Gejala diabetes pada anak sering tidak disadari sehingga terlambat dalam penanganan hingga berujung komplikasi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diabetes bisa terjadi pada anak-anak. Karena itu, perlu mengenali gejalanya sejak dini supaya tidak terjadi komplikasi. Ikatan Dokter Anak Indonesia mencatat ada 1.213 kasus diabetes melitus tipe 1 dalam rentang September 2009 hingga September 2018. Kasus diabetes melitus pada anak usia 0-18 tahun meningkat 700 persen dalam 10 tahun terakhir.
Dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, dr Aditya Suryansyah SpA(K), dalam bincang keluarga sehat Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan menuturkan, anak bisa kena diabetes melitus (DM) meskipun jumlah kasusnya tidak sebanyak orang dewasa. ”Sebanyak 90 persen kasus pada anak merupakan diabetes melitus tipe 1. Sisanya diabetes melitus tipe 2,” ujar Aditya, Rabu (11/11/2020).
DM tipe 1 merupakan penyakit yang terjadi karena kerusakan sel beta pankreas oleh proses autoimun sehingga produksi insulin berkurang atau terhenti. DM tipe 1 disebabkan kelainan bawaan dan tidak ada kaitannya dengan riwayat keluarga ataupun pola makan.
Sementara itu, DM tipe 2 terjadi karena sel-sel tubuh kurang sensitif sehingga tidak bisa mengoptimalkan insulin meskipun produksinya normal. Akibatnya, kadar gula darah akan meningkat.
Aditya menyebutkan, ada sejumlah gejala pertanda DM pada anak. Gejalanya, antara lain, mudah lapar dan haus, sering pipis, berat badan turun dengan cepat terutama sebulan terakhir, lemas, mengantuk, mengompol padahal sebelumnya tidak, luka susah sembuh, dan pandangan kabur. ”Anak makan banyak, tetapi berat badan turun. Kalau ada tanda-tanda ini, segera periksakan supaya dapat tertangani sejak dini,” katanya.
Terapi pada anak dengan DM berlangsung secara holistik. Mulai dari pelibatan keluarga untuk edukasi hingga pengawasan sehari-hari. Anak dengan DM tipe 1 akan ketergantungan insulin seumur hidup karena gangguan produksi di dalam tubuh. Sementara DM tipe 2 mengoptimalkan kerja insulin lewat insulin suntik untuk penuhi kebutuhan pasokan insulin.
Aditya mengatakan, supaya tumbuh kembang anak bisa optimal, keluarga berperan mengatur pola makan, monitor gula darah, penyuntikan insulin, dan penyesuaian rutinitas. ”Jika anak tidak diobati dengan benar atau baik, otomatis tumbuh kembangnya terganggu, sering sakit, pendidikan terganggu, hingga gangguan psikologis menjadi emosional,” katanya.
Jika tidak terdeteksi sejak dini dan terlambat mendapatkan terapi yang tepat, risiko perburukan bisa terjadi, bahkan bisa berakibat fatal. Untuk itu, anak dengan DM membutuhkan penanganan untuk cegah terjadinya komplikasi penyakit seperti ketoasidosis diabetikum.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan mengatakan, ketoasidosis diabetikum merupakan komplikasi serius yang dapat mengancam nyawa anak dengan DM. Deteksi dini sangat diperlukan untuk meminimalkan risiko dari komplikasi tersebut.
”Komplikasi KAD (ketoasidosis diabetikum) perlu diwaspadai pada anak dengan diabetes berusia kurang dari tiga tahun. Pada usia ini secara signifikan lebih mungkin datang dengan KAD ketika didiagnosis,” ucap Aman di Jakarta, Jumat (18/9/2020).