Mewaspadai ”Tsunami” Katarak di Indonesia
Katarak atau kekeruhan lensa mata menjadi penyebab utama kebutaan di Indonesia. Padahal, hampir 95 persen lebih katarak bisa diatasi lewat operasi.
Kebutaan masih menjadi ancaman serius di Indonesia sejalan dengan terus bertambahnya populasi penduduk lanjut usia. Kebutaan tersebut terutama disebabkan oleh katarak.
Setiap Kamis minggu kedua Oktober merupakan momen peringatan World Sight Day (Hari Penglihatan Sedunia). Momen ini penting karena mengingatkan kita bahwa kebutaan dan gangguan penglihatan masih menjadi masalah krusial bagi sejumlah negara.
Tepat 10 tahun lalu, tema peringatannya ialah ”Countdown 2020”. Kata countdown dimaksudkan sebagai batas tahun saat penduduk dunia terhindar dari masalah kebutaan serta diperolehnya hak memiliki penglihatan optimal (Kompas, 19 Oktober 2010). Tahun ini temanya ialah ”Hope in Sight” yang bermisi memastikan semua orang mendapat akses penglihatan.
Mengapa kebutaan menjadi problem krusial? Sepuluh tahun lalu, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), total penderita kebutaan di seluruh dunia tercatat 40-45 juta orang.
Namun, hingga tahun 2018, populasi penduduk yang mengalami kebutaan melesat hingga 253 juta orang, terbagi atas 36 juta warga yang mengalami kebutaan dan 217 juta orang menderita gangguan penglihatan sedang hingga berat. Studi dari Bourne dan Flaxman tahun 2017 yang dimuat dalam The Lancet Global Health bahkan memprediksi populasi penderita gangguan penglihatan bisa mencapai 115 juta orang pada 2050.
Hampir 90 persen di antaranya terjadi di sejumlah negara miskin dan berkembang. Adapun 75 persen penyebabnya dikategorikan sebagai kebutaan yang bisa dihindari (avoidable blindness).
Kebutaan di Indonesia
Posisi Indonesia, sampai tahun 2015, termasuk dalam lima negara dengan gangguan penglihatan terbanyak bersama China, India, Pakistan, dan Amerika Serikat. Kondisi ini merujuk pada publikasi Situasi Gangguan Penglihatan dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan tahun 2018.
Dalam laporan tersebut, salah satu data penting didapat dari Survei ”Rapid Assessment of Avoidable Blindness” (RAAB). Survei berbasis populasi penderita usia 50 tahun ke atas (2014-2016) ini memperlihatkan prevalensi kebutaan di 15 provinsi di Indonesia mencapai 3,0 persen. Sementara prevalensi kebutaan akibat katarak mencapai 1,9 persen.
Rata-rata kebutaan di Indonesia terjadi akibat katarak, kelainan refraksi, glaukoma, retinopati diabetikum, Retinopathy of Prematurity (RoP), dan low vision. Penduduk Indonesia yang menderita katarak rata-rata 15 tahun lebih awal dibandingkan dengan negara-negara maju.
Padahal, katarak menjadi salah satu indikator penting kemajuan kesehatan mata di suatu negara. Dalam paparan ”Vision 2020, Right to Sight” kerja sama WHO dengan The International Agency for the Prevention of Blindness, terdapat tiga indikator penting yang mengukur kemajuan kesehatan mata.
Dua indikator meliputi prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan serta jumlah tenaga kesehatan mata. Indikator ketiga yang juga penting ialah jumlah operasi katarak (yang bisa berupa angka CSR/cataract surgical rate dan CSC/cataract surgical coverage).
Tsunami katarak
Katarak atau kekeruhan lensa mata menjadi penyebab utama kebutaan di Indonesia. Masih merujuk publikasi survei RAAB dari Pusdatin Kemenkes tahun 2018, hampir 80 persen kebutaan disebabkan penyakit ini.
