Alasan Dunia Mencintai Kamala Harris
Bagi Kamala Harris, Amerika Serikat adalah negeri harapan bagi semua orang.
”Meskipun saya mungkin wanita pertama di kantor ini, saya tidak akan menjadi yang terakhir karena setiap gadis kecil yang menonton malam ini melihat bahwa ini adalah negara yang penuh harapan. Dan kepada anak-anak di negara kami, apa pun jenis kelamin Anda, negara kami telah mengirimi Anda pesan yang jelas: Bermimpilah dengan ambisi, pimpin dengan keyakinan, dan lihat diri Anda dengan cara yang mungkin tidak dilihat orang lain....” (Kamala Harris)
Begitulah pesan optimisme yang Kamala Davi Harris sampaikan dalam pidato kemenangannya pada 7 November 2020 di Wilmington, Carolina Utara. Ia menjadi perempuan pertama dan berdarah campuran yang menjabat Wakil Presiden Ke-49 AS. Kemenangan ini diraih bersama Joe Biden dan Partai Demokrat yang unggul 73 suara dewan elektoral (electoral college) dibandingkan dengan pesaingnya, Donald Trump dari Partai Republik.
Serangkaian kisah perjalanan hidupnya telah mengantarkan Kamala Harris sampai pada pidato singkat yang ia sampaikan dini hari itu. Mengawali hidupnya dari keluarga imigran di AS bukanlah hal yang mudah bagi Kamala. Seakan Kamala melanjutkan perjuangan mendiang ibunya yang sudah hijrah ke AS sejak usia 19 tahun.
Lahir di Oakland, California, pada 20 Oktober 1964, Kamala dilahirkan oleh pasangan Shyamala Gopalan Harris dan Donald J Harris. Shyamala Gopalan Harris lahir di India dan kemudian bekerja sebagai peneliti kanker payudara serta aktif memperjuangkan isu-isu kaum perempuan. Sementara ayahnya adalah seorang berdarah Jamaika yang bekerja sebagai Guru Besar Ekonomi Universitas Stanford.
Sayangnya, Kamala dan adiknya, Maya Lakshmi Harris, harus tumbuh sebagai dua gadis kecil tanpa sosok ayah. Sebab, kedua orangtuanya bercerai pada awal 1970-an dan Shyamala Gopalan Harris membesarkan kedua buah hatinya seorang diri sampai akhir hidupnya pada 2009 di usia 70 tahun.
Dalam buku yang ia tulis, The Truths We Hold: An American Journey (2019), Kamala mengenang sosok ibunya yang diakui sangat memengaruhi jati dirinya. ”Ibuku mengerti betul bahwa dia membesarkan dua anak perempuan kulit hitam,” tulisnya. Lanjut Kamala, ”Dia tahu bahwa tanah air angkatnya akan melihat Maya dan saya sebagai gadis kulit hitam dan dia bertekad untuk memastikan kami akan tumbuh menjadi wanita kulit hitam yang percaya diri dan bangga.”
Perjuangan ibunya dalam membesarkan Kamala dan adiknya perlu dilihat dalam konteks AS saat itu yang masih kental nuansa diskriminasi dan pembedaan antara warga kulit putih dan berwarna. Pada 1963, Presiden AS John F Kennedy mengusulkan penerbitan Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, dan baru diterbitkan pada 1964 (sama seperti tahun kelahiran Kamala).
Undang-undang itu berisi larangan atas segala macam bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, asal kebangsaan, dan kemudian orientasi seksual dan identitas jender. Lebih konkret, aturan ini melarang penerapan yang tidak setara dari persyaratan pendaftaran pemilih, segregasi rasial di sekolah dan akomodasi publik, serta diskriminasi pekerjaan.
Dengan adanya aturan tersebut, seakan semesta melapangkan jalan hidup Kamala. Ia berhasil mendapatkan akses untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Howard, Washington. Di sinilah Kamala mematangkan semangat perjuangan kesetaraan yang sudah diwarisi oleh mendiang ibunya.
