”This Land Is Our Land” dan Alasan bagi Negara-negara untuk Menerima Migran
Migrasi adalah cara untuk bertahan hidup. Suketu Mehta mengajak pembacanya untuk merefleksikan kembali perjuangan para migran internasional dan mengapa mereka layak diterima sebagai saudara.
Belum ada dalam sejarah migrasi massal seperti pada abad ke-21 ini. Tidak pernah ada pula penolakan besar-besaran terhadap perpindahan manusia seperti saat ini. Atas dasar itu, buku ini menyajikan fakta ironi penyebab migrasi massal, penolakan migran, dan alasan mengapa mereka harus diterima.
Para migran bukanlah penjahat. Mereka yang berjumlah 271,6 juta orang itu bermigrasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
”Saya tidak mengajak di negara-negara dunia untuk membuka batas wilayah. Saya mengajak mereka untuk membuka hati. Para migran adalah orang biasa yang seharusnya tidak perlu berpindah tempat. Namun, cobaan berat dalam perjalanan dan pengorbanan untuk keluarga mereka telah menjadikan para migran sebagai pahlawan.”
Demikian Suketu Mehta dalam bukunya, This Land Is Our Land: An Immigrant’s Manifesto (2019), mengajak pembacanya untuk merefleksikan kembali perjuangan para migran internasional dan mengapa mereka layak diterima. Migran internasional adalah seseorang yang tinggal atau hidup di luar negara asal kelahirannya.
Pesan ini ditujukan juga sebagai kritik pribadi Mehta atas penolakan negara-negara kaya yang menutup wilayahnya untuk penduduk dari negara miskin. Kebijakan itu mengingkari fakta-fakta masa lampau bahwa justru negara-negara kaya inilah yang menyebabkan para migran harus terus berpindah tempat.
Meluruskan isu ini, Mehta mengingatkan kembali bahwa migrasi adalah sesuatu yang terus terjadi sejak zaman dahulu hingga sekarang. Bedanya, saat revolusi industri muncul, manusia semakin jauh bermigrasi dan jumlah migran semakin banyak.
Dalam periode 1960 hingga 2017, total jumlah migran meningkat tiga kali. Pada pertengahan abad ini, jumlah migran diperkirakan mencapai 72 persen dari pertumbuhan populasi di Amerika Serikat dan lebih dari 78 persen di Australia dan Inggris. Kini 3,4 persen penduduk dunia atau satu dari 29 manusia di bumi ini hidup di negara yang berbeda dengan tanah kelahirannya.
Migrasi besar-besaran menjadi fenomena kependudukan di abad ke-21 ini. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat 271,6 juta orang di seluruh dunia yang menjadi migran hingga 2019. Migrasi massal tersebut naik dari sebelumnya 153 juta orang pada 1990.
Dengan kata lain, Mehta ingin meyakinkan pembaca bahwa migrasi manusia tidak dapat dihindari. Migrasi berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia. Fenomena migrasi massa di era abad ke-21 ini akan mengubah tatanan politik, ekonomi, budaya, dan lingkungan.
Untuk itulah, Mehta mengajak pembaca untuk menilik kehidupan para migran yang sebenarnya berbeda dari yang publik tahu. Lebih mendalam, dalam bukunya, Mehta mengingatkan kembali bahwa bermigrasi adalah hak yang dimiliki setiap manusia secara bebas.
Mengapa bermigrasi?
Kehadiran para migran tidak bisa lepas dari peristiwa-peristiwa penting dunia. Mehta menguraikan faktor-faktor munculnya para migran berdasarkan babak-babak kehidupan penduduk dunia di masa lampau.
Menurut dia, migrasi oleh para migran disebabkan oleh empat hal, yaitu kolonialisme, kolonialisme baru, perang, dan perubahan iklim. Namun, aktor yang bertanggung jawab di balik empat hal tersebut adalah negara-negara kaya.
Dengan bahasa yang sarat akan kritikan, Mehta mengakui bahwa bukunya ini ditulis dalam kesedihan dan kemarahan tetapi juga penuh dengan harapan. ”Saya marah akan sikap dari negara-negara kaya yang telah merampas masa depan orang-orang miskin. Sekarang mereka malah berdebat melawan gerakan masyarakat yang tidak bertujuan untuk menyerang negara tetapi hanya untuk sekedar mencari pekerjaan,” tulis Mehta (Bab 1 Bagian 1).
Kemarahan itu menegaskan fakta-fakta yang dihimpunnya atas tindakan negara kaya di masa lampau kepada negara-negara miskin sehingga mereka terpaksa bermigrasi. Misalnya akibat kolonialisme, sumber daya negara-negara miskin habis untuk memakmurkan negara kaya. Yang miskin bertambah miskin yang kaya bertambah kaya.
Selain menghabiskan sumber dayanya, negara penjajah juga menerapkan politik adu domba sehingga memecah-mecah batas-batas negara. Sebanyak 40 persen batas wilayah negara di dunia saat ini adalah buatan dari Inggris dan Perancis.
Lebih parah lagi jika melihat peta Afrika dengan batas-batas wilayah negara berupa garis lurus. Batas wilayah tersebut adalah hasil pemetaan Perancis ketika negara ini meninggalkan Afrika. Batas wilayah ini dibuat tanpa melihat susunan suku dan budaya Afrika.
