Penyakit Gula Tak Sebatas Mengurangi Konsumsi Beras
Banyak orang berpendapat, penyakit gula atau diabetes dipengaruhi konsumsi makanan pokok beras yang identik dengan indeks glikemik tinggi.
Konsumsi beras sebagai makanan pokok kerap kali dituding sebagai penyebab tingginya angka penderita diabetes di Indonesia. Namun, penyakit gula atau diabetes sebenarnya tidak cuma sebatas upaya mengurangi konsumsi beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia.
Anggapan yang mengaitkan beras dengan diabetes sepintas logis mengingat Indonesia menjadi salah satu negara yang mencatat pengidap diabetes tinggi di dunia. Fakta ini terekam dari data International Diabetes Federation atau IDF.
Secara global, penyakit diabetes terus berkembang dengan cepat, setidaknya sampai 25 tahun ke depan. Sekitar 20 tahun lalu, diperkirakan 151 juta penduduk hidup dengan gangguan insulin tersebut.
Sekarang, kondisi itu dialami sekitar 9,3 persen penduduk usia 20-79 tahun atau sekitar 463 juta orang. Jumlah pengidap diabetes diprediksi melonjak menjadi 578 juta orang (2030) dan sekitar 700 juta orang (2045).
Masih menurut data IDF, tahun 2019 ada tiga negara yang mencatat populasi pengidap diabetes tertinggi di dunia. Ketiga negara itu adalah China, India, dan Amerika Serikat (AS).
Sementara data yang sama menunjukkan bahwa Indonesia juga termasuk satu dari 10 negara dengan populasi penduduk pengidap diabetes tinggi di dunia. Indonesia berada di peringkat ketujuh dari 10 negara dengan populasi pengidap diabetes tertinggi dunia.
Data IDF juga memproyeksikan bahwa Indonesia akan tetap menjadi satu dari 10 negara dengan populasi pengidap diabetes tertinggi di dunia hingga 25 tahun ke depan. Pada tahun 2030, jumlah pengidap diabetes di Indonesia diperkirakan ada 13,7 juta orang dan tahun 2045 mencapai 16,6 juta orang.
Baca juga : Kenali Gejala Diabetes pada Anak sejak Dini
Konsumsi beras
Dua negara dengan populasi pengidap diabetes tertinggi dunia, yakni China dan India, tercatat sebagai negara pengonsumsi beras dunia. Indonesia juga masuk di dalamnya. Adapun Bangladesh yang berada di peringkat ke-10 populasi pengidap diabetes global juga menjadi negara konsumen besar beras di dunia.
Adalah kenyataan bahwa orang Indonesia umumnya masih merasa belum makan jika tak ada nasi. Dari sisi statistik, menurut Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian (2019), selama lima tahun terakhir, negara dengan konsumsi beras tertinggi adalah China, India, Indonesia, Bangladesh, dan Vietnam.
Dari sisi konsumsi beras rumah tangga Indonesia sebetulnya terlihat penurunan. Dengan perhitungan kilogram per kapita per tahun, konsumsi beras adalah 100,57 kg (2016), 96,32 kg (2018), 97,05 kg (prediksi 2019), dan 96,89 kg (prediksi 2021). Walaupun begitu, 60 persen penduduk Indonesia masih mengandalkan beras sebagai bahan pokok.
Meski demikian, pada sisi lain, data IDF juga menunjukkan bahwa negara-negara yang menghadapi problem populasi diabetes tinggi mengandalkan tepung gandum sebagai bahan pangan pokok. Negara-negara tersebut antara lain AS yang mencatat populasi pengidap diabetes di urutan ketiga dunia.
Negara konsumen tepung gandum lain adalah Jerman dan Mesir. Kedua negara itu masing-masing mencatat populasi pengidap diabetes di urutan ke-8 dan ke-9 dunia tahun lalu.
Baca juga : Konsumsi Beras pada Waktu Lama Berkontribusi Meningkatkan Paparan Arsenik
Beras dan diabetes
Jadi, apakah kebiasaan mengonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok pasti berdampak pada diabetes? Korelasi tersebut agaknya kurang tepat.
Diabetes bermula dari kondisi tubuh yang mengalami resistensi insulin rendah. Hal tersebut selanjutnya menyebabkan insulin tidak sensitif terhadap keberadaaan gula. Faktor tersebut yang kemudian menjadikan orang mengidap penyakit gula atau diabetes.
Resistensi insulin rendah dapat disebabkan oleh gaya hidup yang mengakibatkan obesitas atau kegemukan. Selain itu, resistensi insulin rendah dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Dengan kata lain, menghubungkan langsung antara konsumsi beras dan penyakit gula menjadi kurang tepat.
Pemahaman yang masih kerap kali keliru juga ditegaskan Ali Khomsan, pakar gizi masyarakat dari IPB University. ”Jadi, bukan beras yang memicu diabetes. Kalau kita sudah diabetes, sebaiknya kurangi konsumsi beras. Jangan terbalik, seolah makan beras penyebabnya”, ujarnya.
Varietas dan cara pengolahan beras juga ikut menentukan tingginya kadar gula dalam bahan makanan pokok tersebut. Tidak semua jenis beras memiliki kadar glukosa tinggi.
