Bahu-membahu Mengurangi Emisi Karbon
Cepatnya perkembangan kendaraan listrik di China tak lepas dari kebijakan pemerintah setempat yang sejak lama pro jenis kendaraan itu, antara lain diawali dengan pengoperasian 127 bus listrik di Shenzhen pada 2011.
Sudah banyak negara berkomitmen mewujudkan 100 persen kendaraan bermotor listrik. Upaya bersama ini dilakukan demi mengurangi risiko emisi karbon.
Beberapa dekade terakhir, emisi karbon menjadi perhatian banyak kalangan. Persoalan ini telah menggugah negara-negara untuk menciptakan kesepakatan bersama. Hal itu dimulai dari negosiasi Protokol Kyoto sejak Desember 1997 dan diresmikan 16 Februari 2005. Kemudian, ada Perjanjian Paris tahun 2015 yang disetujui 195 negara satu tahun berikutnya.
Melalui perjanjian tersebut diharapkan peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan kurang dari 2 derajat celcius dibandingkan periode pra-industri pada 1850-an. Selain itu, terus dilakukan upaya pembatasan kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celsius. Hal ini menjadi tantangan bagi setiap negara karena dari tahun ke tahun tren suhu rata-rata global menunjukkan kenaikan.
Seperti yang dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dari Januari hingga Oktober 2019, suhu rata-rata global naik 1,1 derajat celsius. Menurut Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, jika tidak ada tindakan, peningkatan suhu lebih dari 3 derajat celsius akan terjadi pada akhir abad ke-21. Kondisi ini membahayakan kesejahteraan manusia (Kompas.id, 4/12/2019).
Berbagai upaya mulai dilakukan untuk mengantisipasinya. Salah satunya, konversi penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak (BBM). Konversi penting dilakukan karena menurut Climate Transparency Report 2019, secara global sektor transportasi menyumbang 20 persen dari total emisi sektor energi. Posisinya berada di peringkat ketiga setelah pembangkit listrik (37 persen) dan industri (24 persen).
Lompatan besar pun dilakukan dalam upaya konversi ini. Kini, pengurangan emisi karbon pada kendaraan bermotor tidak hanya melalui produksi mesin standar emisi EURO, tetapi juga target ke depan dunia akan beralih kepada kendaraan bermotor listrik (KBL). Pada jenis tertentu, kendaraan ini bahkan benar-benar nihil emisi karbon karena energi yang digunakan 100 persen dari baterai.
Tren mobil listrik
Tak lama lagi, kehadiran kendaraan listrik di jalan raya semakin lumrah, terlihat dari populasi jenis kendaraan ini yang meningkat setiap tahunnya. Menurut catatan International Energy Agency (IEA), secara global tahun 2015 jumlahnya masih 0,72 juta unit. Namun, tahun 2019, angkanya naik hampir tujuh kali lipat menjadi 4,79 juta unit.
Dari tren itu, China terpantau menjadi negara dengan porsi kendaraan listrik yang besar. Dimulai dari tahun 2015, dengan sebaran 0,21 juta unit kendaraan listrik, China berada di posisi yang sama dengan Eropa dan Amerika Serikat.
Namun, lima tahun berikutnya, populasi kendaraan lisrik di China terus membesar, jauh meninggalkan negara-negara lain. Tahun 2019, kendaraan listrik di China sudah mencapai 2,58 juta unit, atau 53,9 persen dari total di dunia.
Cepatnya perkembangan kendaraan bermotor listrik di China tidak lepas dari kebijakan pemerintah setempat yang sejak lama pro kendaraan listrik. Hal itu antara lain diawali dengan pengoperasian 127 bus listrik di Kota Shenzhen pada 2011. Jumlahnya bertambah menjadi 545 unit tahun 2015 dan melonjak menjadi 6.000 bus tahun 2017. Mayoritas dari bus ini buatan dalam negeri, yakni oleh BYD Automobile.
BYD Automobile juga memproduksi mobil listrik BYD e6 sejak 2010. Kala itu, 40 unit produksi perdananya digunakan sebagai armada taksi di Shenzen. Satu tahun berselang, mobil model crossover SUV itu dijual massal untuk konsumen di China. Kemudian, mulai Januari 2016, banyak dipesan perusahaan taksi di berbagai negara termasuk Blue Bird di Indonesia ikut memesannya.
Langkah China tersebut sangat menguntungkan karena dapat mempersiapkan infrastruktur pendukung kendaraan listrik lebih awal dibandingkan dengan negara lain. Untuk menjaga pasokan listrik ribuan bus dan taksi listrik itu, China telah mendirikan lebih dari 1.700 pengisi daya listrik supercepat berdaya 150 kW dan 180 kW di 104 terminal serta depot.
Setelah berpromosi di moda transportasi umum, beragam stimulus diberikan Pemerintah China untuk membangkitkan pasar kendaraan listrik domestik. Contohnya, program subsidi langsung pembelian kendaraan listrik yang berlaku sejak tahun 2016. Subsidi didasarkan pada tiga kategori, yaitu jarak tempuh, efisiensi energi, dan kapasitas baterai dengan standar yang terus naik.
