Pilkada Sulteng Tak Bertumpu pada Parpol
Pilkada di Sulteng mencatatkan rekam jejak yang dinamis. Sejarah mencatat, kekuatan parpol bukan satu-satunya aset untuk mendulang suara.
Pilkada Sulawesi Tengah memanggungkan dua kutub modal yang berseberangan. Peluang kemenangan masih berimbang dengan kekuatan yang tidak hanya bertumpu pada dukungan partai politik.
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun ini diikuti dua pasangan calon. Mereka adalah pasangan Mohamad Hidayat Lamakarate-Bartholomeus Tandigala dan pasangan Rusdy Mastura-Ma’mun Amir.
Pasangan pertama merupakan kontestan baru di panggung politik Sulteng. Hidayat dan Tandigala adalah pejabat tinggi di pemerintah daerah. Hidayat merupakan Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng sejak 2017, sedangkan Tandigala merupakan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulteng sejak 2017. Keduanya berumur di bawah 60 tahun hingga relatif lebih muda dibandingkan dengan rivalnya.
Sementara itu, Rusdy dan Amir merupakan politikus kawakan. Keduanya punya pengalaman memimpin di daerah. Selain pernah menjadi Wali Kota Palu selama dua periode (2005-2015), Rusdy juga kontestan di Pilkada Sulteng 2015. Kala itu, ia kalah di beberapa daerah, seperti Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut. Tak mengherankan jika kini Rusdy menggandeng tokoh Banggai. Wakilnya kali ini, Ma’mun Amir, adalah Bupati Banggai dua periode (2005-2015).
Pasangan Hidayat-Tandigala diusung Partai Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang masing-masing memiliki enam kursi di DPRD Provinsi Sulteng. Dengan kata lain, paslon ini disokong 26,67 persen kekuatan di Parlemen.
Sementara itu, pasangan Rusdy-Amir diusung oleh koalisi Nasdem, Golkar, Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hanura, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai politik (parpol) pendukung Rusdy-Amir memiliki 33 kursi DPRD Sulteng atau 73,33 persen kekuatan parlemen.
Kedua pasangan merepresentasikan dua kutub modal yang berseberangan. Hidayat-Tandigala adalah petarung baru, berpengalaman dalam birokrasi, dan mendapatkan dukungan dari parpol yang sedang menguat di Sulteng.
Adapun Rusdy-Amir adalah petarung lama, berpengalaman di daerah dan didukung parpol dengan pemilik kursi mayoritas di Sulteng. Mengingat sejarah demokrasi provinsi itu, kedua pasangan masih punya kans yang sama untuk mendulang suara.
Rekam jejak
Pilkada di Sulteng mencatatkan rekam jejak yang dinamis. Sejarah mencatat, kekuatan parpol bukan satu-satunya aset untuk mendulang suara. Pada Pilkada 2011, misalnya, kontestasi yang diikuti lima pasangan itu tidak hanya menjadi pertarungan mesin parpol, tetapi juga bermainnya politik kekerabatan.
Pada Pilkada 2011 itu, kekuatan relatif terdistribusi merata jika dilihat dari dukungan parpol. Pasangan Aminuddin Ponulele-Luciana Baculu didukung Golkar dengan 9 kursi. Sementara Sahabuddin Mustap-Faisal Mahmud didukung 16 parpol nonparlemen. Sementara itu, Longki Djanggola-Sudarto didukung Hanura, Gerindra, PPP, PKPB, Patriot, dan PDP dengan 10 kursi. Paslon keempat, Rendy Lamadjido-HB Paliudju, didukung PAN, PDS, PKPI, dan PBR dengan 10 kursi. Terakhir, Achmad Yahya-Ma’ruf Bantilan, didukung Demokrat dan PKB dengan total 7 kursi di DPRD Sulteng.
Pilkada 2011 adalah gelanggang bagi sosok-sosok dengan modal politik dan kultural yang kuat. Nama-nama yang berlaga didominasi oleh mantan gubernur, bupati, atau anggota legislatif. Sejumlah calon juga berasal dari klan besar, seperti Ponulele, Paliudju, Lamadjido, Bantilan, dan Baculu.
Pemerhati sosial-politik Universitas Tadulako, Palu, Tahmidy Lasahido, menyebutkan, politik kekerabatan berperan penting dalam keputusan memilih. Ikatan-ikatan keluarga masih dimainkan untuk membangun kepercayaan, simpati, atau sekadar kedekatan pemilih terhadap calon (Kompas, 2/3/2011).
