Demokrasi yang sehat tanpa konflik elite dan pilihan calon yang beragam dibutuhkan masyarakat Pematang Siantar, yang masih memiliki tantangan untuk menekan jumlah penduduk miskin serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Demokrasi tanpa konflik berkepanjangan di antara elite dan pilihan calon yang beragam dibutuhkan masyarakat Pematang Siantar. Untuk menjaga asa pada demokrasi yang berkualitas, sukarelawan masyarakat pembela kotak kosong bergerak melawan keberadaan calon tunggal di pilkada tahun ini di kota itu.
Pilkada Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, tahun ini hanya diikuti satu pasangan calon, yaitu pasangan Asner Silalahi dan Susanti Dewayani. Sebelum mencalonkan diri, Asner berkarier sebagai birokrat di Kementerian PUPR. Jabatan terakhirnya Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Sumut. Sementara Susanti merupakan pegawai negeri sipil berlatar belakang dokter. Ia pernah menjadi Direktur Utama RSUD Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar.
Fenomena calon tunggal di Pematang Siantar setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu latar belakang calon, tren menurunnya partisipasi calon, dan kemelut kepemimpinan wali kota petahana.
Pertama, latar belakang kandidat. Asner dan Susanti sama-sama berasal dari kalangan birokrat. Ini cukup menarik karena pada pilkada sebelumnya didominasi politisi. Mantan wali kota yang terpilih dua kali, yaitu (alm) Hulman Sitorus, meniti karier sebagai anggota DPRD Kota Siantar. Ia juga pernah menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Siantar.
Hulman menjabat pada periode 2010-2015 dan 2016-2021. Namun, ia meninggal pada 2016 sebelum dilantik untuk menjalankan jabatan di periode kedua. Jabatan wali kota lalu dijalankan Hefriansyah Noor yang merupakan wakil wali kota pendamping Hulman.
Dalam perjalanannya, pemerintahan Hefriansyah tidak berjalan mulus dan memicu konflik dengan DPRD. Sejak 2018, muncul gejolak di masyarakat Kota Pematang Siantar yang menuntut wali kota diberhentikan. Penyebabnya karena beberapa kalangan menganggap Hefriansyah melakukan tindakan yang dapat memicu polemik SARA. Inilah pangkal dari kemelut wali kota dengan DPRD yang berimbas ke pencalonan pilkada tahun ini.
Ujungnya, pada Maret 2020, mayoritas anggota DPRD Kota Pematang Siantar setuju memakzulkan wali kota. Rapat penentuan dihadiri 27 dari 30 jumlah total anggota. Hasilnya, 22 anggota setuju memberhentikan wali kota.
Namun, putusan MA menyatakan bahwa permohonan pemakzulan ditolak. Artinya, Hefriansyah tetap menjabat. Dilihat dari mayoritas suara anggota DPRD yang tak lain juga merupakan suara partai politik (parpol), peluang bagi petahana untuk berlaga di Pilkada 2020 sirna. Hefriansyah tidak mendapat tiket dari satu pun parpol untuk kembali mencalonkan diri.
Tren calon tunggal
Dinamika politik ini menjadi salah satu faktor pendorong munculnya calon tunggal di Kota Pematang Siantar. Asner-Susanti mengajukan diri sebagai paslon ke semua partai yang memiliki kursi di DPRD. Total terdapat delapan partai dengan jumlah 30 kursi.
Kekuatan politik di DPRD Pematangsiantar hasil pemilu legislatif 2019 disokong parpol-parpol nasionalis, utamanya PDI-P dan Golkar yang menguasai 43 persen kursi DPRD. Pemegang kursi terbanyak adalah PDI-P dengan delapan kursi. Dengan jumlah kursi ini, PDI-P bisa mencalonkan sendiri kandidat wali kota.
Dukungan penuh parpol terhadap Asner-Susanti mengisyaratkan bahwa tidak perlu ada kontestasi pada pilkada kali ini. Untuk pertama kalinya calon kepala daerah dengan ikon becak motor BSA ini berhadapan dengan kotak kosong.
