsep pemetaan detail daerah rawan longsor, relokasi warga, hingga membuat DAM pengendali sebanyak 40 unit dan kolam retensi DAS Ciliwung Hulu seluas 2.195 hektar.
Regulasi dan rencana aksi telah disiapkan untuk menahan lebih banyak bencana longsor di Puncak Bogor. Tinggal dibutuhkan komitmen dan konsistensi agar penataan kawasan strategis ini dapat menjawab permasalahan menahun ini. Keberhasilan membangun kawasan andalan pariwisata melalui keseimbangan pembatasan pemanfaatan ruang yang lebih selektif dan efisien dapat menjadi model bagi daerah-daerah lain yang menghadapi problem yang sama. (LITBANG KOMPAS)