Umumnya penyakit ini diakibatkan faktor, seperti proses degeneratif, kongenital (kelainan bawaan, termasuk dalam perkembangan janin). Katarak dapat juga terjadi akibat efek samping obat-obatan, penyakit diabetes melitus, trauma, toksin, terpapar intensif oleh sinar UV, asap rokok, dan beberapa penyakit lainnya.
Baca juga: Risiko Gangguan Penglihatan Berpotensi Meningkat, Kurangi Pemakaian Gawai pada Anak
Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) dr M Siddik pernah mengungkapkan, 90 persen masalah gangguan penglihatan terdapat di wilayah penduduk berpenghasilan rendah. Selain itu, 82 persen kebutaan terjadi pada usia 50 tahun ke atas.
Angka 80 persen itu sebetulnya bisa dicegah dan ditangani. Namun, biaya untuk penanganannya mahal. Sebagai gambaran, pengobatan untuk risiko-risiko kebutaan secara umum di dua bola mata bisa menghabiskan biaya Rp 170 juta-Rp 196 juta.
Operasi katarak bisa menghabiskan belasan hingga puluhan juta rupiah, tergantung dari kondisi dan layanan. Hal ini belum menghitung biaya tidak langsung kerugian yang timbul dari hilangnya produktivitas akibat katarak. Jika kondisi ini dibiarkan, menurut dr M Siddik, pada masa mendatang sangat mungkin terjadi ”tsunami” katarak.
Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan jika melihat usia harapan hidup (UHH). Lima tahun ke depan, populasi penduduk Indonesia berusia di atas usia 50 tahun akan naik sekitar 25 persen.
Melihat proyeksi UHH itu, bisa dipastikan populasi penderita katarak sangat berpotensi meningkat. Peningkatan UHH akan berdampak pada bertambahnya penyakit degeneratif, seperti katarak, diabetes melitus (DM), dan glaukoma.
Takut dioperasi
Secara medis, hampir 95 persen lebih katarak bisa diatasi lewat operasi. Dalam Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia 2017-2030, disebutkan target ideal ialah 2.000 sampai 3.000 tahun 2030, sementara hingga 2016 baru dicapai sekitar 1.600.
Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa angka kebutaan, dalam hal ini akibat katarak, tetap tinggi? Padahal, berbagai operasi katarak gratis sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, militer, maupun organisasi dan lembaga swasta.
Baca juga: ”Backlog” Katarak di NTB Tinggi
Rupanya persepsi masyarakat tentang katarak masih bermasalah. Berdasarkan survei RAAB 2014-2016, ada sejumlah alasan mengapa warga belum tentu mau dioperasi, mulai dari merasa tidak perlu, biaya, takut (dioperasi), hingga tidak ada akses pengobatan.
Faktor biaya, terutama bagi masyarakat tak mampu, seharusnya tidak menjadi masalah karena ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Operasi katarak juga tak selalu harus dilakukan dengan teknologi tercanggih.
Informasi tentang pascaoperasi yang simpang siur di masyarakat kerap kali menjadi masalah bagi pelaksana operasi, apalagi jika hal itu disampaikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Hal lain yang sering tidak disadari penderita ialah kondisi penyakit penyerta (komorbid).
Artinya, walaupun sudah dioperasi, orang belum tentu bisa melihat karena komorbid itu atau memang ada komplikasi lain. Menurut dr Umar Mardianto, SpM(K), keberhasilan (operasi) tak lepas dari komorbid itu.
”Angka ketidakberhasilan itu kecil sekali, hanya 4 persen, bahkan di negara maju bisa nol persen,” ungkap Ketua Seksi Penanggulangan Buta Katarak Persatuan Dokter Spesialis Mata (Perdami) ini.
Umar mengatakan, katarak baru satu gangguan di lensa mata, sementara masih ada kondisi lain yang juga bisa bermasalah, misalnya permukaan mata, bagian dalam, syaraf, bahkan pada otak.
Hal inilah yang bisa memicu kesalahan informasi ketika disampaikan oleh mereka yang menganggap negatif pengobatan katarak dan dipercaya begitu saja oleh penderita. (LITBANG KOMPAS)