Menengok Kekuatan Algoritma Media Sosial di Pilpres AS
Belajar dari pengalaman pilpres 2016 dan strategi Trump berkampanye di media sosial pada saat itu, hasil akhir pemilu AS 2020 tetap belum pasti. Apakah peran media sosial dalam pemilu AS kali ini segahar tahun 2016?
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
Penggunaan media sosial bukan hal baru dalam politik Amerika Serikat. Media sosial yang berkembang mulai 2006 telah digunakan sebagai sarana komunikasi publik oleh Presiden Barack Obama melalui Twitter.
Presiden Donald Trump yang menjabat setelah Obama juga menggunakan Twitter sejak 2009. Sejak 4 Mei 2009 hingga 26 Oktober 2020, sudah 45.000 cuitan yang ia kirimkan. Tagar yang paling banyak digunakan Trump saat di Twitter berkaitan dengan kampanyenya menjadi presiden AS. Tiga tagar yang paling banyak digunakan ialah #trump2016, #makeamericagreatagain, dan #MAGA yang merupakan akronim dari slogan kampanye di pilpres 2016, yaitu Make America Great Again.
Pemanfaatan media sosial sebagai sarana kampanye didorong oleh peningkatan jumlah penggunanya di AS. Pada tahun 2006, populasi penduduk dewasa AS yang menggunakan media sosial sebesar 11 persen. Data tahun 2019 menunjukkan lonjakan angka pengguna, yakni mencapai 72 persen.
Peluang meraih massa diperkuat dengan adanya algoritma dalam media sosial. Algoritma diciptakan untuk menyebarkan iklan dan berita kampanye kepada audiens secara terarah.
Cara kerjanya serupa ketika pengguna internet melakukan pencarian produk, misalnya mencari arloji. Maka, di berbagai platform daring yang digunakan akan muncul beragam iklan arloji walau pengguna itu sudah tak lagi mencarinya.
Fenomena ini kerap disebut sebagai filter bubble dalam distribusi informasi via internet. Istilah yang dipopulerkan oleh Eli Pariser ini merujuk pada cara kerja algoritma dalam mengenali data minat seseorang terhadap suatu informasi. Selanjutnya data tersebut digunakan sebagai acuan mengirim konten yang sesuai dengan minat pengguna.
Algoritma media sosial ini membuat orang akan mendapat informasi sesuai dengan ketertarikannya terhadap suatu topik atau perspektif. Ketika calon pemilih mengklik informasi tentang salah satu kandidat, seterusnya ia akan disodorkan konten serupa.
Berdasarkan survei Pew Research Center Journalism & Media, pada 2016 sebanyak 64 persen penduduk AS mengonsumsi berita hanya yang disodorkan oleh media sosial. Sisanya, 26 persen responden, mendapat informasi dari dua situs berita daring. Mereka yang mengonsumsi berita di lebih dari dua situs hanya 10 persen.
Temuan tersebut menunjukkan media sosial berperan dominan dalam menentukan konten yang dibaca oleh mayoritas masyarakat AS. Reddit, Facebook, dan Twitter merupakan media sosial teratas yang menjadi sumber informasi utama masyarakat AS terkait pemilu.
Pada saat perhelatan pilpres 2016, Trump juga berkampanye dengan memanfaatkan iklan di media sosial. Andrew Bosworth, kolega pendiri Facebook Mark Zuckerberg, menyebutkan kemenangan Trump pada empat tahun lalu karena berhasil menerapkan kampanye digital melalui kanal iklan secara sangat efektif.
Media sosial dicinta oleh kubu pendukung Trump. Berkat kampanye di platform digital, Trump memperoleh kursi presiden periode 2016-2020. Laeeq Khan, Direktur Laboratorium Analisis Media Sosial di Universitas Ohio, mengemukakan tiga poin penentu kemenangan Trump melalui internet, khususnya media sosial.