Subsidi pada 2019 hanya diberikan kepada mobil listrik berjarak tempuh hingga 250 km sekali isi daya. Standar ini naik dari tahun sebelumnya yang masih 150 km. Subsidi langsung diproyeksikan akan dikurangi pada tahun ke depan. Sebagai gantinya, subsidi beralih pada fasilitas lain, seperti kemudahan registrasi kendaraan listrik, bebas dari pembatasan lalu lintas, dan gratis parkir.
Untuk memperbanyak lokasi pengisian daya listrik, keringanan disediakan bagi para operator. Subsidi diberikan per kW berdasarkan jenis arus DC atau AC dan kapasitas daya yang disediakan. Ada tiga jenis infrastruktur yang dipromosikan Pemerintah China, yaitu pengisian daya publik di kota, pengisian daya pribadi di rumah, serta perusahaan berbasis isi daya.
Target 100 persen
Negara-negara lain juga memiliki visi yang sama untuk mengurangi emisi karbon melalui penggunaan kendaraan listrik. Bahkan, dalam tiga dekade ke depan, beberapa di antara mereka menetapkan target pemakaian kendaraan listrik secara penuh. Sebagai contoh, Norwegia per tahun 2025 berkomitmen menerapkan 100 persen penjualan kendaraan nihil emisi (ZEV).
Berbeda dengan China, Norwegia tidak memberikan subsidi pembelian kendaraan listrik. Subsidi justru banyak dilimpahkan pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 25 persen dan tiga pajak lainnya. Besaran subsidi didasarkan pada standar kadar gas buang, yaitu CO₂ dan NOx. Di tengah tingginya pajak kepemilikan kendaraan bermotor di Norwegia, subsidi ini menjadi daya tarik tersendiri.
Kebijakan Pemerintah Norwegia bersambut dengan tingginya penjualan kendaraan listrik di negara ini. Penjualan mobil listrik di Eropa tahun 2019 naik 50 persen dari tahun 2018. Penjualan tertinggi terjadi di Norwegia (56 persen) dan Eslandia (22 persen). Adapun penjualan mobil listrik di Norwegia sepanjang tahun 2019 mencapai 109.000 unit. Angka ini naik 61 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Baca juga: Mobil Bertenaga Listrik, Disrupsi Besar di Industri Otomotif
Peningkatan penjualan mobil listrik di Eropa dipengaruhi oleh target tinggi yang diterapkan negara-negara di benua itu, seperti Eslandia, Belanda, Denmark, Irlandia, Swedia, dan Slovenia. Negara-negara ini menargetkan penggunaan sepenuhnya kendaraan listrik pada 2030. Kebijakan itu tak hanya berupa penjualan 100 persen kendaraan bebas emisi, tetapi juga pemberhentian registrasi dan pelarangan penjualan kendaraan BBM.
Hingga tahun 2050, menurut catatan IEA, sudah ada 19 negara yang hendak menerapkan kebijakan serupa. Di Asia, Jepang menerapkan target tahun 2050. Indonesia menargetkan 2.200 unit kendaraan listrik pada 2025 dan 4,2 juta unit tahun 2050.
Serupa dengan negara lain, percepatan penerapan kendaraan listrik di Indonesia juga diikuti sejumlah kebijakan pemerintah, seperti tertuang dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2019. Wujudnya, pemberian intensif fiskal, seperti intensif pajak penjualan barang mewah, pengurangan pajak pusat dan daerah, hingga keringanan biaya pengisian listrik. Ada pula intensif nonfiskal, seperti pengecualian pembatasan lalu lintas.
Meski demikian, sejumlah tantangan muncul di depan mata, antara lain harga kendaraan listrik yang masih tinggi. Sampai saat ini, mobil listrik termurah di Indonesia masih dibanderol tak kurang dari Rp 600 juta, yaitu Hyundai Ioniq.
Lihat video: Pembuktian Jarak Jauh Hyundai Kona Electric
Infrastruktur pengisian daya listrik juga masih terbatas. Hingga November 2020, Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) baru 62 unit di 37 lokasi.
Selain itu, penetapan pelarangan penjualan kendaraan BBM belum diberlakukan. Ditambah lagi belum ada intensif pajak kendaraan berdasarkan emisi karbon. Maka, tekanan bagi publik untuk beralih pada kendaraan listrik belum terasa. Selagi ada pilihan dengan harga lebih terjangkau dan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas, konsumen tetap akan memilih mobil berbahan bakar minyak walau menghasilkan emisi tak sedikit.
Meski demikian, Indonesia belum terlalu terlambat untuk menghadapi tantangan itu. Hal serupa sedang dirasakan banyak negara. Yang paling utama adalah jangan sampai ada negara yang hanya berdiam diri di tengah emisi karbon yang terus meningkat. Persoalan ini hanya dapat diatasi jika semua negara memiliki kepedulian yang sama.
(Litbang Kompas)