Berkaca dari Pelanggaran Kampanye
Pembatasan jumlah massa dan pertemuan tatap muka menjadi konsekuensi yang harus diambil seiring keputusan untuk menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Jumlah pelanggaran protokol kesehatan pada masa kampanye yang meningkat drastis menjadi alarm pengingat untuk keberlangsungan Pilkada 2020. Kerja sama semua pihak dan ketegasan menerapkan aturan menjadi kunci untuk mewujudkan terselenggaranya pilkada yang aman di tengah pandemi Covid-19.
Kampanye Pilkada 2020 telah berjalan sekitar tiga pekan. Ramai pelanggaran pada masa kampanye yang dimulai 26 September lalu itu bukan lagi terkait politik uang atau kampanye hitam, melainkan soal pelanggaran protokol kesehatan.
Merujuk pada data evaluasi kampanye yang dikeluarkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada peningkatan drastis tren pelanggaran dalam menerapkan protokol kesehatan. Sejalan dengan hal itu, penindakan dan sanksi yang diberikan Bawaslu pun turut melonjak.
Bawaslu mencatat, di sepuluh hari awal gelaran kampanye ada 237 kasus pelanggaran terkait dengan penerapan protokol kesehatan. Sementara pada pekan setelahnya hingga 15 Oktober 2020, jumlah pelanggaran protokol kesehatan saat pelaksanaan kampanye meningkat hingga 375 kasus.
Menurut Kementerian Dalam Negeri, tingginya angka pelanggaran terhadap protokol kesehatan saat kampanye disebabkan kegiatan tatap muka dan pertemuan terbatas yang masih marak dilakukan para pasangan calon (paslon). Pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah pertemuan tatap muka langsung dengan peserta melebihi 50 orang.
Pada minggu awal pelaksanaan kampanye saja sudah terjadi 54 pelanggaran terhadap protokol kesehatan karena menimbulkan kerumunan massa yang besar. Bahkan, saat itu tercatat ada tiga kasus pelanggaran dari para paslon kepala daerah akibat menggelar konser musik.
Kondisi ini membuat di sepuluh hari kedua masa kampanye, Bawaslu telah 233 kali mengeluarkan peringatan tertulis kepada para paslon yang tak mengindahkan aturan berkampanye. Pada rentang waktu tersebut, Bawaslu juga mengambil tindakan tegas berupa pembubaran di 35 kampanye.
Jumlah itu meningkat dari pekan awal dimulainya kampanye dengan 77 peringatan tertulis. Sementara pembubaran kampanye oleh Bawaslu pada masa awal justru lebih tinggi, yaitu 48 kali.
Aturan lebih ketat
Pembatasan jumlah massa dan pertemuan tatap muka menjadi konsekuensi yang harus diambil seiring keputusan untuk menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19. Langkah itu diambil agar seluruh rangkaian proses pilkada tetap aman dari potensi penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Penyebaran kasus positif Covid-19 yang belum juga berkurang membuat penyelenggara pilkada harus mempertegas aturan. Sejumlah penyesuaian ini terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 pada 23 September 2020. Melalui PKPU itu, ditegaskan sejumlah aturan terkait kampanye, terutama yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa besar.
Untuk kampanye dengan format dialog tatap muka, misalnya. Meski tetap dapat diikuti peserta dengan jumlah maksimal 50 orang, PKPU No 13/2020 secara khusus juga menegaskan dengan detail kewajiban penggunaan alat pelindung diri (APD) bagi para peserta dan penerapan protokol kesehatan. Selain itu, ditegaskan pula bahwa kegiatan yang diselenggarakan juga dapat diakses melalui media sosial dan media daring.
Ketentuan yang berubah juga terjadi terkait dengan penyelenggaraan debat terbuka antarpaslon. Sebelumnya, dalam PKPU No 10/2020, debat publik masih dapat dihadiri oleh peserta yang tidak lebih dari 50 orang.