Akibatnya, terdapat 357 kelompok yang terpisah karena batas wilayah ini. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah-wilayah tersebut rawan konflik antaretnis, antarsuku, antarbudaya. Wilayah menjadi tidak aman, penduduk meninggalkan wilayahnya untuk mencari tempat tinggal yang layak.
Negara-negara bekas jajahan juga memiliki generasi keturunan penjajah. Mereka adalah hasil perkawinan antara negara penjajah dan penduduk pribumi. Namun, sering kali mereka dilupakan hingga beberapa generasi selanjutnya merasakan penolakan atas kedatangan mereka di negeri asal keluarganya.
Ini hanyalah satu faktor yang, menurut Mehta, melatarbelakangi perpindahan penduduk dunia ini. Masih ada peperangan dan perubahan iklim yang sebenarnya terjadi hanya untuk memuaskan kekuasaan dan menimbun kekayaan negara-negara kaya.
Kondisi dan situasi hidup yang tidak layak mendorong penduduk untuk keluar wilayahnya demi mencari kehidupan lebih baik. Mereka pun terpaksa meninggalkan keluarga dan memulai hidup baru yang sering kali berbeda dengan gaya hidup dan budaya sehari-hari. Itu pun jika negara tujuan menerima mereka.
Dengan demikian, jika negara-negara maju yang menyebabkan kerusakan dan kekacauan negara-negara asal migran menutup wilayahnya untuk para migran, bukankah sangat ironis?
Menerima migran
Dalam buku setebal 320 halaman ini, Mehta dengan pendekatan humanisme berhasil menyajikan cerita-cerita para migran. Didukung oleh pengalaman keluarga besarnya yang juga migran dari India, ia mampu mengisahkan setiap ceritanya dengan mendalam. Meskipun demikian, pembaca perlu sabar mengikuti alur buku ini karena ada banyak cerita yang disajikan.
Salah satu contoh kisah haru yang ia tuliskan adalah kisah di Friendship Park, sebuah taman di perbatasan California dan Meksiko. Taman ini merupakan tempat pertemuan semi resmi antara warga Amerika Serikat dan Meksiko. Pertemuan warga antarnegara ini dibatasi pagar kawat tebal sehingga hanya bisa bertemu di balik sisi pagar itu.
Dengan balutan kisah-kisah kelompok migran dan data dari berbagai penelitian, Mehta mendorong pembaca, pemerintah negara-negara, dan lembaga dunia untuk melihat para migran dengan cara pandang baru. Sebab, selama ini isu-isu keliru tentang para migran dipertontonkan kepada masyarakat sehingga masyarakat menolak mereka.
Baca juga: Pengungsi Tanggung Jawab Siapa?
Salah satu penyebabnya adalah narasi keliru oleh para pemimpin populis. ”Negara Barat hancur bukan karena migran, melainkan karena ketakutan akan kedatangan migran. Mereka (para populis) berhasil meyakinkan masyarakat bahwa tantangan terbesar negara mereka bukan pemerintahan tirani, ketidakadilan, atau perubahan iklim, melainkan imigrasi (Bab III Bagian 9).”
Dalam bab terakhir bukunya, Mehta membalikkan isu-isu keliru itu dengan fakta-fakta para migran. Migran juga tidak meningkatkan kriminalitas, justru tingkat kriminalitas wilayah yang memiliki banyak migran lebih rendah dibandingkan wilayah yang homogen. Migran tidak mengambil pekerjaan penduduk asli, mereka malah bekerja di sektor-sektor yang mana penduduk asli tidak mau menjadi pekerjanya.
Migran juga menyumbang ekonomi negara yang ditinggali dan negara yang ditinggalkan. Para migran membantu pertumbuhan negara-negara maju yang demografi penduduknya tidak seimbang. Para lansia tidak dapat berkontribusi banyak terhadap ekonomi negara.
Sementara migran usia produktif dapat memberi pemasukan terhadap negara. Mehta meyakinkan kita ”jika kamu ingin membuat ekonomi negara tumbuh, persilakan lebih banyak migran masuk dan sahkan mereka yang sudah tinggal di sini (Bab IV Bagian 16).”
Keberagaman
Pada akhir bukunya, Mehta hanya menawarkan cara pandang baru tentang siapa kelompok migran. Para migran, menurut dia, adalah bukan orang yang masuk satu arah ke sebuah negara dan tinggal di dalamnya. Mereka adalah orang yang senantiasa transit antara dua atau lebih ”tempat”, bukan bangsa.
Hal ini didasari oleh argumen Mehta bahwa tidak selalu orang yang tinggal di negara baru akan menghayati budaya atau kebangsaan negara itu. Sering kali para migran masih menjunjung tinggi budaya dan bangsanya.
Karena itu, Mehta mengajak pembaca untuk tidak merampas hak para migran. Mereka bebas berbahasa dengan bahasanya, mereka bebas merayakan peringatan atau pesta-pesta agamanya, mereka bebas membentuk komunitas yang menyelamatkan mereka selama tinggal di negara yang baru. Keberagaman dengan hadirnya para migran adalah cara kita melihat dunia yang luas dengan lebih dekat.
Sekali lagi Mehta menyadarkan pembacanya bahwa para migran bukanlah perampok, teroris, atau beban dunia. Mereka hanyalah manusia yang ingin mencari kehidupan yang lebih layak. Dan migrasi adalah cara mereka bertahan hidup. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: ”We are the Weather” dan Upaya Menyelamatkan Bumi dengan Mengurangi Konsumsi Daging