Lita Rosario, teman Kamala semasa kuliah, dalam wawancara dengan New York Times menyatakan bahwa sosok Kamala sudah terkenal vokal dan mengenalkan politik pragmatis. Kamala kerap berdebat dengan Black Republicans (kelompok mahasiswa kulit hitam konservatif) karena menurut dia strategi aktivis kiri atau perlawanan warga kulit hitam terlalu berlebihan. Ide kelompok ini tertuju pada perjuangan kesetaraan warga kulit hitam melalui perombakan sistem secara radikal.
Ia justru menganjurkan cara yang lebih halus dengan nilai-nilai representasi rasial di masyarakat. Caranya, ia bergabung dengan sesama mahasiswa kulit hitam dan bersama-sama masuk ke institusi pemerintahan atau lembaga usaha untuk menunjukkan adanya kesetaraan. Saat menjabat Senat AS, Kamala sering kali mengatakan bahwa masa-masa kuliahnya di Universitas Howard adalah masa pembentukannya dalam banyak hal.
Kontroversi
Kamala Harris mendapatkan ujian berat sepanjang merintis kariernya sebagai Jaksa Wilayah ataupun Jaksa Agung di California. Ada beberapa permasalahan kontroversi yang akhirnya turut dimunculkan kembali saat masa-masa kampanye di pemilu AS tahun ini. Bagi kelompok fanatik Demokrat dan Republikan, dirinya dicap sebagai pendukung polisi dan muncul seruan “Kamala is a cop”.
Sebelumnya pada Juni 2010, ia juga mendapat julukan tersebut ketika mencalonkan diri sebagai Jaksa Agung Negara Bagian California. Pasalnya, sewaktu menjabat Jaksa Wilayah San Francisco (2004-2010), terjadi skandal narkoba yang melibatkan teknisi laboratorium kepolisian Drug Enforcement Administration (DEA). Ringkasnya, staf laboratorium yang bernama Debora Madden diduga mengonsumsi kokain yang seharusnya dijadikan barang bukti.
Dalam pengakuannya kepada investigator, ia mengonsumsi kokain agar dapat berhenti dari kecanduan minum minuman keras. Sebelumnya pada 2008, ia juga telah dihukum atas pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga. Dengan skandal ini juga, analisis dan testimoni Debora tidak dapat diandalkan dalam proses hukum ratusan dakwaan narkoba. Kedua hal inilah yang tidak diungkap oleh atasannya kepada jaksa ketika proses persidangan.
Akibatnya, Debora Madden mendapatkan hukuman yang ringan dibandingkan dengan jika kasus pelanggaran hukum sebelumnya juga diperhitungkan oleh jaksa. Begitu pula dengan ratusan kasus narkoba yang akhirnya tidak diperbaiki tuntutannya. Saat itu, Kamala menjadi salah satu jaksa yang menangani skandal Debora Madden. Atas skandal inilah, publik menduga bahwa Kamala berpihak pada kepolisian.
Lara Bazelon, Direktur Loyola Law School Project for the Innocent, turut menuding Kamala sebagai sosok yang tidak tepat mewakili Partai Demokrat karena ia bukanlah jaksa yang progresif. Misalnya, sebagai Jaksa Agung California, Kamala tidak merevisi hukuman yang diterima George Gage, seorang warga kulit hitam. Pada 1999, George Gage didakwa bersalah atas kasus pelecehan seksual terhadap anak tirinya dan ia diganjar 70 tahun masa kurungan.
Di 2015, penyelidikan termutakhir justru menyimpulkan bahwa George Gage tidak terbukti bersalah. Meski demikian, Kamala dan jaksa-jaksa lainnya tidak merevisi hukuman lantaran George Gage sebelumnya tidak mengajukan tuntutannya di pengadilan rendah. Tentu saja, hal ini memberikan pertanyaan besar dari publik mengenai keberpihakannya kepada warga kulit hitam.
