Ideologi Partai di Balik Dua Kutub Pilpres AS
Polarisasi di antara Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat mendorong adanya dua pandangan berbeda secara diametral di masyarakat.
Sejak tahun 1854, pemilihan presiden Amerika Serikat selalu didominasi persaingan antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Padahal, para bapak pendiri AS tidak berniat sistem politik negara didasari semata-mata oleh ideologi dua partai politik.
Pemahaman ini dapat ditemukan dalam kumpulan esai yang dikenal sebagai ”The Federalist Papers” yang ditulis antara Oktober 1787 dan Mei 1788. Dalam artikel ke-9 dan ke-10 yang ditulis Alexander Hamilton dan James Madison, tertuang konsep demokrasi awal tentang pemerintahan dan pihak oposisi demi kemajuan negara.
Begitu pula John Adams, yang nantinya menjadi presiden AS kedua, pernah menuliskan gagasannya mengenai demokrasi dalam surat yang ditujukan kepada Jonathan Jackson pada 2 Oktober 1780. Ia menuliskan bahwa pembagian Republik menjadi dua partai besar harus ditakuti sebagai kejahatan politik terbesar. Pernyataan itu merujuk pada dasar pemerintahan sebelum terbitnya Konstitusi Amerika Serikat pada 1787.
Dalam lambang AS pun, tertulis semboyan dalam bahasa Latin ”E Pluribus Unum”, yang berarti ”dari banyak menjadi satu”. Cita-cita bapak pendiri AS ialah menyatukan seluruh paham warga negara menjadi satu ideologi demi menjaga keutuhan.
Ironisnya, Hamilton dan Madison justru bersitegang di masa pemerintahan presiden AS pertama, George Washington, pada 1789-1797. Kala itu, Hamilton mendukung pemerintah pusat, sedangkan Madison dan Thomas Jefferson mendukung oposisi, karena pusat tanpa oposisi dinilai justru bisa mengancam kebebasan individu tiap warga negara.
Perselisihan ini mengantar pada episode selanjutnya ketika pada 1854 terbentuk Partai Republik. Pada Pemilu 1860, Abraham Lincoln menjadi tokoh Partai Republik yang terpilih menjadi presiden AS. Setelah Perang Sipil I pecah pada 1861-1865 dan dimenangi Bagian Utara, Partai Republik menunjukkan dominasi di pemerintahan selama periode 70 tahun.
Di era Depresi Besar (The Great Depression) pada 1929-1939, Partai Demokrat memanfaatkan celah untuk mengkritik kebijakan-kebijakan Partai Republik yang condong pada pengusaha. Kondisi ini membuat Partai Republik kehilangan reputasi. Akhirnya, selama 50 tahun berikutnya, Partai Demokrat yang ganti mendominasi pemerintahan.
Persaingan di antaranya masih berlanjut hingga kini meski kehadiran partai di Amerika Serikat sebenarnya bukan hanya Republik dan Demokrat. Ada banyak partai yang mengisi ruang publik. Namun, sistem pemilu FPTP (first-pass-the-post) atau yang biasa disebut WTA (winner-takes-all) menjadikan hanya kedua partai itulah yang mendominasi (dalam sistem ini partai dengan suara terbanyak di suatu distrik akan menguasai keseluruhan perolehan suara).
Sistem ini juga merupakan warisan dari sistem Anglo-Saxon (sistem di wilayah bekas jajahan Inggris) dan dapat ditemukan di negara lainnya, seperti di Malaysia. Di sisi lain, masyarakat AS cenderung enggan memilih ”partai ketiga” karena kecil kemungkinannya meraih kursi di pemerintahan (fenomena Duverger’s Law atau polarisasi masyarakat ke dalam dua kubu partai).
Polarisasi di antara dua kubu partai ini juga mendorong adanya dua pandangan berbeda secara diametral di masyarakat. Julukan konservatif ditujukan kepada kubu Republik apabila melihat sejarah perjalanan dan gagasan yang mereka tawarkan. Sementara itu, Demokrat, yang lebih dikenal dengan kubu progresif, misalnya, melegalkan perkawinan sesama jenis, kepemilikan senjata api, dan terbukanya pintu bagi imigran.
Trump dan Biden
Persaingan antara Joe Biden dan Donald Trump di Pilpres 2020 menjadi perwujudan duel klasik antara partai Republik dan Demokrat. Baik Biden maupun Trump memiliki gagasan tersendiri yang tidak terlepas dari visi misi partai.
Dalam visi misi yang diusung partai Republik, Trump tetap berpegang pada idealisme Keep America Great! Kampanye Trump ini melanjutkan programnya pada kampanye Pilpres 2016, yaitu Make America Great Again. Secara ringkas, idealisme itu ditujukan untuk mencapai kekuatan ekonomi yang pulih secara cepat dari pandemi Covid-19 dan kebijakan luar negeri yang agresif, termasuk membatasi imigran.