Berbagai penelitian, salah satunya dilakukan Siti Dewi Indrasari (2019), menunjukkan, ada varietas padi yang menghasilkan beras dengan indeks glikemik rendah (di bawah 55), seperti IR-36, Ciherang, Pandanwangi, dan Beras Hitam Subang.
Kadar gula dalam beras juga dipengaruhi oleh cara pengolahannya. Beras yang dimasak dengan waktu mendidih lebih lama akan memengaruhi proses gelatinisasi pati, yang akhirnya menyebabkan indeks glikemik beras menjadi tinggi.
Pangan dan gizi
Sejak tahun 1991 hingga tahun 1998, pemerintah sebenarnya berupaya melakukan program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG). Tujuannya adalah mendorong peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan mendorong kesadaran warga, terutama di perdesaan, untuk mengonsumsi pangan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang.
Sementara itu, Departemen Kesehatan juga mengadakan program penurunan angka prevalensi kurang energi protein, kurang vitamin, gangguan yodium, dan anemia.
Sayangnya, program itu justru menjadikan semua provinsi di Indonesia mempunyai pola ketergantungan pada beras sebagai bahan pangan pokok. Konsumsi beras yang tinggi menggeser jagung dan umbi-umbian.
Sampai tahun 2002, tingkat konsumsi jagung dan ubi kayu terus menurun. Padahal, sebelumnya, daerah seperti Maluku dan Papua sudah puluhan tahun terbiasa dengan pangan pokok sagu dan umbi-umbian.
Ekspose komoditas beras, terutama sejak Orde Baru, memang membuat warga terbiasa dengan beras. Contohnya, pegawai negeri mendapat jatah beras 10 kilogram. Belum lagi, akses yang mudah dan harga yang terjangkau membuat ketergantungan semakin tinggi.
Sementara itu, mi instan pun kini mulai banyak dikonsumsi. Singkatnya, tujuan meningkatkan konsumsi pangan lokal tidak berhasil, bahkan masyarakat lebih memilih pangan global. Masalahnya, konsumsi pangan tidak hanya belum terpenuhinya kecukupan gizi, tetapi juga ketidakseimbangan komposisi pangan penduduk.
Program diversifikasi pangan kemudian dijalankan oleh Kementerian Pertanian bersama Kementerian Kesehatan. Kementerian Pertanian menerapkan program Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA).
Salah satu contoh konkretnya adalah rasi (beras singkong) yang diusahakan warga Cimahi, Jawa Barat, atau program One Day No Rice. Program ini pernah digagas Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, beberapa tahun lalu.
Kementerian Kesehatan menjalankan program Pedoman Gizi Seimbang (PGS), yang menekankan agar masyarakat mengonsumsi aneka ragam makanan dan pangan lain. Ini mirip dengan 4 Sehat 5 Sempurna. Namun, program ini masih sebatas cerminan dari keberagaman pangan yang belum mempertimbangkan aspek kuantitasnya.
Baca juga : Teh dan Kopi Turunkan Risiko Kematian Penderita Diabetes
Mahalnya diversifikasi
Melihat berbagai persoalan pangan dalam kaitannya dengan penyakit diabetes, tak mengherankan jika Indonesia masih sulit mengurangi jumlah penderita diabetes. Data Riset Kesehatan Dasar tiga periode memperlihatkan tren prevalensi yang terus meningkat.
Ali Khomsan menyampaikan harapan bahwa Indonesia akan menjadi negara makmur yang berhasil mengendalikan problem kesehatan dengan baik. ”Jangan meniru negara yang sejahtera, tetapi tidak bisa mengatasi masalah kesehatan yang terkait penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular,” ujarnya.
Menerapkan pola konsumsi pangan yang beragam adalah salah satu gaya hidup yang dapat diupayakan guna mencegah penyakit gula. Diversifikasi tidak berarti langsung mengganti beras dengan singkong atau ubi, sedangkan pangan lain dikurangi.
Mengganti bahan pangan pokok juga berisiko karena sumber protein terbaik masih terdapat pada nasi, jagung, dan terigu. Menerapkan diversifikasi berarti perbaikan gizi yang didukung karbohidrat, lemak, protein, dan lainnya.
Penerapan (diversifikasi) tidak mudah. Salah satu kendalanya adalah konsumsi sayuran, pangan hewani, kacang-kacangan, dan umbi-umbian yang masih rendah. Yang tetap tinggi adalah beras. Begitu pula dengan harga lauk-pauk yang masih mahal. Ini masih ditambah anggapan bahwa buah juga tidak murah.
Dengan kata lain, konsumsi beras bisa turun hanya pada mereka yang hidupnya sejahtera, baik di kota maupun di desa. Orang yang tidak mampu makan nasi lebih banyak, tetapi lauk-pauk, sayur, dan buah sedikit.
Kondisi ini diperparah lagi dengan berkembangnya tren mi instan yang semakin membuat orang tergantung pada konsumsi terigu. Jelas terlihat bahwa kalau ingin menekan konsumsi beras, kesejahteraan ekonomi masyarakat pun harus diperhatikan. (LITBANG KOMPAS)