Membangun Masa Depan Kota dari Komunitas Masyarakat
Partisipasi masyarakat menjadi kunci pembangunan masa depan kota. Masyarakat perlu diberikan kesempatan untuk aktif mengembangkan dan mengawal program pembangunan di wilayahnya.
Masyarakat kota menjadi fondasi peradaban perkotaan. Di masa pandemi Covid-19, komunitas masyarakat menjadi garda terdepan dalam pencegahan penularan virus korona. Membuka lebar partisipasi masyarakat bagi perencanaan perkotaan menjadi kunci pembangunan masa depan kota.
Pandemi Covid-19 menyadarkan kita bahwa komunitas masyarakat berperan penting dalam mencegah penularan virus. Karena itu, pemerintah dan lembaga-lembaga sangat mengandalkan komunitas masyarakat dalam upaya penanganan Covid-19. Komunitas masyarakat dalam lingkup lingkungan tempat tinggal menjadi langkah terdepan untuk mencegah penyebaran virus.
Partisipasi masyarakat dalam upaya penanganan Covid-19 terekam dalam jajak pendapat Kompas pada 27-29 Juli 2020 kepada 553 responden di 34 provinsi. Melalui koordinasi di lingkungan tempat tinggal masing-masing, masyarakat melakukan beragam cara untuk melindungi lingkungannya dari penularan Covid-19.
Sebanyak 73,2 persen responden menyebutkan, di lingkungannya telah dilakukan penyemprotan disinfektan secara berkala. Selain itu, tujuh dari 10 responden juga menyatakan lingkungannya menyediakan fasilitas cuci tangan.
Upaya lain yang dilakukan adalah penerapan jaga jarak di tempat-tempat ibadah (55,3 persen), pembentukan satgas penanganan Covid-19 tingkat lokal (41,6 persen), menyediakan masker bagi warga (40,9 persen), hingga menutup akses masuk-keluar lingkungannya (42,9 persen).
Tak hanya dalam upaya pencegahan penyebaran virus saja, masyarakat dengan aktif mengadakan aksi solidaritas. Ada yang menyediakan bahan makanan, sayur-mayur, bumbu masak, dan makanan matang secara gratis. Ada pula yang menyumbangkan alat-alat kesehatan seperti masker dan APD kepada tenaga kesehatan dan masyarakat umum.
Peran komunitas
Partisipasi masyarakat ini juga mengingatkan bahwa mereka juga berperan penting dalam mewujudkan kehidupan kota yang tangguh dan berkelanjutan. Karena itulah, Hari Kota Sedunia yang jatuh pada 31 Oktober diperingati dengan tema ”Menghargai Komunitas dan Kota Kita”. Tema ini dipilih untuk kembali mengenali dan melihat bahwa masyarakat memiliki nilai untuk dilibatkan dalam pengambilan kebijakan dan dalam implementasinya.
Tema tersebut juga mengingatkan kita pada target Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (SDGs) 11, yaitu kota dan komunitas yang berkelanjutan. Kota yang berkelanjutan, menurut Mark Roseland, adalah kota yang bertumpu pada komunitas yang adil, sehat, produktif serta didukung oleh lingkungan yang kondusif. Karena itu, masyarakat sebagai bagian dari perkotaan peru dilibatkan dalam perencanaan dan implementasi program perkotaan.
Sebab, sering kali pengambilan keputusan dalam perencanaan kota lebih didasari oleh pendekatan birokratis dan deterministik oleh pemerintah, lembaga, perusahaan, atau ahli. Sementara masyarakat, terutama kelompok marjinal terpinggirkan.
Adapun mereka yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan opininya sering kali hanya sebatas formalitas. Pada akhirnya, keputusan tetap didasarkan oleh kepentingan pemerintah tanpa memasukkan pendapat dari masyarakat. Sherry R Arnstein dalam teori Ladder of Participation menyebutkan hal itu sebagai partisipasi masyarakat derajat semu atau degree of tokenism.
Padahal, pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota dapat mengakomodasi pengetahuan, informasi, sudut pandang dari beragam latar belakang masyarakat yang dapat meningkatkan hasil perencanaan. Selain itu, rasa memiliki dari hasil perencanaan oleh masyarakat dapat menjaga keberlangsungan pelaksanaan sebuah program.
Kampung tematik
Pelibatan masyarakat dalam membangun perkotaan sebenarnya telah berhasil dibuktikan dengan pengembangan kampung tematik. Pengembangan kampung tematik adalah upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan mengusung satu tema tertentu dalam menata kampung yang melibatkan warga secara langsung. Tujuannya beragam, untuk meningkatkan kesehatan warga, menjaga lingkungan, hingga meningkatkan perekonomian warga.
Selain itu, program ini bertujuan untuk mengubah persepsi publik tentang kampung yang sering dinilai kumuh, padat penduduk, dan kurang sarana prasarana sanitasi. Dengan munculnya kampung tematik, bagian kecil dari kota ini memiliki nilai lebih dan tidak lagi dipandang sebelah mata.
Salah satu contoh kampung tematik yang menjadi pionir adalah Kampung Warna-Warni di Jodipan, Malang, Jawa Timur. Kampung ini berada di bantaran Sungai Brantas. Dulunya, area ini kumuh, tetapi kini menjadi tujuan wisata menarik di Malang.