Akibatnya, meski dukungan parpol relatif setara, hasil perolehan suara bisa sangat timpang. Dengan persaingan lima pasangan pada Pilkada 2011, pasangan Longki dan Sudarto menang telak dengan mendulang 54,43 persen suara. Sementara pasangan lain hanya mendapatkan 8-16 persen suara.
Longki berasal dari klan Djanggola yang berarti raja dari Kerajaan Palu. Rumpun kekerabatannya tersebar di Kota Palu, Sigi, Donggala, dan sebagian wilayah Parigi. Longki pernah menjabat Bupati Parigi Moutong periode 2008-2013.
Sementara wakilnya, Sudarto, merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014 dari daerah pemilihan Sulteng. Ia pun pernah menjadi Bupati Kabupaten Banggai (1996-2005) (Kompas, 2/3/2011).
Pada Pilkada 2015, faktor klan tidak lagi tampak dalam dinamika politik Sulteng. Politik kekerabatan terkikis. Hanya ada dua pasangan yang bertanding, yaitu Longki-Sudarto melawan Rusdy Mastura-Ihwan Datu Adam. Pasangan Longki-Sudarto diusung Gerindra, PAN, PKB, dan PBB dengan total kekuatan 13 kursi DPRD Sulteng. Sementara Rusdy-Ihwan diusung Partai Golkar dan Hanura dengan kekuatan 11 kursi DPRD Sulteng. Saat itu, pasangan Longki-Sudarto menang dengan perolehan suara 54,52 persen.
Dominasi Golkar
Konstelasi politik di Sulteng tidak dapat dipisahkan dari Partai Golkar. Partai ini mendominasi perolehan suara sejak 1971 hingga masa reformasi. Namun, pada era reformasi, meski masih menjadi partai pemenang di Sulsel, dominasi Golkar sudah mulai tertandingi.
Bahkan, pada Pemilu 2019, kekuatan Golkar setara dengan Nasdem yang mendapatkan jumlah kursi yang sama, yaitu tujuh kursi atau 15,6 persen dari Parlemen yang terdiri atas 45 kursi.
Baca juga : Sulteng Mulai Ekspor Langsung Tuna ke Jepang
Merunut ke belakang, pada Pemilu 2004, Golkar memperoleh 19 kursi DPRD Sulteng. Pada 2009, Golkar kehilangan 10 kursi atau hanya mendapat 9 kursi. Menyusul di peringkat kedua adalah Partai Demokrat dengan 6 kursi.
Adapun kelompok parpol tengah dengan perolehan kursi masing-masing empat, yakni PAN, PKS, dan PDI-P. Pada Pemilu 2014, Golkar tetap unggul, tetapi hanya mampu menangi 7 kursi. Sementara tiga parpol mendesak ke atas dengan perolehan 6 kursi, yakni Gerindra, Demokrat, dan PDI-P.
Dominasi Golkar benar-benar tertandingi pada Pemilu 2019. Partai ini hanya mampu meraih 7 kursi, setara dengan pencapaian Partai Nasdem. Sementara Partai Gerindra dan PDI-P bertahan dengan enam kursi.
Baca juga : Sempat Serang Polisi, Dua Anggota MIT Tewas Ditembak di Poso
Meski kursi yang dimiliki di DPRD Sulteng terus berkurang, Golkar tetap partai terbesar di provinsi itu. Sayangnya, Golkar tidak pernah berhasil memboyong pasangan yang diusung pada pilkada ke kursi gubernur dan wakil gubernur.
Pada Pilkada 2006, Golkar gagal memenangkan Aminuddin Panulele-Sahabuddin Mustafa. Pasangan ini hanya memperoleh 25,40 persen suara atau berada di urutan ketiga dari empat kontestan.
Pada Pilkada 2011, Golkar kembali mengusung Aminuddin Ponulele yang berpasangan dengan Luciana Baculu. Angka dukungan menurun dari pilkada sebelumnya dan hanya mendapat 16,18 persen suara.
Pada Pilkada 2015, Golkar berkoalisi dengan Partai Hanura mengusung Rusdy Mastura-Ihwan Datu Adam. Meski tetap kalah, pasangan ini mampu meraih 45,48 persen suara. Melihat ada peningkatan suara yang signifikan ketika berkoalisi, kini Golkar tergabung dalam koalisi partai besar dengan kembali mengusung Rusdy Mastura yang berpasangan dengan Ma’mun Amir. Hal ini menjadi potret bahwa parpol bukan satu-satunya modal untuk meraih suara di Sulteng. Persona calon juga harus ditonjokan melalui prestasi dan kredibilitas. Dinamika ini membuat hasil pilkada di Sulteng bisa mengejutkan.
LITBANG KOMPAS