Kisah Politik di Balik Suksesi Kapolri
Kisah pergantian Kapolri tidak bisa lepas dari dimensi politik yang mengelilinginya. Reformasi 1998 turut memberikan sejumlah perubahan dalam lembaga kepolisian.
Lembaga kepolisian di Indonesia telah memiliki 11 pucuk pimpinan definitif selama periode reformasi. Sepanjang itu pula terdapat ragam kisah yang menyertai setiap suksesi kepala Polri. Narasi politik kerap kali muncul mengiringi pergantian pimpinan tertinggi dalam lembaga kepolisian di Indonesia.
Reformasi 1998 turut memberikan sejumlah perubahan dalam lembaga kepolisian. Lembaga yang dahulu berada dalam pusaran konstelasi politik elite, perlahan mulai melakukan reformasi kelembagaan hingga berubah menjadi lembaga yang secara tegas berpatokan pada Tri Brata dan Catur Prasetya.
Tri Brata merupakan pedoman hidup Polri yang terdiri dari tiga poin utama; yakni berbakti kepada nusa dan bangsa; menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum; serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Selain pedoman kerja, Polri juga memiliki pedoman kerja yang disebut Catur Prasetya. Empat hal yang menjadi pedoman utama adalah meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak asasi manusia; menjamin kepastian berdasarkan hukum; serta memelihara perasaan tenteram dan damai.
Reformasi kelembagaan yang dilakukan oleh Polri tidak terlepas dari peran sejumlah Kapolri yang silih berganti mengisi posisi pucuk pimpinan sejak tahun 1998. Selama lebih dari dua dekade terakhir, terdapat 11 jenderal polisi yang menduduki posisi tertinggi dalam lembaga kepolisian.
Pergantian pucuk pimpinan Polri pertama pada periode reformasi dilakukan pada Juni 1998 atau sekitar satu bulan setelah mundurnya Soeharto sebagai Presiden. Saat itu, Dibyo Widodo yang telah menjabat sebagai kapolri sejak Maret 1996 digantikan oleh Roesmanhadi. Menurut Wiranto, yang saat itu menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI, pergantian ini dilakukan dalam rangka menegakkan semangat reformasi (Kompas, 25 Juni 1998).
Sejak saat itu, pergantian pimpinan dalam lingkungan Polri dilakukan dengan berbagai sebab, seperti kapolri yang memasuki usia pensiun, hingga sejumlah peristiwa politik yang melatarbelakangi.
Masa jabatan kapolri pun beragam. Periode jabatan kapolri tersingkat sepanjang reformasi adalah pada era kepemimpinan Rusdihardjo yang menjabat sejak Januari-September 2000. Sementara periode jabatan terlama adalah pada era kepemimpinan Da’i Bachtiar yang menjabat sejak November 2001 hingga Juli 2005.
Baca juga: Janji Membentuk Polri yang Lebih Humanis
Narasi politik
Pergantian pimpinan Polri sepanjang periode reformasi tidak selalu berjalan mulus. Menurut catatan arsip harian Kompas, terdapat sejumlah sandungan politik dan hukum yang turut mewarnai suksesi kepala Polri.
Catatan terbanyak terjadi pada awal periode reformasi atau sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beleid ini merupakan tonggak utama reformasi Polri setelah lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebelumnya lahirnya UU Kepolisian, pergantian Kapolri sulit untuk dilepaskan dari pusaran politik di tingkat elite. Pada Januari 2000, misalnya, keputusan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk memilih kapolri saat itu cukup mengejutkan. Pasalnya, calon kapolri Rusdihardjo baru dihubungi satu hari sebelum pelantikan untuk menghadap ke Presiden.
Rusdihardjo dihubungi ajudan Gus Dur pada Senin malam, 3 Januari 2000, untuk menghadap ke Presiden keesokan harinya. Pelantikan dilakukan pada Selasa, 4 Januari 2000, oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Pangkat Rusdihardjo saat itu naik dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jenderal.
Namun, kepemimpinan Rusdihardjo dalam lembaga kepolisian tidak bertahan lama. Pada September 2000, Gus Dur memberhentikan kapolri dengan hormat. Menurut Gus Dur, kapolri tidak menuruti perintah untuk menangkap dan memeriksa putra mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (Kompas, 23 September 2000).
Sebelumnya, dalam sidang kabinet pada 14 September 2000, Gus Dur telah memerintahkan pada kapolri untuk menangkap Tommy Soeharto terkait dengan ledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta. Tommy kemudian memberikan klarifikasi dan menyatakan tidak terlibat dalam berbagai kerusuhan dan serangkaian aksi pengeboman yang terjadi saat itu (Kompas, 17 September 2000).
