Bagi Indonesia, hasil pilpres AS menarik diikuti dalam perkembangan politik internasional, terutama terkait hubungan Indonesia-AS. Bagaimana hasilnya, kita tunggu saja hasil pemilihan presiden AS pada 3 November ini.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Pemilihan presiden Amerika Serikat akan diselenggarakan tidak lama lagi. Hampir seluruh jajak pendapat tingkat negara bagian dan nasional menunjukkan Joe Biden akan memenangi kontestasi, sementara Donald Trump hanya unggul di 21 negara bagian.
Hingga 1 November 2020, hampir seluruh lembaga jajak pendapat (pollster) di AS memprediksi Biden akan memenangi Pilpres AS 2020. Dari agregasi (pengumpulan) yang dilakukan The Economist terhadap hasil jajak pendapat dari ratusan pollster di AS, kemungkinan bagi pasangan Joe Biden-Kamala Harris untuk menang mencapai 96 persen. Duo ini diperkirakan akan mendapat suara elektoral (electoral college) di rentang 253 suara hingga 415 suara.
Biden diperkirakan menang di lebih banyak negara bagian dengan suara elektoral yang ”gemuk” dibandingkan dengan Trump. Beberapa negara bagian yang hampir pasti dimenangi Biden ialah California (55 suara electoral college), New York, dan Illinois (masing-masing 20 suara). Secara keseluruhan, Biden-Kamala diperkirakan memenangi suara di 27 negara bagian AS.
Prediksi kemenangan elektoral bagi Biden-Kamala kemungkinan diikuti kemenangan pemilu suara populer (popular vote). Dari agregasi hasil jajak pendapat, diperkirakan pasangan calon tersebut memenangi 54,4 persen suara, berselisih 8,8 persen dengan prediksi perolehan pasangan Trump-Pence.
Dengan pelaksanaan pemilu yang tak lama lagi, tak banyak waktu tersisa bagi Trump untuk membalikkan keadaan. Ia diprediksi hanya mampu meraih suara elektoral sebesar 123 sampai 285 suara. Meski diperkirakan memenangi 21 negara bagian, rata-rata negara bagian yang dimenangi oleh pasangan Trump-Pence memiliki electoral college kurang dari 10 suara. Satu-satunya negara bagian gemuk yang diperkirakan dimenangi mereka ialah Texas yang memiliki 38 suara elektoral.
Jika mengikuti tren pergerakan elektabilitas kedua pasangan calon, keunggulan Biden hingga menit terakhir ini bukan kejutan. Sepanjang 2020, Trump hanya mampu mengungguli Biden dalam hal suara elektoral hingga bulan April. Setelah Biden mampu membalikkan keadaan, terutama semenjak Mei, perbedaan di antara keduanya terus melebar hingga saat ini.
Dari segi tren suara populer, keadaan Trump jauh lebih buruk ketimbang suara elektoral. Sepanjang 2020, posisi Trump tak pernah unggul jika dibandingkan dengan Biden. Dalam rentang waktu itu, elektabilitas Trump tak pernah sampai pada angka 48 persen. Adapun elektabilitas Biden selalu stabil di kisaran angka 52-54 persen.
Negara bagian kunci
Meskipun begitu, bukan berarti kesempatan Trump untuk kembali memenangi pemilu sudah tidak ada. Meski kemungkinannya kecil untuk ada perubahan signifikan, tetap tidak ada yang benar-benar tahu pasti siapa yang akan memenangi pilpres. Sampai hasilnya diumumkan nanti, pintu Trump untuk kembali menduduki jabatan presiden tetap terbuka.
Terlihat dari Pilpres 2016, gaya berpolitik Trump cenderung efisien. Karena kemenangan di Pilpres AS semata-mata dihitung dari perolehan suara elektoral, Trump sepertinya tak berniat untuk memenangi suara populer. Baginya, lebih penting fokus memenangi suara di negara bagian yang gemuk ketimbang memenangi negara bagian sebanyak-banyaknya.