Poin pertama, popularitas Trump di internet. Jumlah kata pencarian ”Trump” di Google Trends tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ”Clinton”. Didukung pula dengan jumlah mention atau menyebut Trump di Twitter dan Facebook yang lebih banyak ketimbang Clinton.
Temuan kedua ialah jumlah pengikut Trump di Twitter yang 4 juta lebih banyak dibandingkan dengan Clinton. Hal ini menjadi indikator daya tarik sosok calon presiden di dunia maya.
Temuan yang terakhir, keterlibatan warganet di media sosial. Di tengah dominasi popularitas Trump di dunia maya, keterlibatan warganet pendukung Clinton meningkat setelah debat ketiga. Hal ini sudah terlambat karena para pemilih AS telah menentukan suara mereka.
Pertanyaan selanjutnya, apakah yang terjadi pada pemilu tahun 2016 akan terulang? Dan bagaimana iklim media sosial saat ini menjelang pemilu AS 2020?
Pengaruh
Melihat kekuatannya sebagai referensi dan sarana komunikasi, media sosial masih akan menjadi ajang persaingan calon presiden di luar kampanye tatap muka serta debat kandidat. Patrick J Egan, Asisten Profesor Politik dan Kebijakan Publik di Universitas New York, dalam forum New York Foreign Press Center menyebut ada tiga pengaruh media sosial pada pilpres 2020.
Pertama, media sosial merupakan penyalur vital informasi politik bagi masyarakat AS. Faktor berikutnya, media sosial memberi saluran langsung antara kandidat dan calon pemilih tanpa gatekeeper atau pihak yang mengendalikan akses informasi. Hal ini tak terjadi di era sebelum internet dan media sosial hadir.
Poin ketiga, media sosial dapat digunakan untuk menyampaikan iklan kampanye secara terarah. Hal ini menarik bagi setiap kubu kandidat untuk membuat konten iklan sebanyak-banyaknya. Risikonya, muncul iklan yang cenderung provokatif dengan menyerang rival atau mendiskreditkan kelompok tertentu demi menggiring opini publik.
Fenomena penyalahgunaan media sosial dalam iklan kampanye merupakan tantangan yang menjadi perhatian penyedia media sosial. Selama empat tahun terakhir, yakni sejak pilpres AS 2016, para penyedia media sosial berusaha untuk melakukan deteksi dan menghapus konten yang kurang pantas serta tak menjunjung etika politik.
Salah satu yang menjadi perhatian ialah deteksi konten-konten yang berasal dari luar wilayah AS. Hal ini terkait dengan tudingan bahwa Rusia menyusupi pilpres 2016 melalui kanal media sosial.
Misinformasi
Secara teori, filter bubble dapat ditekan, bahkan dieliminasi. Dalam program TIME 100 Talks, CEO Alphabet Sundar Pichai menyatakan komitmen perusahaannya untuk menyisir misinformasi dan iklan kampanye. Pernyataan oleh pimpinan induk perusahaan Google disampaikan pada September 2020. Hal ini berkaitan dengan momen jelang pilpres.
Perusahaan induk Google mengaku akan berusaha mencegah distribusi misinformasi serta iklan kampanye. Pichai menekankan bahwa upaya terbesar dilakukan untuk membenahi kanal Youtube.
Hal serupa diikuti platform lain seperti Facebook, Twitter, hingga media sosial yang kurang terkait dengan bidang politik, yakni TikTok dan Pinterest. Intinya, para penyelenggara media sosial berupaya untuk mengawasi arus iklan politik dalam platform mereka.
Belajar dari pengalaman pilpres tahun 2016 serta strategi Trump berkampanye di media sosial seperti di periode sebelumnya, hasil akhir pemilu AS tetap masih belum pasti. Apakah peran media sosial dalam pemilu AS kali ini akan segahar pada tahun 2016? Semua akan terjawab pada 3 November 2020.