Pasang Surut Globalisasi akibat Teknologi, Politik, dan Pandemi
Dinamika politik, lompatan teknologi, dan hantaman pandemi mewarnai satu abad globalisasi perdagangan dan peradaban.
Bermula dari perdagangan, terbentuklah sebuah peradaban yang tidak hanya bersentuhan dengan perekonomian, tapi juga sosial, politik, dan budaya. Inilah yang kemudian dikenal sebagai globalisasi.
Globalisasi merupakan sebuah proses masuk ke ruang lingkup dunia. Proses mendunia tersebut berawal dari sebuah perdagangan lintas negara. Menurut catatan Forum Ekonomi Dunia (WEF), globalisasi diakui sejak abad ke-19, ketika Kerajaan Inggris mulai mendominasi dunia.
Meski demikian, sejatinya perdagangan yang membentuk peradaban telah dimulai pada abad ke-1 SM oleh China. Berbekal perdagangan tersebut terbentuklah sebuah rute yang kemudian dikenal dengan Jalur Sutra.
Disebut sebagai jalur sutera karena sutra sebagai komoditas utama yang diperdagangkan pada masa itu. Sutra yang pertama kali diproduksi oleh China tersebut merupakan olahan dari serat protein ulat sutera saat ulat membentuk kepompongnya.
Budidaya ulat sutra tersebut telah berlangsung sejak tahun 2.700 SM. Sutra menjadi simbol kemewahan yang digunakan oleh Kekaisaran China.
Kemudian pada tahun 119 SM, Kekaisaran China mengirim seorang Jenderal bernama Zhang Qian untuk mengunjungi beberapa negara tetangga. Kunjungan itu sekaligus menetapkan rute awal perdagangan dari China ke Asia Tengah.
Kemudian, pada Abad ke-1 SM, sutra mulai diperkenalkan ke kawasan Barat yakni kepada Kekaisaran Romawi sebagai lambang kemewahan eksotis yang sangat populer. Kemudian dikeluarkanlah dekrit kekaisaran untuk mengontrol harga sutra tersebut.
Popularitas sutra terus berlanjut hingga abad pertengahan dan pembuatan pakaian sutra terus dilakukan sebagai kain kerajaan dan pakaian untuk keperluan gereja, serta sebagai sumber pendapatan di Bizantium, salah satu kota di Kekaisaran Romawi Timur.
Barang mewah tersebut kemudian menjadi salah satu pendorong awal untuk pengembangan jalur perdagangan dari Eropa ke Timur Jauh.
Baca juga: Memindai Korona di Lintasan Jalur Sutra
Tumbuh peradaban
Pada abad ke-8, perdagangan sutra semakin meluas hingga dibangun hubungan perdagangan maritim antara Arab dengan China. Berbagai rute perdagangan terbentuk, dan komoditas yang diperdagangkan pun semakin beragam dari berbagai belahan dunia, baik melalui laut maupun darat.
Komoditas utama selain sutra pada masa itu adalah rempah-rempah. Dalam melakukan perjalanan, para pedagang berhenti untuk beristirahat atau mengisi persediaan, bahkan berhenti untuk menjual kargo berisi barang dagangan mereka. Hal tersebut mengarahkan pada pertumbuhan kota dan perdagangan serta pelabuhan yang terus berkembang.
Rute perdagangan terus berkembang pada abad ke-10 hingga ke-19 dan lebih menguntungkan. Karavan, sebuah transportasi pada masa itu, dan dapat digunakan sebagai tempat tinggal, semakin berkembang
Konstruksinya diintensifkan di Asia Tengah, dan terus terhubung hingga Afrika. Pelabuhan pun berkembang pesat di pantai di sepanjang rute perdagangan maritim.
Meluasnya perdagangan tersebut, menimbulkan pertukaran berbagai macam barang, ide, bahasa, budaya, hingga kepercayaan di kota-kota pesisir dari berbagai negara. Agama Buddha adalah salah satu contoh agama yang menempuh jalur sutra dengan tempat suci, yang salah satunya berada di Borobudur Indonesia.
Agama Islam, Kristen, dan Hindu menyebar dengan cara yang sama, saat para pelancong menyerap budaya yang mereka temui dan kemudian membawanya Kembali ke tanah air mereka. Namun, menurut catatan WEF, para ekonom menilai bahwa pada masa itu, tidak berarti globalisasi telah sungguh-sungguh dimulai.
