Bangun Optimisme Kelas Menengah dan Atas untuk Dorong Pemulihan Ekonomi
Selama belum merasa aman, kelompok masyarakat menengah atas dinilai akan cenderung menempatkan dana mereka, alih-alih menggelontorkan untuk belanja. Padahal, kelompok ini menjadi penopang belanja domestik.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Salah satu kunci memulihkan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 adalah memacu optimisme kelompok menengah dan atas yang kini menahan diri untuk konsumsi. Selama belum merasa aman, kelompok ini cenderung memarkir dana mereka alih-alih menggelontorkannya untuk belanja.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF) bertema ”Strategi Kebijakan Indonesia Mengatasi Resesi Ekonomi” yang digelar secara virtual, Jumat (6/11/2020). Selain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, diskusi juga dihadiri para CEO dan direktur perusahaan anggota KCF.
Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja berpendapat, kelompok menengah atas yang semakin optimistis merupakan pertanda baik bagi geliat ekonomi sektor riil. Pasalnya, kelompok menengah atas bukan hanya konsumen, melainkan juga pelaku bisnis.
Sentimen dari pandemi Covid-19, lanjut Parwati, membuat pelaku bisnis enggan mengekspansi usahanya. Dampaknya, penyaluran pinjaman tidak kunjung tumbuh. ”Jawaban umum yang kami terima dari debitor adalah belum waktunya bagi mereka berekspansi mengingat aktivitas ekonomi masih tertekan pandemi,” ujarnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun perbankan pada September 2020 tumbuh 12,88 persen apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019. Padahal, penyaluran kredit secara tahunan pada September 2020 hanya tumbuh 0,12 persen.
Jika pemangku kebijakan tidak melipatgandakan upaya mendorong konsumsi kelompok menengah atas, Parwati khawatir ekonomi Indonesia tak kunjung terangkat dari jurang resesi. Sebab, vaksin yang diyakini dapat memberikan rasa aman untuk memulihkan ekonomi belum akan hadir dalam waktu dekat.
Jika pemangku kebijakan tidak melipatgandakan upaya mendorong konsumsi kelompok menengah atas, Parwati khawatir ekonomi Indonesia tak kunjung terangkat dari jurang resesi. Sebab, vaksin yang diyakini memberikan rasa aman untuk memulihkan ekonomi belum akan hadir dalam waktu dekat.
Dalam diskusi itu, Direktur Utama PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk Hardianto Atmadja sempat menanyakan, ”Kapan sekolah dibuka lagi?” Menurut dia, itu penting karena penjual di sekolah menjadi kanal distribusinya.
”Saat lari pagi di kompleks, di depan sekolah, saya juga tanya penjual kelapa muda, ternyata penjualannya turun jadi 30 persen. Ini tidak bisa terus begini,” ujar Hardianto yang percaya optimisme masyarakat harus dibangkitkan.
Menurut Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azam, pemulihan ekonomi Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada anggaran belanja pemerintah.
”Jika ekonomi ingin cepat pulih, konsumsi kelompok menengah atas yang berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik harus pulih terlebih dahulu. Kita tidak bisa hanya bergantung pada belanja pemerintah,” ujar Bob.
Data terbaru, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional menyatakan hingga 2 November anggaran PEN baru tersalur Rp 366,86 triliun atau 52,8 persen. Penyerapan program Perlindungan Sosial merupakan yang paling tinggi, dengan realisasi mencapai Rp 176,38 triliun atau 86,51 persen dari pagu Rp 203,9 triliun.
Meski realisasi bantuan sosial sudah cukup tinggi, yakni 86,51 persen dari pagu, nyatanya konsumsi rumah tangga masih tertekan. Laju konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2020 tercatat negatif 4,04 persen meski lebih baik dari triwulan II-2020 yang minus 5,52 persen.
Peran swasta
Menurut CEO WYR Solution Th Wiryawan, sektor swasta tidak bisa hanya bergantung pada vaksin untuk menghadirkan rasa aman bagi kelompok menengah atas agar meningkatkan konsumsi dan belanja. Sektor swasta diharapkan tetap membangun hasrat masyarakat agar ekonomi tetap berjalan.
”Butuh inovasi dan kreativitas untuk membuat orang kembali berbelanja dengan tetap mengandalkan protokol kesehatan. Niat dan upaya yang sudah dilakukan swasta harus terus didengungkan untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Wiryawan, hal paling esensial yang perlu dilakukan sektor swasta saat ini ialah menumbuhkan niat untuk mendorong konsumsi masyarakat. Niat tersebut, ia contohkan, telah dilakukan maskapai Singapore Airlines (SQ) yang berinovasi dengan menjadikan pesawat mereka sebagai restoran.
”Dari sisi bisnis, keuntungan dari inovasi itu tidak akan mampu menutup kerugian perusahaan. Tetapi, dampaknya, SQ telah membawa kembali marwah aktivitas perekonomian di Singapura untuk kembali hidup,” ujarnya.
Wiryawan menambahkan, apabila dilihat data awal tahun, jumlah rekening yang ada di sistem perbankan Indonesia adalah 301 juta dengan jumlah uang Rp 6.000 triliun. Sampai dengan Juli 2020, ada penambahan 19 juta rekening, sementara jumlah uang yang masuk dalam 7 bulan mencapai Rp 300 triliun.
Situasinya kurang menguntungkan jika dana simpanan bertambah, sementara belanja dan konsumsi rumah tangga justru turun. Artinya, roda perekonomian tidak bisa bergerak lebih kencang.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berharap, upaya pemulihan yang dilakukan pemerintah sekaligus memperkuat fundamental ekonomi. Dengan demikian, dalam jangka panjang, daya tahan ekonomi domestik lebih kuat.
Shinta menilai, pandemi menjadi momentum yang tepat untuk bertransformasi dalam banyak aspek. Poin penting lain, di luar pengembangan sumber daya manusia yang tak boleh luput adalah pengembangan riset dan inovasi. Pandemi telah membuat banyak pihak tergugah mengurusi riset dan inovasi.
Saat ini, ada banyak perubahan jenis pekerjaan dan kebutuhan di pasar kerja. Oleh sebab itu, penting pula memperbaiki sektor pendidikan untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia.