Beban APBN akibat Covid-19
Besaran pendapatan dan belanja negara mendapat beban berat akibat krisis ganda, yaitu krisis ekonomi dan kesehatan. Penyesuaian perlu dilakukan karena penerimaan negara tersendat, sementara belanja membengkak.
Pandemi Covid-19 memaksa pemerintah menyesuaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penanganan kesehatan serta memulihkan perekonomian. Tidak kurang dari seperempat porsi anggaran belanja dialokasikan untuk dua hal tersebut.
Kebijakan fiskal yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara biasanya dipengaruhi oleh kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang berkembang di suatu negara. Namun, APBN 2020 yang disusun pada 2019 tidak memperhitungkan sama sekali keadaan darurat kesehatan akibat serangan virus korona yang menyebabkan penyakit Covid-19.
Besaran pendapatan dan belanja negara mendapat beban berat karena krisis ganda, yaitu krisis ekonomi dan kesehatan. Penyesuaian harus dilakukan karena penerimaan negara tersendat, sementara anggaran belanja membengkak untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Setidaknya APBN 2020 dua kali mengalami perubahan untuk mengakomodasi kebutuhan belanja negara yang meningkat. Semula, dalam APBN 2020, target pendapatan negara ditetapkan Rp 2.165,1 triliun. Adapun target belanja negara Rp 2.461,1 triliun. Defisit anggaran hanya Rp 296 triliun atau 1,84 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Keadaan pandemi memaksa pemerintah melakukan perubahan. Pada April 2020, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, target pendapatan negara turun menjadi Rp 1.760,8 triliun. Anggaran belanja bertambah menjadi Rp 2.613,8 triliun sehingga defisit anggaran melebar menjadi 5,07 persen dari PDB.
Agar defisit anggaran tidak sampai melanggar ketentuan perundang-undangan dengan batas 3 persen dari PDB, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada Mei 2020.
Perppu tersebut memperlebar batasan defisit anggaran yang bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19 dan/atau saat menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan. Kewenangan ini berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022.
Pada Juli 2020, perubahan kedua atas APBN 2020 kembali terjadi. Melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020, target pendapatan negara kembali turun menjadi Rp 1.699,9 triliun. Adapun anggaran belanja meningkat menjadi Rp 2.739,1 triliun. Akibatnya, defisit melebar lagi menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB.
Baca juga : Dana Berlimpah, Lambat Tumpah
Dengan demikian, dibandingkan dengan APBN 2020 sebelum perubahan, target pendapatan dalam APBN 2020 perubahan kedua ini turun signifikan 22,9 persen. Di sisi lain, anggaran belanja meningkat 11,3 persen.
Dalam APBN 2020, berdasarkan Perpres No 72/2020, besaran pagu untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 695,16 triliun atau 25 persen dari total anggaran belanja negara. Dana sebesar itu disebar bagi stimulus enam kelompok program, yaitu program kesehatan (Rp 87,55 triliun); perlindungan sosial (Rp 203,91 triliun); kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (Rp 106,05 triliun); insentif usaha (Rp 120,61 triliun); stimulus usaha mikro, kecil, dan menengah (Rp 123,47 triliun); serta stimulus korporasi (Rp 53,57 triliun).
Realisasi tiga triwulan
Meski telah diubah dua kali dan target pendapatan turun 23 persen, ternyata realisasi penerimaan negara berjalan cukup lambat. Penerimaan negara hingga akhir September 2020 dilaporkan mencapai Rp 1.158,99 triliun atau 68,2 persen dari target pada APBN berdasarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2020.
Jika dilihat per triwulan, capaian penerimaan negara ialah 22,1 persen pada akhir triwulan pertama, sebesar 47,7 persen pada akhir triwulan kedua, dan 68,2 persen pada akhir triwulan ketiga. Tampak penerimaan negara tersendat pada masa triwulan ketiga. Namun, pencapaian ini, menurut pemerintah, masih sesuai proyeksi, mengingat tekanan yang dialami sektor bisnis yang memengaruhi kemampuan membayar pajak.
Meski demikian, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, secara nominal realisasi penerimaan negara hingga triwulan ketiga tahun ini lebih sedikit dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tahun lalu, penerimaan negara hingga akhir September 2019 tercatat mencapai Rp 1.342,32 triliun. Namun, secara persentase, penerimaan negara pada akhir triwulan ketiga 2019 itu hanya 62 persen dari target APBN 2019.
Perbedaan realisasi penerimaan negara tahun ini menunjukkan sektor bisnis dan usaha memang terpukul akibat pandemi Covid-19. Secara lebih rinci, terlihat realisasi penerimaan dari perpajakan yang lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan negara dari bukan pajak (PNBP) dan dari hibah.
Penerimaan perpajakan baru mencapai Rp 892,4 triliun atau 63,54 persen dari target Rp 1.404,5 triliun. Sementara penerimaan negara dari PNBP sudah mencapai 88,69 persen dari target. Penerimaan dari hibah bahkan sudah mencapai 436 persen dari target yang hanya Rp 1,3 triliun.
Sementara itu, dari sisi belanja negara, realisasinya sampai dengan akhir September 2020 sebesar Rp 1.841,10 triliun atau sekitar 67,21 persen dari pagu Perpres No 72/2020. Realisasi belanja negara tersebut meliputi realisasi belanja pemerintah pusat Rp 1.211,40 triliun (61,33 persen) dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa Rp 629,70 triliun (87,43 persen).
Adapun realisasi atau pencairan dana untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sampai dengan akhir September 2020 baru mencapai 45,81 persen dari total pagu Rp 695,16 triliun. Hingga 12 November, perkembangan pencairannya menjadi 55,1 persen. Pemerintah optimistis pencairan seluruh dana stimulus tersebut dapat dilakukan sampai akhir tahun.
Optimisme 2021
Penyusunan APBN 2021 tetap dipengaruhi kondisi dunia usaha yang masih terdampak Covid-19 dan belum sepenuhnya pulih. Target pendapatan negara ditetapkan Rp 1.743,6 triliun atau naik 2,6 persen dibandingkan dengan APBN 2020 perubahan kedua.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi: V, U, atau W?
Untuk belanja negara, ditargetkan Rp 2.750,0 triliun atau naik hanya 0,4 persen dibandingkan dengan APBN 2020 perubahan kedua. Pengalokasian anggaran belanja tetap ditujukan untuk penanganan bidang kesehatan dan memperkuat pemulihan ekonomi dan sosial. Dengan sedikit kenaikan target pendapatan dan belanja negara tersebut, defisit anggaran didapat 5,7 persen. Masih di atas batas normal 3 persen.
Penyusunan APBN 2021 dibangun di atas landasan asumsi makro yang lebih optimistis. Prospek perekonomian nasional tahun depan diperkirakan membaik seiring dengan mulai pulihnya perekonomian global. Perbaikan ekonomi yang sudah terlihat sejak triwulan III-2020 akan terus meningkat dan tahun depan diprediksi bisa kembali ke kisaran 5 persen.
Kunci utamanya terletak pada peningkatan konsumsi masyarakat dan efektivitas belanja pemerintah. Selain itu, rencana pemberian vaksin Covid-19 pada 2021 turut membantu meningkatkan kepercayaan publik sehingga kegiatan ekonomi akan semakin pulih. (LITBANG KOMPAS)