Teknologi
Abad ke-15 hingga abad ke-18 merupakan perkembangan dari jalur sutra diakui sebagai masa penemuan. Namun, berkembangnya globalisasi baru diakui sejak abad ke-19. Hal tersebut sejatinya tak lepas dari peran teknologi yang memunculkan revolusi industri.
Portugal, Spanyol, Belanda, dan Inggris yang menjadi penguasa perdagangan. Komoditas utama yang diperdagangkan adalah bahan mentah atau bahan baku.
Ketika globalisasi gelombang pertama muncul pada abad ke-19, teknologi mulai dikenal di Inggris dengan memanfaatkan mesin uap dan mesin tenun industri. Masa ini juga disebut sebagai era revolusi industri pertama. Komoditas yang diproduksi adalah teksil dan diperdagangkan ke seluruh dunia.
Pada satu sisi, kapal uap dan kereta api dapat mengangkut barang yang diperdagangkan hingga lintas negara. Di sisi lain, industrialisasinya memungkinkan Inggris untuk memproduksi sejumlah barang lain yang diminati di seluruh dunia.
Memasuki globalisasi gelombang kedua, sejak tahun 1945 pasca-Perang Dunia hingga 1989, teknologi semakin berkembang. Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang mengambil alih kekuasaan internasional.
Semakin banyak industri yang dikembangkan, dan semakin banyak komoditas yang diperdagangkan. Alat transportasi pun semakin berkembang, antara lain mobil dan pesawat yang menandai revolusi industri ke-dua, turut memperlancar proses perdagangan.
Ekspor pun kian meningkat dan berkontribusi hingga 15 persen pada PDB dunia. Tentunya, gerak mausia pun semakin tak terbatas dan memperkuat peradaban.
Pada globalisasi gelombang ketiga, arus perdagangan semakin deras pasca dibentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Peraturan WTO yang mewajibkan negara-negara anggota menandatangi perjanjian perdagangan bebas menjadi cikal bakal menguatnya globalisasi. China, yang pernah menjadi pelopor perdagangan internasional turut bergabung menjadi anggota WTO.
Seiring waktu, teknologi terus berkembang hingga munculnya internet yang turut menandai revolusi industri ketiga. Internet menghubungkan orang-orang di seluruh dunia menjadi semakin cepat dan langsung. Lebih dari itu, internet membuat integrasi rantai nilai global lebih berkelanjutan.
Globalisasi gelombang ketiga berakhir pada tahun 2008, dan melahirkan globalisasi gelombang terbaru yang disebut ”Globalisasi 4.0”. Pembeda dari gelombang sebelumnya adalah kemunculan teknologi digital.
Politik dan konflik
Tak dapat dimungkiri bahwa peran perdagangan yang didukung digitalisasi ini semakin menopang pertumbuhan ekonomi dunia. Data Bank Dunia yang disusun dalam laman Integrasi Perdagangan Dunia (WITS) menunjukkan bahwa ekspor menyumbang hampir sepertiga PDB dunia sejak 2008 hingga 2018.
Meski demikian, seiring perkembangan zaman, sisi negatif yang mengglobal juga muncul, antara lain politik dan konflik.
Dua kekuatan ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat dan China, mendominasi pada globalisasi gelombang keempat. Layanan digital, e-commerce, hingga percetakan tiga dimensi yang didorong oleh kecerdasan buatan pun semakin menjamur.
Sejak awal perdagangan sutra dimulai, berdagang bukanlah satu-satunya tujuan. Tahun 139 SM, Kaisar Dinasti Han di China mengirim Jenderal Zhang Qian ke bagian Barat untuk sebuah misi diplomatik.
Jenderal Zhang Qian ditugaskan untuk memastikan aliansi melawan musuh China, yakni Suku Xingnu yang dianggap mengganggu stabilitas keamanan China.
Perjalanan lanjutan China ke Asia Tengah pun tak lain untuk membangun aliansi dan strategi melawan musuh, alih-alih hanya untuk berdagang.
Selain itu, perihal produksi sutra pun dirahasiakan oleh China. Namun, tingginya nilai jual dan besar pengaruhnya pada pendapatan negara boleh jadi membuat negara-negara lain berupaya mendapatkan rahasia tersebut.
Terlepas dari upaya China untuk merahasiakannya, hal itu akhirnya terungkap dan menyebar ke luar China. Negara pertama yang mendapat informasi mengenai cara produksi sutra adalah India dan Jepang.