Padahal, pada pilkada sebelumnya kontestasi cukup semarak. Pilkada 2016 diikuti empat pasangan. Bahkan, pada Pilkada 2010 ada 10 pasangan.
Kota Pematang Siantar merupakan satu dari sedikitnya 25 daerah dengan calon kepala daerah tunggal di Pilkada 2020. Tren calon tunggal pada pilkada selalu bertambah dari waktu ke waktu.
Sadar akan potensi terhambatnya proses demokrasi lokal, kelompok masyarakat yang bertindak sebagai lawan calon tunggal bergerak membuat komunitas. Di Pematang Siantar dibentuk Koalisi Relawan Masyarakat Kotak Kosong atau disebut Kawan Mas Koko.
Komunitas ini diprakarsai oleh Yayasan Cahaya Keadilan, UPAS, Lembaga Advokasi Hukum Komit Tipikor, dan LSM TOPAN-AD. Tujuan Kawan Mas Koko adalah mengedukasi masyarakat bahwa mencoblos kotak kosong adalah sah dan dijamin undang-undang.
Regulasi yang dimaksud merujuk pada Peraturan KPU No 8/2017, khususnya Pasal 27. Aturan tersebut berbunyi, ”Setiap warga negara, kelompok, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, kelompok adat, badan hukum, lembaga pendidikan, dan media massa cetak atau elektronik dapat melaksanakan sosialisasi pemilihan calon tunggal.”
Caranya dengan memuat informasi berupa kolom kosong yang tidak bergambar. Ditambah dengan keterangan bahwa kolom kosong dapat dipilih dan dihitung sebagai suara sah.
Keberadaan sukarelawan koalisi calon tunggal ini menggambarkan partisipasi masyarakat yang menghendaki perbaikan demokrasi lokal di Pematang Siantar. Perseteruan wali kota dan DPRD bukan berarti menutup peluang calon lain.
Kemelut elite politik di Pematang Siantar mengulang konflik yang terjadi di pilkada sebelumnya. Lima tahun lalu pilkada bahkan ditunda satu tahun karena sengketa pencalonan.
Kerawanan
Indeks Kerawanan Pemilu 2020 menempatkan Pematang Siantar termasuk wilayah yang patut diwaspadai dengan potensi konflik dan minimnya partisipasi pemilih. Dari skala kerawanan pada rentang sangat rendah level 1 hingga sangat tinggi di level 6, kota itu ada dalam risiko level 5.
Berdasarkan skor beban potensi masalah, Pematang Siantar paling rawan menghadapi persoalan ”partisipasi politik”. Skor kerawanan di partisipasi politik mencapai angka 78,86 dan nilai ini berada di atas rerata nasional, yaitu 64,09.
Kerawanan partisipasi politik memiliki empat subdimensi, yaitu partisipasi pemilih, partisipasi parpol, partisipasi kandidat, dan partisipasi publik dalam pengawasan. Secara garis besar, berdasarkan indeks ini dapat dibaca bahwa rendahnya partisipasi parpol mengajukan kandidat akan berimbas pada partisipasi pemilih yang dikhawatirkan juga rendah.
Indeks Kerawanan Pemilu di Pematang Siantar juga memberikan sinyal, keberadaan calon tunggal juga berpotensi menurunkan partisipasi kandidat/peserta pemilu dalam proses edukasi politik kepada masyarakat. Jika ini terjadi, pengawasan yang dilakukan masyarakat diprediksi juga akan semakin minim. Bukan tidak mungkin pelanggaran pemilu dan transparansi politik, seperti politik uang dan deal politik, semakin sulit diawasi.
Demokrasi yang sehat tanpa konflik elite dan pilihan calon yang beragam dibutuhkan masyarakat Pematang Siantar yang masih memiliki tantangan menekan jumlah penduduk miskin dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto Pematang Siantar pada 2019 tercatat 4,8 persen atau di bawah rata-rata Provinsi Sumut yang mencapai 5,18 persen.