Pada Pilpres AS 2016, Hillary mengungguli Trump dalam hal suara populer sebesar 2,89 juta suara. Artinya, hampir tiga juta suara yang diperoleh Hillary ”hilang” dan tak memberikannya keunggulan apa-apa atas Trump. Jika dilihat per negara bagian, jumlah suara Hillary yang ”terbuang” ini semakin banyak.
Salah satu contohnya kemenangan Demokrat di California. Dengan jumlah pemilih sebesar 13,7 juta dan perolehan sebesar 8,7 juta suara, Hillary sebetulnya hanya perlu memenangi suara sebesar 6,8 juta. Dengan sejarah California yang memiliki kecenderungan kuat ke arah Partai Demokrat, upaya yang dikerahkan di negara bagian tersebut semestinya bisa dialokasikan untuk memenangi negara bagian yang lain.
Berbeda dari Hillary, Trump tak fokus untuk memenangi sebanyak-banyaknya suara. Ia justru berusaha membalik negara-negara bagian yang sebelumnya diprediksi mendukung Hillary. Beberapa negara bagian yang ”berbalik” saat itu ialah Wisconsin, Iowa, Michigan, Ohio, Pennsylvania, dan Florida.
Dari negara bagian yang disebutkan, hanya Iowa yang memiliki jumlah suara elektoral kecil di angka 6 suara. Kelima negara bagian sisanya menjadi kunci kemenangan Trump, terutama Florida dan Pennsylvania yang memiliki suara elektoral sebesar 29 dan 20 suara.
Dengan logika yang serupa, Trump kini harus bisa memenangi suara di negara bagian kunci. Beberapa negara bagian yang dianggap kunci ialah Texas (38 suara elektoral), Arizona (11 suara elektoral), Florida (29 suara elektoral), Pennsylvania (20 suara elektoral), Ohio (18 suara elektoral), Georgia (16 suara elektoral), Wisconsin (10 suara elektoral), dan Iowa (6 suara elektoral).
Namun, berbeda dari pilpres sebelumnya, jalan Trump untuk memenangi pemilu sekarang jauh lebih terjal. Menurut hasil agregasi jajak pendapat, Biden telah unggul di empat negara bagian kunci tersebut. Keempatnya ialah Arizona, Florida, Pennsylvania, dan Wisconsin. Tidak hanya unggul, Biden bahkan diperkirakan mendominasi empat negara bagian tersebut dengan selisih suara 11 persen dengan Trump.
Tak hanya itu, keadaan Trump diperparah dengan menipisnya dukungan di Texas sebagai negara bagian yang menjadi pendukung tradisional Partai Republik. Apabila Biden dapat merebut Texas, Florida, dan Pennsylvania dari cengkeraman Trump, bisa dipastikan ia akan menang dalam pemilu kali ini.
Untuk dapat menang, kesempatan bagi Trump terletak pada para pemilih partai alternatif.
Pada pemilu sebelumnya, pemilih calon dari partai alternatif di negara bagian kunci bisa menjadi penentu apabila suara mereka berhasil terkonversi. Salah satu contohnya hasil perolehan suara di Pennsylvania. Dengan perbedaan perolehan suara yang sangat tipis, yakni Trump menang dengan selisih 0,7 persen, kemenangan bisa saja diraih Hillary apabila ia dapat mengonversi separuh dari 2,4 persen suara yang saat itu jatuh ke Partai Libertarian. Hal serupa terjadi di Florida, yakni Trump menang atas Hillary dengan selisih sebesar 1,2 persen, dan perolehan suara dari pasangan calon Partai Libertarian sebesar 2,2 persen.
Bagi Indonesia, hasil pilpres AS menarik diikuti dalam perkembangan politik internasional, terutama terkait hubungan Indonesia-AS. Bagaimana hasilnya, kita tunggu saja hasil pemilihan presiden AS pada 3 November ini.