”A Promised Land” dan Memoar Kepresidenan Barack Obama
Presiden ke-44 AS, Barrack Obama, menuliskan refleksi pemerintahannya dari dua sisi, sebagai seorang presiden sekaligus manusia biasa.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan istrinya, Michelle Obama (kiri), menyambut kedatangan presiden terpilih, Donald Trump, dan istrinya, Melania Trump, di Gedung Putih, Washington, Jumat (20/1/2017), sebelum pelantikan Trump di Gedung Capitol.
Melalui perpaduan antara perjalanan karier dan pergulatan pribadi, Barack Obama menuangkan refleksinya atas masa pemerintahannya selama dua periode di Amerika Serikat. Memoar ini menjadi warisan pemikiran politik dari presiden ke-44 AS.
Terbitnya buku A Promised Land pada pertengahan November 2020 seakan menjadi sindiran keras terhadap Donald Trump atas polemik pemilu AS tahun ini. Dari judulnya saja, Barack Obama secara tegas menyampaikan pesan bahwa AS adalah ”Tanah Perjanjian” bagi semua orang, tanpa dibatasi latar dan asal-usulnya. Setidaknya, Obama membuktikan itu dengan menjadi presiden hingga dua periode.
Obama memberikan judul pada bagian pertama buku ini sebagai ”Sebuah Pertaruhan” (The Bet). Di awal, Obama memberikan sedikit gambaran aktivitas awalnya di Gedung Putih setelah ia terpilih pada 2008. Gaya penulisan yang santai sudah terasa sejak bagian ini, misalnya ketika Obama berbincang singkat dengan tukang kebun berkulit hitam bernama Ed Thomas yang sudah bekerja selama 40 tahun di sana.
Masih di bagian pertama, Obama menuliskan perjalanan hidup yang mengantarkan dirinya hingga menjadi Presiden AS. Kalimat pertama dalam bagian kisah ini tegas, ”Saya bukan berasal dari keluarga politik.” Begitulah penegasan awal sebelum Obama menceritakan tentang kakek, nenek, dan kedua orangtuanya.
Tulis Obama, mereka berdua tidak memiliki pegangan ideologi mana pun (Demokrat atau Republik) karena yang mereka pikirkan adalah bekerja untuk hidup sehari-hari. Tidak mengherankan bila Obama sedikit mengenang kakek dan neneknya (Stanley Armour Dunham dan Madelyn Lee Payne Dunham) dalam memoar ini. Dua hari sebelum Obama terpilih, Madelyn Lee Payne Dunham meninggal menyusul suaminya yang sudah lebih dulu pergi pada 1992.

Patung Barack Obama kecil terpasang di halaman SD Negeri 01 Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (30/6/2017). Patung terpasang sejak 2010.
Budaya berpikir kritis terhadap kehidupan sekitar justru Obama dapatkan dari ibunya, Stanley Ann Dunham. Ia adalah seorang antropolog yang turut menyumbang pemikiran bagi masyarakat Indonesia. Dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds, ia menyimpulkan bahwa akar kemiskinan bukan karena orang miskin itu sendiri, melainkan karena kesenjangan antara negara berkembang dan negara maju di Barat.
Dalam bagian-bagian berikutnya, Obama menceritakan kisah kehidupan pribadinya, tetapi kali ini tidak lagi masa pembentukannya sewaktu empat tahun berada di Indonesia. Fokusnya kali ini ada pada fase ketika dirinya kembali ke Hawaii untuk tinggal bersama kakek dan neneknya dari pihak ibu. Di tengah keriangan kehidupan remaja yang disibukkan dengan olahraga bola basket dan memikat para gadis, Obama mengalami ”titik balik”.
Lantas, ia melakukan refleksi atas kehidupannya, terutama mengenai ketidaknyamanannya atas lingkungan sekitar dan eksistensinya sebagai orang kulit hitam. Kesadaran ini membuatnya merasa resah dan ia menggambarkan dirinya sebagai kombinasi yang tidak pas seperti ”seekor platipus atau beberapa binatang imajiner”. Kegelisahan ini membawanya larut dalam pemburuan buku-buku untuk ia baca, seperti karya Marx dan Marcuse.
Dalam 200 halaman berikutnya, Obama banyak menceritakan kehidupan pribadinya di Chicago. Di sini, Obama menceritakan kisah pergulatan karier politiknya yang mulai berkembang sekaligus membebani kehidupan pernikahannya dengan Michelle. Kehadiran putri mereka, Malia Ann Obama, turut memberi pertimbangan besar untuk kedua pasangan ini agar menjaga keseimbangan antara karier politik dan ranah kehidupan pribadi.