Persaingan antara Joe Biden dan Donald Trump di Pilpres 2020 menjadi perwujudan duel klasik antara partai Republik dan Demokrat.
Di periode pertama pemerintahannya, janji Trump memang terwujud. Tingkat pengangguran di AS di posisi terendah sejak 50 tahun belakangan. Begitu pula tingkat kemiskinan yang berhasil ditekan ke angka 10,5 persen atau sebanyak 4,2 juta orang berhasil terbebas dari kemiskinan. Semua adalah capaian sebelum Covid-19 mewabah di AS.
Lawannya, Biden, merupakan sosok yang memiliki kematangan karier di politik AS. Dirinya terpilih menjadi anggota senat pada tahun 1978, 1984, 1990, 1996, 2002, dan 2008. Reputasi inilah yang kemudian mengantarnya menjadi Wakil Presiden AS periode 2009-2013 dan 2013-2017 bersama Presiden Barack Obama.
Gagasan yang ditawarkan Biden dilatarbelakangi oleh ideologi Partai Demokrat di belakangnya. Isu lingkungan hidup, terbukanya pintu bagi imigran, jaminan kesehatan, dan keberagaman etnis adalah beberapa contoh gagasan yang ditekankan Biden.
Biden juga akan membatasi kepemilikan senjata api dan membolehkan ganja sebagai obat. Ini berkebalikan dengan sikapnya saat menjadi wapres Obama, yakni dia melarang penggunaan ganja.
Baca juga: Puluhan Negara Bagian Mulai Pemilu Dini lewat Pos
Kekhawatiran para pemilih terhadap Biden adalah melemahnya kekuatan AS terhadap China apabila ia terpilih sebagai presiden selanjutnya. Memang, Biden tidak akan melakukan agresi seperti Trump, tetapi memiliki dua pilihan antara melakukan kerja sama secara ekonomi dan menjalin sekutu dengan negara-negara lain untuk menekan China. Kendati akan bersahabat dengan China, Biden menolak kelanjutan relasi dengan Korea Utara yang sebelumnya telah dibangun oleh Trump.
Selama ini, Partai Demokrat dikenal sebagai kubu yang lebih progresif dan terbuka terhadap perubahan. Sebaliknya, Partai Republikan cenderung bersifat konservatif dan memiliki impian untuk mengembalikan kejayaan AS sebagai negara adidaya.
Terjadinya polarisasi di dalam masyarakat adalah konsekuensi logis atas sistem pemilu dengan dua partai dominan. Alasannya, dalam tiap periode pemilu, masyarakat hanya akan disodorkan dua pilihan yang nantinya akan menentukan kebijakan dan langkah negara selama satu periode berikutnya. Belum lagi, apabila kandidat yang diusung memiliki ketokohan yang kuat sehingga memunculkan politik idolatri (political idolatry).
Terjadinya polarisasi di dalam masyarakat adalah konsekuensi logis atas sistem pemilu dengan dua partai dominan.
Selain itu, prinsip minus malum, memilih yang paling baik dari yang terburuk, menjadi hal yang dipraktikkan oleh para pemilih. Tidak ada pilihan kandidat ketiga atau keempat sehingga sulit untuk mengukur parameter yang terbaik di antara para calon. Kehadiran kandidat ketiga pun kadang tidak memfasilitasi karena jika kurang memiliki basis dukungan kuat tentu tidak akan diperhitungkan dan dengan mudah diprediksi akan kalah atau suara pemilih akan sia-sia.
Menariknya, gambaran ideologi yang dianut warga AS dapat dicuplik dari survei yang dilakukan Gallup tiap bulannya kepada warga AS. Gallup memberikan pertanyaan mengenai paham politik yang responden yakini saat itu, antara Republik, Demokrat, dan Independen. Misalnya, dalam rentang 10 tahun terakhir, pilihan ”Independen” selalu lebih tinggi dibandingkan ”Demokrat” atau ”Republik”. Artinya, jika ada pilihan kandidat ketiga, mungkin saja pemilih memilih calon tersebut.
Baca juga: Masih Dirawat karena Covid-19, Trump Ingin Kembali Berkampanye
Indonesia dapat memetik pelajaran berharga dari pemilu AS. Dua pemilu terakhir di Indonesia hanya mempertemukan dua kandidat dengan masing-masing koalisi partainya. Ancaman polarisasi terasakan hingga kini dalam berbagai konflik sosial. Maka, diperlukan sistem persaingan yang sehat agar pemilihan presiden dapat menawarkan kandidat yang terbaik dari sekadar ”minus malum”.
(LITBANG KOMPAS)