Beragam cara dilakukan perusahaan untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19. Cara yang ditempuh antara lain mengurangi jam kerja, merumahkan karyawan, serta memberhentikan pekerja dalam waktu singkat.
Oleh
Wirdatul Aini
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memukul daya tahan tenaga kerja di Indonesia melalui serangkaian pemutusan hubungan kerja dan penurunan daya beli. Kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja di tengah pandemi menambah babak baru dalam permasalahan ketenagakerjaan.
Dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia kerja terlihat dari jumlah pekerja yang dirumahkan. Data Kementerian Ketenagakerjaan per 31 Juli 2020 menunjukkan, jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat terdampak Covid-19 mencapai lebih dari 3,5 juta orang.
Kondisi operasional dunia usaha yang lesu membuat perusahaan merumahkan karyawannya. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 10-26 Juli 2020 menunjukkan pengaruh pandemi Covid-19 yang memukul dunia usaha. Survei memperlihatkan, pendapatan 84 persen usaha mikro-kecil dan 82 persen usaha menengah-besar turun.
Berdasarkan survei BPS pada 7 Oktober, Covid-19 membuat 17,06 persen perusahaan merumahkan tenaga kerja mereka tanpa memberikan bayaran. Bahkan, 12,83 persen perusahaan memberhentikan tenaga kerjanya dalam waktu singkat.
Beragam cara dilakukan perusahaan untuk mengurangi dampak yang kian dalam. Cara yang ditempuh antara lain mengurangi jam kerja, merumahkan karyawan, serta memberhentikan pekerja dalam waktu singkat. Proporsi terbanyak perusahaan yang mengurangi pegawai di tengah pandemi ialah industri pengolahan, konstruksi, serta akomodasi makan dan minum.
Tren penurunan pendapatan dunia usaha yang disertai kebijakan pengurangan tenaga kerja terjadi bersamaan waktunya dengan kontraksi perekonomian nasional akibat pandemi serta penurunan investasi asing.
Kontribusi investasi
Realisasi penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) sepanjang kuartal II-2020 turun 6,9 persen (year on year) menjadi Rp 97,6 triliun. Adapun dari aspek pertumbuhan ekonomi, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II-2020 turun menjadi minus 5,32 persen. Pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi kuartal III- 2020 berada pada kisaran minus 2,1 persen hingga 0 persen.
Padahal, sektor konsumsi dan investasi merupakan penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2019, dari 5,02 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, sumber tertinggi dari sektor konsumsi dan investasi, yakni, 2,73 persen dan 1,47 persen. Demikian pula tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, dua variabel ini penting untuk mendorong perekonomian domestik.
Penurunan permintaan akibat pelemahan daya beli dapat berimbas pada kegiatan produksi dan investasi. Rangkaian persoalan ini menuntut efektivitas intervensi pemerintah, terutama dalam menangani peningkatan kasus Covid-19 agar pemulihan ekonomi tidak berjalan lambat. Hasil diskusi ekonomi Kompas pada Agustus lalu merunut tiga masalah utama yang menghambat penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Hambatan itu meliputi rantai birokrasi, pengawasan, dan potensi penyalahgunaan dana.
Masalah pertama merujuk pada proses administrasi dan regulasi yang panjang sebagai salah satu penyebab lambannya penanganan.
Untuk menarik investasi, pemerintah dapat mencermati beberapa hal terkait iklim investasi nasional. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2018, investasi di Indonesia memang tidak ideal, tetapi juga tidak dalam posisi yang buruk.
Kontribusi investasi dalam produk domestik bruto Indonesia terus meningkat dan menjadi yang tertinggi di ASEAN. Pada 2018, pertumbuhan investasi di Indonesia sudah tinggi, bahkan lebih tinggi atau hampir sama dibandingkan dengan negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Hal yang perlu menjadi catatan, meskipun investasi di Indonesia cenderung meningkat, kemampuan investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melemah. Kondisi ini tecermin dari incremental capital output ratio (ICOR).
Dalam beberapa tahun terakhir, ICOR Indonesia semakin besar. ICOR Indonesia sebesar 6,4 pada tahun 2017, lalu 6,3 pada 2018, dan 6,6 pada 2019. Tingginya nilai ICOR ini menjelaskan bahwa investasi semakin tidak produktif. Selain itu, serapan investasi terhadap tenaga kerja juga cenderung turun dari 2013 hingga 2019.
Kondisi ini berarti penambahan investasi di Indonesia ternyata tidak diikuti dengan permintaan tenaga kerja secara signifikan. Artinya, dari sisi ekonomi, penggunaan investasi kurang tepat jika digunakan sebagai variabel utama meningkatkan lapangan pekerjaan.
Persoalan lain investasi di Indonesia ialah minimnya faktor-faktor yang mendukung kemudahan berbisnis untuk menarik investor. Apabila hal ini tidak diatasi, sulit tercipta peningkatan investasi dan lapangan kerja.
UU Cipta Kerja
Berdasarkan data survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2017, faktor penghambat utama investasi di Indonesia adalah permasalahan korupsi (13,8), inefisiensi birokrasi (11,1), akses pada pembiayaan (9,2), infrastruktur yang tidak memadai (8,8), dan kebijakan yang tidak stabil (8,6).
Survei ini menunjukkan bahwa Indonesia harus lebih dahulu menyelesaikan faktor utama tersebut dibandingkan masalah ketenagakerjaan. Pada survei ini, permasalahan ketenagakerjaan masih menempati posisi ke-11. Data tersebut menunjukkan, permasalahan utama investasi di Indonesia meliputi korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Justru penguatan kelembagaan pemberantasan korupsi merupakan fokus prioritas yang dapat dilakukan untuk menarik investasi asing.
Kehadiran UU Cipta Kerja di tengah pandemi menambah babak baru dalam permasalahan ketenagakerjaan. Pemerintah bermaksud memberantas berbagai penghalang dalam perizinan, terutama korupsi perizinan dan inefisiensi yang ditimbulkannya.
Namun, sejumlah pasal disinyalir melemahkan hak-hak pekerja di hadapan pengusaha. Dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kondisi pengupahan, sistem kerja, dan pemutusan kerja lebih lemah. Hal ini berisiko membuka peluang PHK lebih luas dalam jangka pendek.
Sebagai contoh, status karyawan tetap masih ada dalam Pasal 56 RUU Cipta Kerja, tetapi bisa memicu pengalihan secara besar-besaran status pekerja dari pekerja tetap menjadi karyawan kontrak. Para pengusaha yang semena-mena memanfaatkan UU itu bisa membuat kondisi ketenagakerjaan semakin buruk, yang ujung-ujungnya memengaruhi iklim investasi. (LITBANG KOMPAS)