Refleksi pemerintahan
Berulang kali, Obama menyebutkan bahwa sebagai presiden ke-14 AS, dirinya diwarisi kondisi negeri yang sedang dalam ”keadaan darurat”. Buktinya, ungkapan ini hampir tersebar di lebih dari 50 halaman dengan diksi dan konteks pembahasan yang berbeda-beda. Memang, ketika Obama menjalani periode pertama pemerintahan, situasi sosial, politik, dan ekonomi AS masih babak belur akibat depresi finansial (great depression).
Menghadapi situasi awal yang pelik ini, Obama memiliki gagasan ambisius untuk melakukan perubahan struktural, tetapi jajaran kabinetnya kerap menemui jalan buntu ketika berunding dengan pihak bank. Obama berpendapat, depresi finansial itu pun terjadi akibat keserakahan dan kecerobohan pihak bank sehingga mendorong sistem keuangan ke tepi jurang dan membuat pasar menjadi panik. Dilemanya, jika ia menekan pihak bank, maka akan muncul konfrontasi dan tidak membuat kepanikan pasar mereda.
Sekelumit kisah tadi menjadi salah satu dari beberapa persoalan yang dihadapi Obama beserta timnya (kabinet dan Partai Demokrat) yang ia tuliskan. Dengan hati-hati, Obama menuliskan berbagai pertimbangan, proses pengambilan keputusan, hingga hal selanjutnya yang terjadi ketika kebijakan publik tertentu diterapkan.
Begitu pula dengan kebijakan perang AS di Timur Tengah, yang tampaknya akan dibahas lebih lengkap di jilid kedua buku ini. Dengan mencermati strategi dan kebijakan yang Obama tuliskan, ia mewarisi pemikiran politik yang berharga bagi pembacanya.

Presiden AS Barack Obama mengunjungi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (10/11/2010).
Secara implisit, Obama menyatakan bahwa dua tahun pertamanya menjabat dilalui dengan sangat sukses. Ada beberapa kebijakan publik yang ia nilai sangat bermanfaat bagi masyarakat, misalnya Undang-undang Perawatan Terjangkau untuk Kesehatan, Undang-undang Pemulihan untuk Mencegah Depresi Finansial, atau regulasi tentang kebijakan investasi hijau ramah lingkungan. Menurut Obama, di bawah kepemimpinannya, pencapaian Kongres dalam satu sesi telah melebihi pencapaian selama 40 tahun sebelumnya.
Kinerja gemilang yang ia klaim tidak begitu saja menghilangkan stigma kulit hitam yang menjadi identitas pribadinya. Stigma ini kerap menjadi kampanye hitam bagi dirinya dan berpengaruh pada elektabilitas Partai Demokrat. Di salah satu bagian, ia bercerita tentang tindakan diskriminatif terhadap dirinya ini.
Suatu ketika dalam konferensi pers, ada seorang wartawan yang menanyakan pendapat Obama mengenai penangkapan Henry Louis Gates Jr (seorang profesor Afro-Amerika yang studi di Harvard) oleh polisi di depan teras rumahnya sendiri. Dengan spontan, Obama mengatakan bahwa petugas tersebut bertindak ”kurang pantas” karena bertindak rasis. Alasan penangkapan ini pun sebenarnya sumir.
Lantas, ucapan Obama ini dimasak sedemikian rupa olah media yang berpihak pada oposisi dan melakukan kampanye hitam. Imbasnya, dukungan terhadap dirinya dari warga kulit putih menurun pada pemilihan umum 2016. Menyingkapi ini, ia menuliskan akan sangat berhati-hati ketika mengutarakan komentar natural di hadapan publik.
Seperti pemerintahan pada umumnya, tentu ada pihak yang menentang atau oposisi yang kerap menjatuhkan. Hal ini beberapa kali Obama angkat, misalnya seorang senator Partai Republik yang secara terang-terangan berkata kepada Obama bahwa kondisi ketidakstabilan di masyarakat justru membuat mereka merasa senang. Partai Republik digambarkan sebagai kerikil dalam sepatu Obama ketika hendak melangkah membawa AS kepada kemajuan.