Pengembangan kampung ini berawal dari kelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang yang ingin mengubah perilaku membuang sampah sembarangan oleh warga. Tetapi akhirnya, dilakukanlah pengecatan rumah-rumah oleh seniman dan warga supaya tidak tampak kumuh. Sejak menjadi tempat wisata, warga mendapatkan pendapatan tambahan dan kebutuhan rumah layak huni terpenuhi.
Di Indonesia, program Kampung Tematik sudah mulai berkembang hampir di setiap perkotaan. Di Jakarta sendiri, cara ini diwujudkan dalam agenda Community Action Plan yang dimulai pada 2018. Program ini merupakan wujud kolaborasi pemerintah, masyarakat, ahli, dan fasilitator untuk membangun kampung-kampung di Jakarta.
Setidaknya ada 16 kampung yang akan mengikuti program ini. Kampung-kampung tersebut akan difasilitasi menjadi kampung yang direncanakan oleh warganya sendiri bersama pemerintah, ahli, dan fasilitator yang ditetapkan di masing-masing kampung (Kompas, 15/1/2018).
Tangguh bencana
Selain untuk meningkatkan kesejahteraan warga, pelibatan masyarakat juga penting dalam membentuk masyarakat tangguh. Konsep masyarakat tangguh didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang sedikit rentan, tetapi berdaya dan mampu beradaptasi dengan lingkungan serta siap menghadapi situasi krisis. Biasanya, komunitas masyarakat tangguh disiapkan untuk menghadapi bencana.
Masyarakat tangguh bencana sebenarnya sudah dibentuk dengan sendirinya sejak zaman dahulu. Melalui kearifan lokal, mereka membangun respons antisipatif terhadap bencana.
Misalnya berdasarkan pengalaman gempa besar dan tsunami di Pulau Simeuleue pada 1907, masyarakat kemudian membangun dongeng atau cerita tentang peristiwa itu. Dongeng atau cerita itu diteruskan kepada anak cucu sebagai peringatan supaya ketika ada bencana lagi, mereka dapat melakukan mitigasi. Masyarakat menggunakan kata smong untuk menyebut peritiwa itu yang artinya sama dengan tsunami.
Selain berbentuk cerita, bentuk mitigasi lain yang dilakukan masyarakat adalah mendirikan bangunan tahan bencana gempa. Seperti di Nias, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, bangunan-bangunan dulu didirikan menggunakan kayu yang saling dikaitkan melalui teknik sambungan ikat. Dengan teknik itu, bangunan tahan terhadap guncangan gempa.
Saat ini, upaya mitigasi berkembang melalui kelompok masyarakat yang dikoordinasi lebih teratur. Ada Desa atau Kampung Siaga Bencana oleh Kementerian Sosial dan BNPB, Kampung Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Desa Mandiri Pangan oleh Kementerian Pertanian, atau komunitas peduli bencana.
Melalui pemberdayaan masyarakat ini, warga dalam kelompok wilayah tempat tinggalnya diajak berpartisipasi mengenali dan mengatasi risiko bencana yang ada di lingkungannya. Harapannya, mereka dapat mengurangi dampak bencana. Selain itu, masyarakat juga dapat aktif berembuk untuk memberikan masukan terkait penanganan bencana atau masalah lingkungan di sekitarnya.
Tetapi dalam membangun komunitas masyarakat tangguh bencana, masih ada sejumlah kendala yang dihadapi. Dalam penelitian ahli kesehatan masyarakat dari Griffith University Australia, Febi Dwirahmadi, tentang komunitas perkotaan tangguh banjir, didapati bahwa menurut pemangku kepentingan pelaksanaan program ini terhambat kurangnya kesadaran masyarakat terhadap risiko banjir. Selain itu, belum ada komitmen tetap dari masyarakat untuk mengubah perilaku demi menjaga lingkungan.
Dari aspek kelembagaan, koordinasi lintas sektor masih lemah. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah belum efektif sehingga dirasa menghambat program ini. Untuk mengurangi kendala-kendala tersebut, pihak pemerintah dan lembaga-lembaga diharapkan satu suara untuk mengubah paradigma penanganan banjir yang berfokus pada infrastruktur menjadi berbasis pembangunan manusia dan sosial masyarakat.
Di masa depan, tantangan kota semakin beragam. Masalah perkotaan tidak hanya berdampak terhadap lingkup fisik perkotaan, tetapi juga sosial masyarakat.
Jumlah penduduk kota pada 2050 mencapai 68 persen meningkat dari angka saat ini, yaitu 55 persen. Dampaknya kota akan semakin padat, kebutuhan energi meningkat, dan perubahan iklim akan menyebabkan banyak bencana. Dari sisi sosial, kemiskinan dan ketimpangan akan meningkat.
Baca juga : Perubahan Wajah Kota di Balik Wabah
Solusi yang harus diupayakan adalah meneruskan pembangunan berkelanjutan di mana salah satu kuncinya adalah mengutamakan dan mengakomodasi partisipasi warga. Mengingat dalam mengatasi pandemi saat ini masyarakat sangat aktif berperan, maka tidak ada salahnya dalam perencanaan pembangunan perkotaan ke depannya masyarakat lebih banyak diberikan akses dan kesempatan.
Tidak hanya formalitas memberikan aspirasi, masyarakat perlu diberikan kesempatan untuk aktif mengembangkan, melaksanakan, dan mengawal program pembangunan di wilayahnya. (LITBANG KOMPAS)