Pergerakan Ekonomi Indonesia Bersandar pada Optimisme Kelas Atas
Sebanyak 47,4 persen kalangan atas percaya pemulihan ekonomi akan terwujud dalam 4-7 bulan yang akan datang. Dengan optimisme kelas atas yang dominan, bukan mustahil pertumbuhan ekonomi lebih cepat menuju positif.
Setelah tujuh bulan terimpit pandemi Covid-19, tanda-tanda situasi makin buruk dirasakan sebagian kelompok masyarakat. Sebaliknya, secercah harapan yang mulai terang membuat sebagian masyarakat lainnya merasa lebih optimistis.
Pandemi Covid-19 membuat sebagian kalangan menengah dan atas menjadi pesimistis menyikapi tatanan baru yang dibangun pada masa pandemi. Namun, adaptasi yang cepat dan munculnya harapan baru membuat ancaman resesi ekonomi yang menjadi dampak selanjutnya dari pandemi ini kemudian disikapi lebih optimistis.
Kelas menengah (48,3 persen) dan atas (36,8 persen) yang pada tiga bulan pertama pandemi merasa pesimistis menghadapi tatanan baru akibat pandemi kini bersikap sebaliknya. Persentase kelas menengah yang optimistis mencapai 53,9 persen dan pada kelas atas bahkan mencapai 70 persen.
Sebaliknya, masyarakat dari kelompok sosial ekonomi bawah yang mulanya tegar dengan optimismenya di tengah ancaman pandemi berbalik menjadi lebih pesimistis saat tekanan resesi kian mengimpit. Masyarakat kelas bawah, yang pada Juni 2020 lebih banyak bersikap optimistis (45,6 persen) saat mulai memasuki era normal baru kini cenderung berubah ke arah yang lebih pesimistis (49,3 persen).
Gejala resesi memang paling mengena pada masyarakat kelas bawah. Selain memberikan tekanan pada persoalan kesehatan, pandemi juga telah
memasuki tahap resesi yang mulai mengimpit ekonomi keluarga. Jika tanpa bantuan dan penyiasatan, sebagian kalangan ini akan mencapai titik kritis yang mengancam keberlangsungan hidup dalam waktu yang cepat.
Pandemi Covid-19 telah berdampak cukup dalam pada elemen pokok penopang kehidupan keluarga, yaitu penghasilan keluarga. Pada kalangan bawah, pengurangan penghasilan atau upah adalah hal yang paling besar dirasakan. Dampak pandemi terhadap pengurangan penghasilan dirasakan 47,3 persen kalangan bawah, jauh lebih tinggi daripada dampaknya pada hal-hal lain.
Dampak pandemi terhadap pengurangan penghasilan dirasakan 47,3 persen kalangan bawah.
Hal yang hampir sama juga dirasakan kelas menengah meski dalam proporsi yang lebih sedikit. Sementara itu, pada kelas atas, pengaruh terbesar pandemi terhadap pekerjaan adalah terhambatnya komunikasi yang mengganggu bisnis mereka.
Dampak berkurangnya penghasilan terhadap terganggunya ekonomi keluarga menjadi persoalan utama yang melemahkan daya tahan kelas bawah, yang berpengaruh pada kemampuan mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada kelas bawah, 52,1 persen di antaranya mengalami pengurangan dalam kemampuan berbelanja kebutuhan pokok. Berkurangnya penghasilan juga membuat lebih dari sepertiga kalangan ini kesulitan memenuhi pembiayaan sarana kesehatan.
Situasi ini agak berbeda dengan kelas menengah. Meski terkena dampak dari sisi penghasilan, cadangan keuangan yang dimiliki masih memungkinkan untuk mempertahankan pola belanja kebutuhan pokok. Sebanyak 51,9 persen tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan relatif aman dalam pembiayaan sarana kesehatan. Namun, kelas ini sudah makin sulit untuk menabung atau berinvestasi.
Baca juga: Bangun Optimisme Kelas Menengah dan Atas untuk Dorong Pemulihan Ekonomi
Kontras dengan kecenderungan pada kelas bawah, pada kelas atas justru terdapat gejala meningkatnya konsentrasi pada pembelanjaan kebutuhan pokok. Tekanan untuk mengurangi gaya hidup di luar rumah akibat pandemi memaksa mereka beralih pada pembelanjaan kebutuhan pokok yang diolah di rumah. Ini menyebabkan, pada kelas atas, selama pandemi, pembelanjaan terhadap kebutuhan pokok justru meningkat. Implikasi dari berkurangnya gaya hidup di luar rumah, sebagian dari kelas atas justru dapat menambah tabungan semasa pandemi ini.
