Tingginya konsumsi beras warga desa ketimbang warga perkotaan disebabkan berbagai hal, di antaranya perbedaan kebiasaan makan. Tak sedikit warga desa mengutamakan kenyang sebagai tujuan makan daripada mendapatkan gizi.
Oleh
Bima Baskara
·5 menit baca
Kecukupan pasokan dan keterjangkauan harga beras menjadi salah satu hal krusial pada masa pandemi Covid-19. Beras sebagai bahan pangan pokok lebih banyak dikonsumsi warga perdesaan di luar Jawa, yang menjadi wilayah-wilayah kantong kemiskinan.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejumlah kesimpulan yang menguatkan urgensi konsumsi bahan pangan pokok tersebut, khususnya bagi masyarakat miskin yang terdampak pandemi. Fakta bahwa beras lebih banyak dikonsumsi masyarakat perdesaan merupakan kesimpulan pertama yang dapat ditarik dari hasil survei ini.
Dalam lima tahun terakhir, hasil survei BPS konsisten menunjukkan besaran konsumsi beras setiap orang di desa yang rata-rata bisa mencapai di atas 7 kilogram (kg) setiap bulan. Sementara rata-rata konsumsi beras masyarakat perkotaan dalam periode yang sama hanya 6 kg per orang setiap bulan.
Sejalan dengan tingginya konsumsi beras di lingkungan warga perdesaan, mereka juga harus mengalokasikan pengeluaran lebih tinggi untuk membeli bahan pokok tersebut. Sepanjang lima tahun terakhir, individu di perdesaan mengeluarkan biaya rata-rata 20 persen lebih banyak setiap bulan untuk membeli beras.
Tingginya konsumsi beras masyarakat desa ketimbang warga perkotaan dapat disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya perbedaan kebiasaan makan. Tidak sedikit warga desa yang lebih mengutamakan kenyang sebagai tujuan utama makan daripada mengutamakan tujuan mendapatkan gizi dari makanan.
Di sisi lain, masyarakat perkotaan hidup dalam situasi perekonomian yang lebih baik ketimbang masyarakat di desa. Persentase kemiskinan di antara kedua wilayah ini menjadi salah satu indikator yang menunjukkan bahwa penduduk desa cenderung menikmati kesejahteraan lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
Data menunjukkan disparitas kemiskinan yang tinggi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Sampai dengan Maret 2020, tercatat persentase kemiskinan di perkotaan sekitar 7,4 persen, sedangkan persentase kemiskinan di perdesaan hampir mencapai 13 persen.
Luar Jawa
Penduduk perdesaan juga dicirikan dengan lokasi tempat tinggal, yang umumnya berada di provinsi-provinsi luar Jawa. Kesimpulan lain yang terungkap dari hasil survei ini menunjukkan tingginya kuantitas beras yang dikonsumsi per individu di luar daerah Pulau Jawa. Konsumsi beras mereka justru lebih tinggi ketimbang penduduk di Jawa yang notabene hidup di daerah-daerah lumbung padi.
Penduduk yang banyak mengonsumsi beras dalam porsi besar berada di Pulau Bali dan Nusa Tenggara serta Sulawesi dan Sumatera. Lebih terinci, ada 10 provinsi yang mencatat profil individu konsumen beras terbanyak, yaitu Bengkulu, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Berikutnya adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Tengah, serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Dalam urutan 10 teratas, NTT menjadi provinsi yang penduduknya paling banyak mengonsumsi beras. Hasil survei BPS pada Maret 2020 menunjukkan, konsumsi beras per orang di provinsi ini rata-rata 8,75 kg setiap bulan.
Sembilan provinsi lainnya mencatat konsumsi beras sedikitnya 7,3 kg per bulan merujuk hasil survei yang sama. Tiga provinsi lumbung padi nasional, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, hanya mencatat konsumsi beras setiap bulan rata-rata tidak lebih dari 6,5 kg per orang.
Hasil survei tersebut juga memberikan kesimpulan lain jika disandingkan dengan publikasi BPS mengenai profil kemiskinan di Indonesia. Dalam konteks ini, beras menjadi komoditas pangan yang mempunyai andil penting pada penduduk miskin.
Profil kemiskinan per Maret 2020 menempatkan beras di urutan teratas komoditas kelompok makanan yang memberikan andil besar terhadap pembentukan garis kemiskinan. Andil beras terhadap garis kemiskinan juga menunjukkan perbedaan nyata antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Di perkotaan, lebih kurang seperlima dari garis kemiskinan senilai Rp 335.793 bersumber dari beras. Sementara itu, kebutuhan konsumsi beras di desa memberikan andil lebih dari seperempat nilai garis kemiskinan tersebut.
Komparasi hasil survei dengan profil kemiskinan yang dipublikasikan BPS juga menunjukkan kaitan antara tingginya kuantitas beras yang dikonsumsi per individu dan kemiskinan. Dari total 10 provinsi konsumen beras terbesar, tujuh provinsi mencatat persentase kemiskinan di atas angka nasional sebesar 9,78 persen.
Selain itu, tingginya kuantitas beras yang dikonsumsi individu juga banyak muncul di wilayah-wilayah kantong kemiskinan. Lima provinsi dengan pola kuantitas konsumsi beras individu yang besar itu juga termasuk 10 besar daerah kantong kemiskinan.
Lebih terinci, kelima daerah kantong tersebut adalah Provinsi NTT dan NTB, Gorontalo, Bengkulu, kemudian Sulawesi Tengah. Provinsi NTT mencatat persentase kemiskinan di urutan ketiga nasional. Persentase kemiskinan di empat provinsi lainnya menempati urutan ke-5 hingga ke-8 teratas secara berurutan.
Produksi rendah
Produksi padi di sejumlah kantong kemiskinan juga tak bisa dikatakan tinggi. Dalam urutan ke-34 provinsi, produksi beras Provinsi Sulawesi Tengah dan NTT berada di urutan ke-14 dan ke-15. Padahal, kedua provinsi ini mencatat persentase kemiskinan di urutan ketiga dan kedelapan tertinggi di Indonesia.
Sementara itu, produksi beras di Sulawesi Utara dan Gorontalo berada di urutan ke-22 dan ke-26 dari total 34 provinsi. Gorontalo juga tercatat sebagai provinsi dengan persentase kemiskinan kelima tertinggi secara nasional.
Tak bisa dimungkiri, masyarakat miskin di kawasan perdesaan luar Jawa umumnya hidup dengan kultur aktivitas ekonomi yang berbeda karena menyesuaikan kondisi alam. Lahan yang ada sering kali kurang cocok ditanami dengan komoditas bahan pokok seperti padi. Bahkan, tidak sedikit masyarakat miskin yang tinggal di perdesaan luar Jawa yang menggantungkan hidup dari aktivitas melaut.
Besarnya urgensi pengadaan beras, khususnya untuk masyarakat miskin di wilayah perdesaan di luar Jawa pada masa pandemi Covid-19, sejauh ini juga menjadi perhatian khusus pemerintah. Pemerintah telah menyalurkan bantuan berupa beras medium dari Bulog untuk 10 juta keluarga miskin.
Program itu merupakan bentuk bantuan yang bersifat jangka pendek dan darurat. Stabilitas pasokan dan harga beras menjadi hal yang akan semakin dibutuhkan masyarakat ke depan mengingat pandemi telah mengakibatkan pertambahan penduduk miskin.
Melihat hasil survei BPS dan profil kemiskinan saat ini, rasanya tak berlebihan jika pandemi Covid-19 justru menjadi momentum untuk perbaikan kebijakan pengadaan beras bagi kelompok masyarakat miskin.