Sikap responden jajak pendapat ”Kompas” terhadap tahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Amin relatif terbelah. Di satu sisi ada ketidakpuasan. Di sisi lain, responden meyakini akan ada perbaikan kinerja.
Oleh
Eren Marsyukrilla/Litbang Kompas
·5 menit baca
Tanggal 20 Oktober 2020 genap setahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menjalankan pemerintahan. Roda pemerintahan bergulir di tengah bayang-bayang kekhawatiran publik terhadap dampak jangka panjang pandemi dan kemampuan pemerintah. Kekhawatiran itu bertambah seiring ancaman krisis ekonomi global sebagai dampak pandemi Covid-19.
Meski situasi rawan penularan Covid-19, unjuk rasa mulai muncul sebelum dan setelah Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober lalu yang menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Tudingan pembahasan yang terburu-buru, kurang informatif, dan sarat kepentingan pengusaha membuat banyak elemen masyarakat menolak. Unjuk rasa menentang RUU Cipta Kerja ini meruyak di sejumlah kota. Jajak pendapat via telepon ini berlangsung saat unjuk rasa sebagian masyarakat masih berlangsung.
Akibatnya, publik terlihat masih sangat terpengaruh dengan isu RUU Cipta Kerja yang sebagian isinya dinilai merugikan buruh. Sosialisasi substansi RUU yang masih kurang, pemahaman yang belum utuh, dan turunan ketentuan perundangan yang belum dibuat membuat insinuasi dan sentimen negatif lebih terasa dominan di kebatinan masyarakat. Berbagai penjelasan yang dibuat pemerintah tampaknya belum tersosialisasi dengan baik.
Gejolak akibat RUU Cipta Kerja ini berdampak signifikan. Ketidakpuasan terhadap kinerja penegakan hukum pemerintah terekam tertinggi dibandingkan sektor lain, mencakup hampir dua pertiga responden (64,6 persen), dibandingkan sepertiga yang puas (32,3 persen). Ketidakpuasan dalam aspek penegakan hukum ini tampak mencolok dibandingkan dengan aspek ekonomi dan politik keamanan.
Pemerintah telah memastikan bahwa resesi tak terhindarkan. Pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus 5,32 persen. Kementerian Keuangan memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi berada antara minus 2,9 persen dan 1 persen pada kuartal III. Kemenkeu memprediksi setidaknya ada sekitar 5,2 juta orang kehilangan pekerjaan tahun ini akibat terdampak pandemi Covid-19.
Namun, kondisi ekonomi ini ternyata tak direspons responden sebagaimana halnya di bidang penegakan hukum. Masih ada 42,6 persen responden yang merasa puas terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi, sedangkan yang tak puas ”hanya” 55,9 persen.
Pola yang hampir sama juga terekam dalam penyikapan terhadap aspek politik. Perbaikan stabilitas politik tak cukup memberikan perbaikan apresiasi. Kepuasan publik terhadap kinerja bidang politik terekam relatif sama dengan apresiasi di bidang ekonomi, yakni 44,1 persen responden puas, sedangkan yang tak puas 52,7 persen.
Hal yang menarik, di tengah situasi serba galau akibat pandemi Covid-19 dan RUU Cipta Kerja, apresiasi terhadap kinerja kesejahteraan sosial masih terekam relatif kuat. Aspek inilah yang satu-satunya diapresiasi tinggi oleh publik. Ada 52,2 persen responden yang menyatakan puas berbanding 46,5 persen yang tidak puas.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam pelaksanaan program kesejahteraan sosial pemerintah, sektor ini kini menjadi tumpuan apresiasi publik kepada Jokowi-Amin. Sejumlah strategi, mulai dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-BPJS, Program Keluarga Harapan (PKH), hingga Kartu Prakerja, diyakini mulai menjangkau publik penerima manfaat. Tak heran, kepuasan publik terhadap pemerintah di bidang ini masih relatif bertahan dibandingkan bidang lainnya.
Program prioritas
Dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi menyatakan akan menitikberatkan kerja di periode kedua ini pada lima sektor utama, yaitu sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, perbaikan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi.
Apa yang dilakukan dengan omnibus law sejatinya merupakan pelaksanaan janjinya itu. Apalagi, dalam pidato, Jokowi terlihat menekankan upaya memperbaiki iklim investasi, memudahkan perizinan, dan meningkatkan kemampuan anak bangsa untuk menghindari jebakan negara berpenghasilan menengah. Menteri, birokrat yang tak serius, akan dicopot dari jabatannya.
Namun, baru dua bulan pemerintahan jilid kedua berjalan, Covid-19 menghadang dan merajalela hingga hampir 8 bulan ini. Dalam perjalanan itu, pemberantasan kolusi, korupsi, dan nepotisme serta penegakan hukum yang berkeadilan dinilai masih jadi pekerjaan rumah terbesar di bidang penegakan hukum.
Apalagi, kerja keras pemerintah dalam mengupayakan penegakan hukum kembali jadi pertanyaan setelah adanya revisi UU KPK yang dianggap melemahkan peran lembaga itu. Revisi itu sempat menuai polemik di internal lembaga KPK serta memantik gelombang penolakan sejumlah elemen masyarakat.
Langkah pemerintah melakukan sejumlah gebrakan mendasar mendapatkan respons yang kurang antusias dari publik. Publik menyatakan, polemik dalam pembentukan undang-undang seharusnya dapat lebih diatasi. Sebutlah ketika pemerintah dan DPR melakukan perubahan undang-undang (UU) KUHP, UU KPK, UU Minerba, dan RUU Cipta Kerja.
Gejolak politik, penegakan hukum, dan gonjang-ganjing perekonomian sebagai imbas pandemi Covid-19 mengawali tahun awal pemerintahan Jokowi-Amin. Namun, kerja berat pemerintah di satu tahun awal ini juga tetap menyisakan apresiasi dan memberikan optimisme untuk pembenahan.
Modal sosial
Pandangan positif publik itu tergambarkan dari tingkat keyakinan publik yang cukup tinggi terhadap upaya pemerintah menyelesaikan persoalan strategis. Lebih dari 60 persen responden yakin pemerintah dapat mengatasi persoalan pandemi Covid-19 dan perekonomian.
Harapan penanganan Covid-19 tumbuh saat pemerintah menunjukkan keseriusan dalam mengupayakan vaksin Covid-19. Hal itu dimulai dengan kesepakatan antara Bio Farma dan Sinovac Biotech China untuk menghadirkan 40 juta dosis vaksin pada akhir tahun 2020.
Beriringan dengan itu, terkait perbaikan di sektor ekonomi, penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi bukti upaya keras pemerintah menyelamatkan perekonomian yang terpukul akibat pandemi.
Program PEN digadang bertujuan menyelamatkan usaha kerakyatan, seperti UMKM, serta sektor usaha strategis bagi perekonomian lainnya, termasuk pula bagi BUMN.
Tak ayal, sejalan dengan itu pula tingkat keyakinan publik juga tinggi (64,7 persen) dalam melihat kecakapan pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan terkait kesejahteraan sosial itu.
Sejumlah kebijakan strategis yang berdampak langsung membuat masyarakat merasakan kehadiran negara membantu meringankan beban di masa sulit menghadapi pandemi Covid-19.