Masyarakat Butuh Panutan Disiplin Protokol Kesehatan
Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan Covid-19 membutuhkan teladan dan panutan dari para pemimpinnya.
Disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi kunci pengendalian penularan Covid-19. Dari sisi masyarakat, hal ini membutuhkan kepatuhan untuk tertib dalam bermasker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Di sisi lain, masyarakat juga butuh teladan agar konsisten menjadikan perilaku hidup sehat tersebut sebagai sebuah identitas baru.
Kampanye mencegah penularan wabah Covid-19 terus dilakukan pemerintah mengingat masih masifnya angka penularan Covid-19 di Indonesia. Upaya memupuk kesadaran warga tersebut dilakukan dengan ragam sosialisasi untuk menggunakan masker, rajin mencuci tangan, dan melakukan jaga jarak sosial di tengah masyarakat.
Survei Badan Pusat Statistik pada 7-14 September 2020 mencatat besarnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Mayoritas responden (92 persen) terlihat sudah menggunakan masker untuk antisipasi penularan virus korona. Sementara untuk kegiatan mencuci tangan, tiga dari empat responden menyatakan rutin mencuci tangan.
Kesadaran warga untuk menerapkan protokol kesehatan memakai masker di ruang publik juga terlihat dari hasil survei rutin YouGov dan Imperial College London. Survei dilakukan sejak 21 Februari sampai 24 September 2020 di 26 negara, termasuk Indonesia. Hasil riset mencatat, 86 persen penduduk Indonesia memakai masker ketika berada di ruang publik.
Dua kajian yang memotret perilaku masyarakat dalam merespons protokol kesehatan tersebut menjadi gambaran tumbuhnya kewaspadaan masyarakat mencegah penularan infeksi korona. Meski demikian, tumbuhnya kesadaran masyarakat belum dapat sepenuhnya menekan kasus Covid-19 di Indonesia.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengatakan, kesadaran memakai masker pelindung seharusnya diimbangi juga dengan sikap disiplin dan konsistensi penggunaan. Penggunaan masker yang tidak maksimal saat beraktivitas dipengaruhi oleh desain ataupun bahan masker yang tidak nyaman.
Akibatnya, masih banyak orang yang pakai masker hanya menutup hidung atau menutup mulut saja. Belum lagi banyak dijumpai bahan masker yang belum memenuhi kriteria aman dari penularan virus.
Aspek penentu
Penggunaan masker dan penerapan protokol kesehatan lain masih terus diperlukan sebagai bentuk partisipasi publik menekan wabah korona. Terlebih hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan pengobatan bagi pasien Covid-19. Upaya menumbuhkan kepatuhan membutuhkan peran bersama dari pemerintah sebagai regulator dan masyarakat.
Monica Pfeffer, Direktur The Australia and New Zealand School of Government (ANZSOG), mengungkap empat poin penentu keberhasilan kebijakan publik yang bersandar pada kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam menangkis penularan Covid-19.
Pertama, dari aspek efektivitas hukuman. Studi yang dilakukan Pfeffer menemukan fenomena, pemberlakukan hukuman yang bertujuan menimbulkan efek jera tidak dapat berjalan efektif seperti yang diharapkan. Ini terjadi karena pola pikir yang ada di benak warga adalah untuk menghindari sanksi, bukan kesadaran untuk mencegah penularan.
Fenomena ini terlihat ketika seorang warga tidak mengenakan masker dan mengetahui ada razia, ia akan cenderung menghidar karena takut pada sanksinya, bukan pada upaya pencegahan penularan penyakit.
Sanksi yang diberikan oleh pemerintah daerah di Indonesia beragam, mulai dari menyapu jalan, ikut menggali kubur dengan protokol Covid-19, hingga merenung dan berdoa di pusara para korban meninggal.
Sepanjang 14-20 September 2020, Kepolisian Daerah Metro Jaya menindak 46.134 pelanggar protokol kesehatan. Sanksi yang diberikan berupa teguran tertulis, kerja sosial, dan denda.
Penegakan hukum serupa juga pernah diberlakukan pada awal-awal pembatasan sosial diberlakukan pada April 2020. Hal ini memberikan gambaran bahwa sanksi belum sepenuhnya efektif dalam menggugah kesadaran warga. Perlu juga dipikirkan cara-cara persuasif agar semakin banyak warga patuh pada protokol kesehatan.
Aspek kedua adalah perlu ada motivasi dari dalam diri dan kemudahan mengikuti aturan. Motivasi diri dapat ditumbuhkan dengan menyentuh sisi afeksi seseorang. Salah satu yang sederhana adalah dengan keteladanan dan rasa sepenanggungan.
Pihak yang sepatutnya memberi teladan adalah para pemimpin, dalam hal ini semua elemen pemerintahan harus bersinergi. Kebijakan yang dibuat, pengambilan keputusan, dan tingkah laku para pemimpin selalu dilihat oleh warga. Kekompakan antarlembaga pemerintah dalam mengatasi pandemi menjadi nilai tambah di mata masyarakat.
Rasa simpati dapat tumbuh ketika pemimpin sungguh-sungguh memperjuangkan warganya. Setelah itu, timbul empati yang mewujud dalam kepatuhan berdasar motivasi ingin berpartisipasi membantu melewati krisis.
Tahap selanjutnya, dibuatkan seperangkat aturan yang sederhana, mudah dimengerti, dan mudah dilaksanakan. Protokol kesehatan 3M, misalnya, merupakan wujud aturan yang sederhana. Kembali lagi, aturan yang sederhana akan sulit terlaksana apabila tanpa rasa sepenanggungan dari segenap warga.
