Keseimbangan Antara Ekonomi dan Lingkungan
Paradigma pembangunan lama berorientasi pada peningkatan pendapatan domestik bruto padat modal. Namun, paradigma ini mengandung kelemahan karena terjadi eksploitasi sumber daya alam secara masif.
Ada banyak daerah dengan perekonomian yang tumbuh tinggi karena mengandalkan sektor ekonomi sekunder dan tersier ternyata mengalami degradasi mutu lingkungan. Padahal, ekonomi dan lingkungan merupakan dua sisi daya saing daerah yang tak bisa ditepikan.
Dalam konsep pembangunan daerah berkelanjutan, tingkat daya saing daerah yang tinggi idealnya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Artinya, tingkat daya saing daerah tak melulu berbicara mengenai kegiatan ekonomi.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2020 memaparkan empat pilar yang vital bagi daya saing daerah berkelanjutan. Pilar itu ialah lingkungan lestari, ekonomi unggul, sosial inklusif, dan mutu tata kelola pemerintahan.
Studi yang dilakukan KPPOD atas 356 kabupaten pada Januari-Juni lalu menunjukkan, ada beberapa tipologi daya saing daerah. Kategori itu, antara lain, daerah dengan ekonomi yang unggul, tetapi memiliki persoalan kelestarian lingkungan. Kategori lainnya ialah daerah dengan kondisi ekonomi-sosial rata-rata, tetapi lingkungannya lestari.
Kajian Litbang Kompas juga melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Kajian ini menunjukkan, ada beberapa provinsi dengan kondisi perekonomian baik, tetapi Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) masuk dalam kategori ”sangat kurang baik” hingga ”kurang baik”.
Kondisi perekonomian yang baik ditunjukkan dari laju pertumbuhan di atas rata-rata nasional dengan kontribusi yang tinggi. Adapun IKLH menggunakan data dari Kementerian Lingkungan Hidup 2018 yang terdiri atas Indeks Kualitas Udara (IKU), Indeks Kualitas Air (IKA), serta Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL).
Aktivitas ekonomi di wilayah yang bertumpu pada industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta pertambangan dan penggalian, cenderung menunjukkan besaran IKLH dalam kategori sangat kurang baik-kurang baik, atau cukup baik. Sebaliknya, daerah yang mengandalkan sektor ekonomi primer relatif mencatat IKLH baik.
Paradigma lama
Paradigma pembangunan lama berorientasi pada peningkatan pendapatan domestik bruto padat modal. Namun, paradigma ini mengandung kelemahan karena terjadi eksploitasi sumber daya alam secara masif.
Eksploitasi alam tak hanya dalam bentuk eksplorasi bahan tambang dan galian. Eksploitasi juga berupa alih fungsi lahan hijau, baik yang merupakan daerah konservasi/lindung ataupun kawasan budidaya seperti lahan pertanian.
Sisa hasil kegiatan usaha atau produksi manusia pun menghasilkan limbah. Limbah ini memberikan sumbangan pada peningkatan emisi karbon yang berujung pada makin memburuknya perubahan iklim.
Selain itu, aktivitas perekonomian menghasilkan limbah non-organik, seperti kaca dan plastik yang sulit terurai. Aktivitas itu dapat pula menghasilkan limbah bahan beracun berbahaya (B3) yang membahayakan lingkungan jika dibuang tanpa diolah.
Ekonomi wilayah memang meningkat cepat, terutama jika daerah mengalihkan penopang kegiatan ekonomi dari pertanian ke industri ataupun perdagangan. Peningkatan ekonomi dengan cara itu akhirnya berdampak pada pembangunan jangka panjang. Masalah lingkungan seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, pencemaran, perubahan iklim, hingga penyakit akhirnya mereduksi manfaat pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan tinggi
Beberapa daerah, seperti Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, hal tersebut diikuti angka IKLH yang kurang baik atau bahkan sangat kurang baik.
Tiga wilayah tersebut mempunyai tingkat pertumbuhan di atas rata-rata nasional. Ketiganya masuk dalam peringkat 10 besar provinsi yang memberi kontribusi besar pada perekonomian nasional.
Bahkan, Jakarta, dengan pertumbuhan ekonomi pada 2018 yang mencapai 6,71 persen, menjadi penyumbang terbesar perekonomian nasional. Proporsinya 17,35 persen. Penopang perekomian Jakarta dikuasai oleh sektor perdagangan besar dan eceran serta industri.