Setidaknya, dua skandal ini sempat mencuat kembali ke permukaan ketika masa kampanye pemilu tahun ini karena kelompok pendukung Partai Demokrat kontra dengan pihak kepolisian. Apalagi, tahun ini sempat terjadi aksi demonstrasi terkait dengan dugaan kasus kematian George Floyd karena dipersekusi oleh polisi. Kasus ini menjadi pemantik kesadaran komunal bahwa tindakan rasisme masih sarat terjadi di AS hingga saat ini.
Belum lagi, aksi demonstrasi masyarakat yang menuntut keadilan atas kematian George Floyd kerap adu bentrok dengan polisi. Imbasnya, sentimen terhadap aparat hukum meningkat. Latar isu ini seakan menjadi kayu bakar untuk memanaskan kembali isu keputusan Kamala sewaktu menjadi jaksa.
Meski demikian, nyatanya isu ini tidak cukup kuat untuk menjatuhkan sosoknya di mata pendukungnya. Kamala masih dikenal progresif oleh pendukungnya lantaran keputusannya yang tidak bersedia memberikan hukuman mati terhadap anggota geng yang membunuh polisi Isaac Esoinoza. Keputusan ini ia ambil sewaktu menjadi Jaksa Wilayah San Francisco pada 2004.
Pada 2005, Kamala meluncurkan program Back On Track yang akhirnya menjadi percontohan nasional. Program ini merupakan upaya rehabilitasi bagi orang yang berusia 18-30 tahun dan terlibat pertama kali menyalahgunakan obat-obatan. Alih-alih dipenjara, mereka justru diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan SMA dan mendapat pekerjaan.
Sewaktu menjadi Jaksa Agung California, Kamala menorehkan salah satu prestasinya. Dalam upaya meringankan beban warga California akibat krisis perumahan 2012, ia berhasil mencairkan dana settlement sebesar 20 miliar dollar AS dari bank-bank besar Amerika. Inilah momentum yang melambungkan namanya dan terdengar oleh tokoh-tokoh Partai Demokrat.
Penginspirasi
Terlepas dari kontroversi terkait dengan kiprahnya di masa lalu, Kamala Harris tetap layak dijadikan sosok inspiratif bagi banyak orang. Identitasnya sebagai perempuan, keturunan imigran, berdarah campuran (Asia dan Amerika-Afrika), atau warga berkulit hitam, tidak menghalangi capaian pendidikan dan kariernya. Dirinya seakan layak untuk dicintai oleh semua orang.
Dalam kehidupan personalnya, Kamala menikah dengan Doug Emhoff pada 22 Agustus 2014. Kamala yang sudah berusia 50 tahun saat itu langsung menjadi ibu bagi Cole dan Ella. Keduanya merupakan buah pernikahan pertama Doug Emhoff dengan Kerstin Emhoff, seorang produser film.
Baca juga : Ideologi Partai di Balik Dua Kutub Pilpres AS
Kehidupan personal keluarga kecil ini kerap disoroti publik dan menjadi inspirasi bagi keluarga campuran di AS. Begitu pula dengan kesetaraan karena sejak pencalonan Kamala menjadi wakil presiden, Doug Emhoff mundur dari profesinya sebagai pengacara untuk menghindari konflik kepentingan. Doug Emhoff kerap terlihat oleh publik ketika mendukung Kamala saat berkampanye keliling negara-negara bagian.
Bagaimanapun juga, kalimat pidato di atas memang terasa tepat diucapkan oleh Kamala Harris. Perjalanan hidupnya, setidaknya hingga saat ini, menjadi penjelmaan atas kata-katanya sendiri bahwa Amerika adalah negeri harapan. Tentu saja, setelah 2020 ini harapan menjadi daya magis bagi banyak orang, bukan hanya di AS, melainkan juga di seluruh dunia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Gaya Komunikasi Presiden AS, dari Telegram hingga Twitter