Lima mantan Presiden AS, Jimmy Carter, George HW Bush, Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama, saat tampil bersama dalam konser amal di A&M University, Texas, 21 Oktober 2017.
Ketika mencermati kisah-kisah yang Obama tuliskan, sebenarnya ia menunjuk Partai Republik dan Donald Trump sebagai lawan politik dan ideologis. Secara berulang Obama menuliskan betapa dirinya tidak mengerti alasan Partai Republik melakukan kampanye dengan cara membelah warga AS menjadi dua: Republik dan non-Republik.
Polarisasi politik ini menjadi bahaya jika terus dilakukan oleh Partai Republik hanya demi mendulang suara dalam pemilu. Di samping itu, ia juga mengkritik dirinya yang belum mampu mengatasi persoalan ini seperti yang Franklin Delano Roosevelt lakukan.
Secara eksplisit, Obama merangkum sentimen terhadapnya dengan menuliskan ”Seolah-olah kehadiran saya di Gedung Putih telah memicu kepanikan yang mendalam, perasaan bahwa tatanan alam telah terganggu”. Kalimat ini ia tuliskan untuk menyorot perlakuan oposisi yang tidak menyukai kehadirannya sebagai presiden dan bertindak rasis terhadap dirinya.
Kejadian yang menimpa Henry Louis Gates Jr juga menyadarkan Obama bahwa perselisihan antara polisi dan warga kulit hitam atau coklat merupakan warisan konflik masa lalu yang belum selesai. Bagian ini tentu menjadi sindiran bagi Trump mengingat kasus tewasnya pemuda kulit hitam, George Floyd, yang memicu aksi demonstrasi besar tahun ini.
Sosok Trump menjadi rival yang menghantui sepanjang buku ini meski jarang sekali disebutkan. Misalnya, Obama menuliskan bahwa ia ingin menghindari perang dagang dengan China karena tidak menguntungkan AS. Begitu pula dengan menyatakan bahwa seorang presiden tidak boleh mengeluh secara terbuka ketika menghadapi kritik dari publik.

Humanis
Dapat dikatakan, Obama menuliskan refleksi pemerintahannya dari dua sisi, sebagai seorang presiden sekaligus manusia biasa. Buku A Promised Land telah mengantar pembaca untuk menjelajahi sisi pribadi Obama karena ia menuliskannya secara humanis.
Dalam artikelnya, New York Times melaporkan bahwa Obama kerap menulis di sela-sela rutinitasnya dengan gaya yang klasik, dengan tablet beserta penanya. Barangkali itulah alasan mengapa sentuhan humanis dalam A Promised Land menjadikan buku ini mudah dinikmati.
Sayangnya, pembaca tidak akan menemukan kisah lengkap Obama sejak masa kanak-kanak secara mendetail. Sebab, kisah perjalanan hidupnya sudah dimuat dalam buku Dreams from My Father yang Obama tulis dan terbit pada 1995. Hingga saat ini, Obama telah menulis empat buku, yakni Dreams from My Father (1995), The Audacity of Hope (2006), Of Thee I Sing (2010), dan A Promised Land (2020).
Terlepas dari pro dan kontra atas masa pemerintahannya, Obama sebenarnya berusaha secara logis meyakinkan pembaca untuk memahami perasaannya. Ia menyatakan bahwa meski tidak sempurna dan banyak kekurangan, tindakannya selama menjabat merupakan suatu upaya terbaik yang dapat dilakukan oleh siapa pun. Ia telah mengembalikan AS ke jalur yang benar dari tepi jurang.

Presiden AS Barack Obama memberikan Medali Kebebasan Presiden kepada Wakil Presiden Joe Biden saat penghormatan kepada Biden di Gedung Putih di Washington, DC (12/1/2017).
Ada fakta menarik di balik buku ini, seperti yang dalam artikel yang diterbitkan oleh New York Times, Barack Obama menjadi salah satu presiden yang memakan waktu cukup lama dalam menuliskan memoar. Ia dan pendahulunya, Richard Nixon, presiden ke-37 AS, membutuhkan waktu selama tiga tahun dan delapan bulan setelah melepas jabatan untuk merilis memoar jilid pertamanya. Sementara delapan presiden sebelumnya yang juga menulis memoar tidak membutuhkan waktu selama ini.
Bagaimanapun, A Promised Land telah menyilakan pembaca memasuki relung impian terdalam dari seorang Barack Obama. Ia menuliskan, selama menjabat, ia membayangkan sedang berjalan-jalan di jalanan kota tanpa protokol keamanan, tanpa agenda yang diatur, ataupun tanpa staf di sekelilingnya. Selanjutnya, masuk ke sebuah toko, mengobrol dengan kasir, pergi lalu duduk di bangku, menyesap minuman, dan mengamati orang-orang di sekitar. Di saat itulah ia merasa ”Saya seperti menang lotere”.
Dengan begitulah, A Promised Land berhasil membawa pembaca untuk mengenal ranah pribadi Barack Obama. Akhirnya seperti yang Haruki Murakami tulis dalam The Elephant Vanishes (1993), ”We’re human, after all, and everybody’s got something a little off somewhere”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Gaya Komunikasi Presiden AS, dari Telegram hingga Twitter