Namun, kemajuan ekonomi Ibu Kota berdampak pada lingkungan hidup. Nilai IKLH DKI Jakarta 2018 tercatat 45,21 dengan kategori sangat kurang baik. Data IKLH 2018 mencatat sejumlah aktivitas ekonomi yang rentan memengaruhi kualitas lingkungan. Contoh aktivitas ekonomi ini ialah industri kimia, logam dasar, kulit, olahan kayu, agroindustri, makanan dan minuman, serta tekstil.
Populasi kendaraan, limbah padat sarana transportasi, limbah cair dan B3 dari penginapan serta rumah sakit, ataupun timbulan sampah menimbulkan pula dampak terhadap lingkungan. Aktivitas ini mengakibatkan rendahnya Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL), Indeks Kualitas Air (IKA), dan Indeks Kualitas Udara (IKU).
Rendahnya IKTL DKI Jakarta terkait dengan luasan ruang terbuka hijau (RTH) di bawah persyaratan undang-undang penataan ruang, yakni sebesar 30 persen. Mengutip pemberitaan Kompas edisi 13 Juni 2019, luas RTH Jakarta baru 9,9 persen.
Baca juga: Menunggu Tuah Kawasan Industri
Selanjutnya, nilai IKA yang berstatus kurang baik tersebut terkait dengan pencemaran sungai/danau ataupun air tanah yang belum tertangani secara baik. Sejumlah industri rumah tangga seperti tahu ataupun laundry masih membuang limbah langsung ke selokan ataupun sungai.
Terkait dengan nilai IKU yang masuk kategori kurang baik, menurut penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), pada 2017-2020, nilai rata-rata PM 2,5 Jakarta selalu melebihi rekomendasi WHO (10). Nilai indikator pencemaran udara ini terus meningkat. Pada 2017, rata-rata PM 2,5 di Ibu Kota mencapai 29, dan tahun lalu menjadi 40. Tahun ini, nilai PM 2,5 di Jakarta menjadi 42.
Penelitian CREA juga menyebutkan, pencemaran lintas batas dari Banten dan Jawa Barat merupakan kontributor polusi udara di Jakarta. Pencemaran udara juga bersumber dari industri beremisi tinggi di Jawa Barat dan Banten.
Sektor primer
Sebaliknya, aktivitas ekonomi dari sektor primer pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan cenderung lebih mendukung kelestarian lingkungan. Kajian Litbang Kompas menunjukkan, dari 17 provinsi yang mengandalkan sektor pertanian, hanya tiga daerah yang mencatat nilai IKLH di kategori kurang baik hingga cukup baik.
Ketiganya ialah Provinsi Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Lampung masuk dalam kategori kurang baik dengan nilai IKLH 59,89. Nilai IKTL Lampung tercatat 35,93, masuk kategori waspada.
Baca juga: Urgensi Ekonomi Sirkular
Hal tersebut terkait dengan luasan kawasan hutan Lampung yang kurang dari 30 persen dan mengalami kerusakan. Tahun 2017, data Dinas Kehutanan Lampung mencatat kerusakan sekitar 37 persen dari total 462.030 hektar kawasan hutan konservasi, antara lain akibat aktivitas penebangan ilegal.
Seperti halnya Lampung, penyumbang nilai rendah IKLH di Sumatera Utara ialah indeks IKTL yang masuk kategori sangat kurang baik. Merujuk data Forest Watch 2018, luas hutan Sumut tahun 2016 mengalami deforestasi sekitar 90.000 hektar. Hal ini merupakan akibat dari alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan sawit.
Adapun di NTT, nilai IKA (58,09) berada pada kategori kurang baik. Rendahnya mutu air di NTT berkaitan dengan pencemaran limbah domestik dari aktivitas rumah tangga.
Selain tiga daerah tersebut, aktivitas ekonomi yang mengandalkan pertanian cukup mendukung kelestarian lingkungan. Pada masa mendatang, pembangunan daerah berkelanjutan menuntut keseimbangan antara faktor lingkungan, ekonomi, sosial inklusif, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Faktor lingkungan idealnya menjadi komponen yang tak bisa ditepikan.
(LITBANG KOMPAS)