Namun, dalam PKPU No 13/2020, ketentuan kehadiran peserta tersebut dihapus sehingga dalam penyelenggaraan debat terbuka hanya dihadiri paslon, dua orang perwakilan Bawaslu provinsi atau kabupaten/kota, empat orang tim kampanye, dan 5-7 orang anggota KPU. Keseluruhan rangkaian kegiatan debat terbuka itu tentunya juga wajib menerapkan protokol kesehatan.
Melalui PKPU No 13/2020, pelaksanaan rapat umum pada masa kampanye juga dihapus. Hal terkait dengan kegiatan kampanye juga ditegaskan untuk dapat dilakukan secara virtual dengan memakai media sosial dan media daring.
Kampanye virtual
Tingginya pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang terjadi saat kampanye tak terlepas dari minimnya kesadaran dan penyesuaian yang dapat dilakukan para paslon. Data Bawaslu menyebutkan, pada minggu awal masa kampanye, pertemuan terbatas dan tatap muka secara langsung tak kurang dari 9.189 kegiatan. Di sepuluh hari kedua, jumlah itu meningkat lebih dari 50 persen hingga mencapai tak kurang dari 16.468 kegiatan.
Harus diakui, bukan perkara mudah beranjak dari model berkampanye konvensional sekalipun sedang berada dalam ancaman Covid-19. Hampir sebulan berjalan, hanya sekitar 4 persen daerah yang baru menyelenggarakan kampanye dalam bentuk virtual. Jumlah kampanye daring yang tercatat pada sepuluh hari pertama juga hanya 69 kegiatan. Pada pekan selanjutnya, aktivitas kampanye di ruang maya itu pun tak meningkat jauh, hanya 98 aktivitas. Jumlah itu bahkan tak bisa mengimbangi cara berkampanye dengan alat peraga yang telah menyentuh sekitar 500 aktivitas.
Baca juga: Hak Pilih dan Hak Hidup
Perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di setiap daerah membuat aktivitas kampanye secara daring kian sulit dipenuhi. Kampanye tatap muka secara langsung juga telah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan dalam pilkada atau pemilu.
Di luar faktor itu, pertemuan langsung antara paslon dan pemilihnya memang harus dilakukan akibat infrastruktur untuk melakukan kampanye secara daring belum mendukung. Kementerian Dalam Negeri pun pernah menyatakan bahwa daerah dengan kondisi jaringan internet buruk tak dituntut melakukan kampanye secara virtual asalkan keseluruhan prosesnya tetap dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan.
Dalam pemetaan kerawanan terkait dengan kelayakan infrastruktur teknologi dan informasi yang dilakukan Bawaslu, hanya sebagian kecil yang dapat dikategorikan memiliki dukungan infrastruktur layak. Dari 261 kabupaten dan kota yang menyelenggarakan pilkada, hanya 88 daerah dapat dikatakan
layak infrastruktur. Untuk di tingkat provinsi, bahkan tak ada satu pun dari sembilan daerah yang laik infrastruktur teknologi dan informasi.
Baca juga: Kandidat Makin Agresif Pengaruhi Pemilih Saat Berkampanye
Jika dilihat, kendala-kendala yang dihadapi terkait dengan jaringan komunikasi virtual ini tak hanya dialami daerah di luar Pulau Jawa. Sebagian daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten masih ada yang belum tersentuh jaringan internet.
Pengetatan aturan berkampanye bukanlah untuk menghambat berlangsungnya hajatan demokrasi di daerah. Dinamika yang terjadi selama kampanye ini menjadi pelajaran besar untuk menuntaskan seluruh rangkaian Pilkada 2020 dengan lebih baik.
Apa yang terjadi pada masa kampanye ini adalah konsekuensi atas keputusan untuk melanjutkan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Penting untuk disadari bahwa keputusan itu tak hanya untuk memenangkan hak kita dalam merayakan demokrasi, tetapi juga hak agar tetap sehat dan terhindar dari Covid-19. (Litbang Kompas)