Aspek yang ketiga adalah mengantisipasi kendurnya semangat dan konsistensi warga dalam mengikuti protokol kesehatan. Saat ini, warga sudah mencapai fase kejenuhan setelah lebih dari enam bulan menerapkan cara hidup baru. Belum lagi, kondisi ini dibarengi dengan aturan yang semakin rumit, misalnya pemberlakuan denda progresif bagi pelanggar protokol kesehatan.
Apabila aspek kedua belum dapat terpenuhi, negara langsung dihadapkan pada aspek ketiga yang lebih sulit lagi menatanya. Aksi kucing-kucingan antara penegak kedisiplinan dan warga semakin banyak terjadi. Sama halnya dengan pelanggaran lalu lintas yang selama ini terjadi.
Aspek keempat, pemerintah dapat melakukan perubahan perilaku besar-besaran terhadap warganya jika menghindari pola pelarangan. Gaya penyampaian pesan dari pemerintah kepada masyarakat sebisa mungkin menghindari kalimat larangan, misalnya ”jangan lakukan” dan ”hentikan itu”.
Penyampaian pesan lebih efekif apabila dirumuskan dalam bentuk ajakan untuk berpartisipasi. Apa yang akan disampaikan perlu diramu dalam format pesan persuasif yang menyentuh sisi afeksi seseorang. Contohnya, ”lindungi keluarga Anda” dan ”selamatkan nyawa”.
Teladan
Poin-poin keberhasilan menerapkan kebijakan publik di atas memerlukan prasyarat keseimbangan dari sisi masyarakat dan sisi pelaksana kebijakan agar kebijakan dapat berjalan secara efektif.
Minggu-minggu terakhir ini, kasus korona yang terjadi di Indonesia masih menunjukkan tren penularan yang masif. Jumlah kematian akibat Covid-19 sudah melebihi 10.000 orang.
Memberikan hukuman yang bertujuan menimbulkan efek jera tidak dapat berjalan efektif seperti yang diharapkan.
Dalam kondisi ini, prasyarat keseimbangan dari pelaksana kebijakan diperlukan untuk meningkatkan upaya perlindungan wabah bagi warganya. Membuat imbauan, program, bahkan peraturan diperlukan sebagai pedoman melaksanakan kebijakan penerapan protokol kesehatan. Namun, upaya ini harus diikuti teladan oleh aparat negara dalam melaksanakan kebijakan tersebut.
Kasus pertunjukkan musik di Tegal, Jawa Tengah, pada 23 September 2020 oleh wakil ketua DPRD setempat menjadi salah satu contoh bahwa pejabat kurang peka dalam menumbuhkan kesadaran pada bencana wabah penyakit. Konser dangdut tersebut dihadiri kerumunan warga yang tidak menerapkan protokol kesehatan dengan tidak memakai masker dan tidak melakukan jaga jarak.
Peneliti LIPI, Hapsari Kusumaningdyah, menambahkan bahwa untuk dapat mewujudkan perubahan perilaku masyarakat perlu diadakan intervensi sosial. Gaya penyampaian persuasif dikedepankan daripada cara represif dengan berbagai macam hukuman. Intervensi yang disusun oleh pemangku kebijakan harus berdasar pada sains dengan tujuan menekan laju pandemi.
Secara universal, manusia akan memberi respons positif apabila diberi stimulus dalam bentuk pesan positif. Namun, jika sebaliknya, justru timbul perlawanan atau menarik diri dalam bentuk apatisme. Rumusan strategi ini perlu dikembangkan pemerintah untuk menambah tingkat pengetahuan masyarakat.
Diperlukan bentuk-bentuk komunikasi atau dialog yang mampu memikat hati masyarakat, menumbuhkan sikap empati, dan berujung pada kesadaran bersama untuk ambil bagian menyelesaikan krisis pandemi yang sedang dihadapi.
Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan masker di tempat publik memerlukan upaya yang cukup keras. Walau survei YouGov mencatat sebagian besar warga Indonesia sudah menggunakan masker saat ini, kepatuhan tidak muncul begitu saja. Hasil survei yang sama merekam minimnya kesadaran masyarakat pada awal munculnya wabah.
YouGov mencatat, tingkat kesadaran penduduk Indonesia menggunakan masker di tempat umum pada periode 21 Februari-9 Maret 2020 masih sebesar 47 persen. Artinya, hampir separuh masyarakat Indonesia pada awal penularan korona ke Indonesia belum sepenuhnya sadar untuk melakukan antisipasi pencegahan terhadap infeksi. Tingkat kesadaran tersebut pada periode yang sama bahkan masih di bawah negara-negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Baca juga : Obat Herbal dan ”Covidiot”
Di tengah pandemi yang masih mengancam keselamatan warga, agenda pilkada di sembilan provinsi dan 261 kabupaten/kota mulai memasuki tahapan kampanye. Perhelatan politik lokal tersebut akan bermuara pada pemilihan calon-calon kepala daerah yang bakal menjadi pemimpin daerah.
Teladan dari para kandidat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi merupakan investasi besar menjaga konsistensi masyarakat yang sudah terbentuk untuk menerapkan perilaku hidup sehat. Di sisi lain, konsistensi ketegasan penyelenggara negara dalam mengawasi dan menerapkan aturan kampanye sehat juga diperlukan untuk mencegah pelanggaran protokol kesehatan yang merugikan upaya keras penanganan pandemi.
(LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Covid-19 dan Ragam Kebijakan Wajib Masker