Langkah penyiasatan
Pengiritan biaya hidup sehari-hari merupakan upaya penyiasatan yang sudah sangat mendesak dilakukan kalangan bawah. Kalangan ini juga sudah harus mencari tambahan penghasilan dari usaha lain dan tak sedikit yang berganti usaha atau merintis usaha baru untuk menopang biaya hidup sehari-hari. Hampir seperempat dari kelompok sosial bawah juga merasa sudah sangat mendesak untuk menjual barang miliknya agar dapat melangsungkan kehidupan.
Kelas menengah juga terlihat mulai goyah fondasi ekonominya meski cenderung lebih mampu bertahan dengan pekerjaan yang telah digelutinya. Kelas ini, selain merasa sudah cukup mendesak melakukan penyiasatan pengiritan biaya hidup, juga merasa sudah saatnya mencari tambahan penghasilan dari usaha lain akibat berkurangnya pendapatan dari hasil kerja selama ini.
Bantuan sosial
Menurunnya kemampuan untuk bertahan dengan situasi pandemi yang berkepanjangan menyebabkan bantuan sosial menjadi penopang yang cukup berarti. Pada kelas bawah, satu dari lima orang kini sudah mengandalkan bantuan dari pihak lain untuk dapat bertahan. Mayoritas kelas bawah (60,4 persen) dapat dikatakan sulit untuk dapat melewati tahun ini tanpa pertolongan, baik berupa bantuan sosial maupun berutang kepada pihak lain.
Pada kelas bawah, satu dari lima orang kini sudah mengandalkan bantuan dari pihak lain untuk dapat bertahan.
Tanda-tanda kemampuan yang menurun tergambar dari cukup banyaknya, terutama pada kelas bawah, yang sudah menerima bantuan dari pemerintah ataupun lembaga lain. Lebih dari separuh (55 persen) kelompok kelas ini telah menerima bantuan dari pemerintah, baik yang rutin maupun tak rutin.
Sejauh ini, jaring pengaman sosial yang menjadi andalan masyarakat kelas bawah adalah pemerintah. Sumber-sumber lain, seperti lembaga sosial, lingkungan pertetanggaan, keluarga, dan perusahaan tempat karyawan bekerja, relatif belum memberikan dukungan yang berarti bagi kalangan ini. Situasi tersebut membuat ketergantungan terhadap pemerintah ke depan akan semakin tinggi, jika pengembangan jaring pengaman sosial yang melibatkan banyak pihak tidak dilakukan.
Secercah optimisme
Resesi ekonomi yang berada di bawah bayang-bayang pandemi Covid-19 ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Berbeda wajah, tetapi nilainya sama. Belum bebasnya Indonesia dari pandemi membuat kepercayaan diri masyarakat melemah. Harapan akan terjadi pemulihan yang cepat, seperti China, ternyata tidak terjadi. Akibatnya, setelah tujuh bulan pandemi, rasa percaya diri masyarakat cenderung merosot.
Jika pada Juni 2020 masih ada sekitar 21,2 persen masyarakat yang percaya diri bahwa Indonesia akan kembali normal dalam waktu satu bulan ke depan, kini hanya 4,4 persen yang beranggapan demikian. Sebaliknya, yang mulai sadar bahwa kenormalan ekonomi baru akan dapat diraih dalam waktu satu atau dua tahun ke depan meningkat drastis. Hanya kalangan atas yang yakin bahwa pemulihan akan berjalan lebih cepat. Sebanyak 47,4 persen kalangan ini percaya bahwa pemulihan ekonomi akan terwujud dalam 4-7 bulan yang akan datang.
Pergerakan perekonomian Indonesia ke depan, selain ditentukan oleh tren makro yang mulai positif, juga didukung oleh kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sejauh ini, masyarakat dari berbagai kelas masih memandang pemerintah sanggup mengatasi resesi ekonomi. Dengan optimisme kelas atas yang dominan, bukan mustahil pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat menuju positif. (Litbang Kompas)