Baca juga: India-China Menyepakati Penyelesaian Damai di Perbatasan
Kekaisaran Persia juga mendapatkan informasi tersebut, bahkan hingga ke kawasan barat pada abad ke-6. Perang Dunia I dan II pun terjadi di tengah-tengah berkembanganya globalisasi gelombang pertama.
Politik dan konflik pun terus terjadi seiring banyaknya negara yang terlibat dan kepentingan golongan yang semakin kuat. Keberadaan WTO sebagai badan yang mengintegrasikan perdagangan dunia pun justru menjadi ladang persoalan yang tak jarang menimbulkan pertikaian antarnegara.
Pada tahun 2016, salah satu kandidat presiden AS, Donald Trump, mengancam akan keluar dari WTO. Gagasan tersebut muncul ketika kebijakan perdagangan yang diajukan dalam pertemuan WTO mendapat serangan oleh negara anggota lainnya.
Ancaman tersebut kembali diungkapkan Trump pada tahun 2018. Hal tersebut dipicu oleh kegeraman Trump karena AS hampir tidak pernah memenangi perkara di WTO (Kontan, 31 Agustus 2018).
Perang dagang antarnegara pun tak terhindarkan. Para ahli menilai, hal ini pun tak lepas dari dampak globalisasi yang didorong disrupsi teknologi yang mampu meretas batas dengan digitalisasi. Konflik berkepanjangan itu pun menjadi agenda dalam rapat tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, 11 Oktober 2018.
Direktur pelaksana IMF kala itu, Christine Lagarde, menyampaikan perlunya kebersamaan dan semangat gotong rotong menyikapi situasi dunia yang semakin terpuruk. Sejumlah pimpinan negara pun turut merespons kondisi tersebut.
Baca juga: Jargon-argon Seruan Persatuan Global
Pandemi
Dengan adanya globalisasi, bukan hanya perluasan perdagangan, sosial, dan politik, tapi juga kerentanan akan wabah yang berujung pada pandemi. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi enam pandemi.
Pandemi tersebut ialah pandemi H1N1 (flu babi) pada 2009, polio (2014), ebola (2014), zika (2016), ebola 2019 (Kompas.com, 8 Agustus 2020). Terakhir adalah Covid-19 yang dinilai memiliki dampak paling parah.
Menurut catatan Rumah Sakit dan Universitas Johns Hopkins, hingga 26 September 2020, Covid-19 telah menginfeksi 32,62 juta penduduk di 188 negara di dunia. Bencana nonalam tersebut menuntut setiap negara untuk menutup negaranya sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19.
Segala aspek yang terbentuk dari adanya globalisasi, runtuh seiring munculnya pandemi. Pergerakan manusia kian terbatas. Komunikasi dan informasi pun mengandalkan kekuatan teknologi sebagai pengganti pertemuan tatap muka secara langsung.
Baca juga: Menuju Glokalisasi Seusai Pandemi Covid-19
Perdagangan antarnegara menjadi terbatas, bahkan berhenti. Sekalipun perdagangan tetap dapat dilakukan, ada peningkatan biaya impor dan ekspor sebesar 25 persen dan diterapkan pada semua barang dan jasa.
Tak dapat dimungkiri, perdagangan yang kian menyusut berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Data Bank Dunia mencatat, China, AS, dan negara-negara Uni Eropa masuk ke dalam 10 besar perdagangan dunia, baik ekspor maupun impor.
Namun, pada triwulan II 2020, pertumbuhan ekonomi AS terkontraksi 9,5 persen, sedangkan Uni Eropa jatuh lebih dalam pada angka -14,4 persen. Hanya China yang mengalami pertumbuhan sebesar 3,2 persen.
Situasi tersebut membuat masing-masing negara mawas diri dan berupaya memenuhi kebutuhan dari dalam negeri. Salah satunya dilakukan oleh negara Jepang. Jepang mulai mencari cara untuk melepas ketergantungan rantai pasokan dari China, serta berupaya memproduksi lebih banyak dari dalam negeri.
Pasang surut globalisasi terjadi sejak awal kemunculannya, hingga saat ini. Seriring masifnya digitasi, globalisasi justru terdegradasi. Bahkan, paradigma global kini berubah menjadi fokus pada potensi lokal.
(LITBANG KOMPAS)