Keputusan Gus Dur untuk memberhentikan kapolri menuai kecaman dari banyak pihak. Pasalnya, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara menurut Gus Dur, aturan ini belum berlaku hingga terbitnya undang-undang yang mengatur.
Baca juga: Penegakan Hukum, Pelayanan Publik, dan Reformasi Internal
Berulang
Narasi politik dari para elite kembali menghiasi pergantian kapolri pada Juni 2001. Saat itu, Gus Dur menonaktifkan Kapolri Surojo Bimantoro dan menetapkannya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Malaysia. Namun, keputusan ini ditolak oleh Bimantoro yang masih belum menerima keputusan presiden tentang penonaktifan sebagai kapolri hingga Juli 2001.
Keputusan Presiden untuk menonaktifkan kapolri kembali menuai kecaman di ruang publik. Pada lembaga legislatif, Fraksi PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Reformasi, Partai Bulan Bintang, Perserikatan Daulatul Ummah, dan Kesatuan Kebangsaan Indonesia, menilai keputusan presiden tidak sesuai dengan haluan negara.
Pasalnya, keputusan penonaktifan kapolri kembali tidak melibatkan DPR. Tujuh fraksi ini bahkan meminta percepatan Sidang Istimewa MPR terkait dengan penonaktifan Kapolri.
Keputusan lainnya yang saat itu juga menimbulkan polemik adalah pengangkatan Chaeruddin Ismail sebagai Wakil Kepala Polri usai penonaktifan kapolri. Hal ini berseberangan dengan keputusan sebelumnya. Sebab, pada April 2001 telah terdapat Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Polri yang menghapus jabatan Wakil Kepala Polri.
Polemik lainnya muncul jelang akhir Juli 2001. Saat itu, Gus Dur melantik Chaeruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kepala Polri. Gus Dur mengatakan bahwa pelantikan ini berdasarkan persetujuan dengan Ketua DPR Akbar Tandjung. Walakin, pada hari yang sama, Akbar Tandjung membantah dirinya memberikan persetujuan terkait dengan penetapan Chaerudin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kepala Polri (Kompas, 21 Juli 2001).
Kondisi ini mendorong pimpinan MPR melaksanakan sidang paripurna dalam rangka Sidang Istimewa MPR. Keputusan ini bermuara pada membesarnya konflik elite saat itu. Puncaknya, posisi Gus Dur sebagai presiden digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Pada Agustus 2001, persoalan kepemimpinan dalam lingkungan Polri coba diselesaikan oleh Presiden Megawati dengan menunjuk Surojo Bimantoro sebagai Kepala Polri definitif. Jabatan Chaeruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kepala Polri tidak lagi berlaku. Kondisi ini perlahan meredakan ketegangan di kalangan elite politik.
Baca juga: Jalan Listyo Sigit Jadi Kapolri Bakal Mulus
Persoalan hukum
Setelah cukup lama suksesi kapolri berjalan tanpa kegaduhan berarti, pada tahun 2015 proses transisi kuasa di lingkungan kepolisian kembali menyita perhatian. Budi Gunawan, calon tunggal kapolri yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan Kepolisian, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nama Budi Gunawan dikirimkan oleh Presiden Joko Widodo kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai calon tunggal Kapolri pada 9 Januari 2015. Beberapa hari berselang, pada 13 Januari 2015 KPK menetapkan Budi sebagai tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar.
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, DPR sepakat dengan penetapan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Namun, jabatan Kapolri belum resmi disandang oleh Budi karena Presiden memutuskan untuk menunda pelantikan.
Penetapan tersangka ini berlanjut pada sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada Februari 2015, hakim tunggal Sarpin Rizaldi memutuskan untuk mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan. Hakim menilai penetapan tersangka tidak sah dan merupakan upaya paksa karena ditetapkan ketika penyidikan sedang dilakukan (Kompas, 16 Februari 2015).
Meski telah disetujui oleh DPR dan memenangkan gugatan praperadilan, Presiden memutuskan untuk tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan alasan demi menjaga ketenangan serta memperhatikan kebutuhan pimpinan Polri definitif. Muara dari suksesi ini adalah pelantikan Wakil Kapolri Badrodin Haiti sebagai Kapolri pada April 2015.
Rangkaian kisah ini menunjukkan bahwa suksesi Kapolri tidak selalu berjalan mulus sepanjang periode reformasi. Satu-dua terganjal sejumlah persoalan yang turut menyita perhatian dan menyulut polemik di ruang publik. Kondisi ini tentu menjadi pelajaran sejarah berharga dalam proses suksesi Kapolri di masa yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?