Genjot Ekonomi Lokal dengan Transformasi Digital
Daerah perdesaan sebagai tujuan warga pascapandemi bisa menjadi potensi baru untuk membangkitkan ekonomi lokal. Maka, peningkatan literasi digital bagi petani atau pelaku usaha di desa menjadi salah satu kunci sukses.
Di tengah terjangan Covid-19, pertanian dan peternakan sebagai penunjang usaha ekonomi lokal terbukti masih dapat bertahan. Melalui transformasi digital, sektor ini disinyalir dapat menjadi tumpuan kebangkitan ekonomi pascapandemi.
Pagebluk Covid-19 telah menciptakan kebiasaan baru bagi peradaban manusia. Agar tetap terkoneksi dengan banyak orang, warga dituntut lebih melek literasi dunia digital. Mulai dari rapat pekerjaan, belajar-mengajar, hingga berwisata dilakukan secara virtual. Mayoritas aktivitas itu tetap berjalan meski hanya menggunakan gawai yang terhubung koneksi internet.
Kebiasaan baru ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Meski kini sejumlah daerah telah memasuki era normal baru, budaya virtual masih terus berlangsung. Selain pembelajaran jarak jauh (PJJ), deretan webinar juga masih sering diselenggarakan demi menghindari kerumunan.
Berkurangnya mobilitas dan minimnya ruang gerak warga ini menyebabkan roda perekonomian tersendat. Menurut laporan BPS, dibandingkan triwulan II-2019 (year on year), pertumbuhan triwulan II-2020 Indonesia mengalami kontraksi 5,32 persen. Jika ditelisik lebih detail, kondisi kurang baik ini pun dialami hampir semua lapangan kerja.
Sumber pertumbuhan negatif terbesar ditemukan pada sektor transportasi dan pergudangan sebesar 1,29 persen. Kemudian disusul industri pengolahan (1,28 persen); perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (1,0 persen); penyediaan akomodasi dan makan minum (0,66 persen); serta jasa perusahaan (0,23 persen).
Meski demikian, ada juga sejumlah sektor usaha yang masih menyumbang pertumbuhan positif. Terbesar ialah informasi dan komunikasi sebesar 0,58 persen; disusul pertanian, kehutanan, dan perikanan (0,29 persen); dan real estat (0,07 persen). Peningkatan produk domestik bruto (PDB) di sektor pertama dan ketiga ini selaras dengan aktivitas warga selama pandemi yang banyak dilakukan di tempat tinggal.
Sementara bertahannya sektor pertanian dan sejenisnya tidak lepas dari kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan. Terlebih lagi sektor ini umumnya banyak diusahakan di daerah perdesaan, yang jauh dari keramaian kota dan padatnya aktivitas orang. Oleh karena itu, dampak Covid-19 belum terlalu terasa dan warga masih lebih mudah melakukan protokol kesehatan, seperti jaga jarak fisik.
De-urbanisasi
Di samping itu, daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi kini menjadi daerah rawan tertularnya Covid-19. Hingga 17 September 2020, Satgas Penanganan Covid-19 mencatat ada 10 kota dan satu kabupaten dengan kasus positif aktif lebih dari 1.000 orang. Tertinggi ada di Kota Semarang, Jawa Tengah, dengan 2.591 kasus, Kota Bekasi 1.507 kasus, Kota Medan 1.475 kasus, dan Kota Makassar 1.396 kasus.
Padahal, pesatnya pertumbuhan ekonomi dan banyaknya kesempatan kerja di daerah perkotaan telah lama mendorong gelombang urbanisasi. Menurut proyeksi BPS, tahun 2020 ini sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di kota. Bahkan dalam kondisi normal, angka ini akan meningkat menjadi 66,6 persen pada tahun 2035.
Selain lapangan kerja, hal ini turut diakomodasi oleh perkembangan pesat pembangunan infrastruktur transportasi. Mulai dari jalan tol, pembukaan penerbangan perintis, kereta lokal dan jarak jauh, hingga kian banyak trayek bus ke sejumlah wilayah di Indonesia. Lengkapnya akses transportasi ini membuat mobilitas penduduk dari desa ke kota semakin mudah.
Sebaliknya, akses ini juga memudahkan penduduk bermobilitas kembali ke kampung halamannya. Terbukti ketika setiap menjelang hari raya Idul Fitri, berbagai moda transportasi dari sejumlah kota selalu penuh penumpang. Bahkan, fenomena ini juga terjadi akhir-akhir ini. Hal itu terutama ketika PSBB berlangsung, banyak pegawai yang terkena PHK dan akhirnya kembali ke desa.
Dalam kasus khusus, aktivitas ini juga dilakukan sebagian warga kota yang memungkinkan bekerja dari rumah. Mereka mengungsi ke desa untuk menghindari besarnya potensi penularan virus di kota. Contohnya, ketika pengumuman pengetatan PSBB DKI Jakarta pada 14 September 2020, yang dibarengi antisipasi sejumlah pemda akan gelombang pemudik dari Ibu Kota.
Dua hal di atas dapat menjadi gambaran ke depan pascapandemi berakhir. Seperti yang tertuang dalam tulisan The Post Covid-19 World Will Be Less Global and Less Urban (Geofrrey Garret, 2020). Orang akan lebih waspada pada ruang penuh sesak di kota. Jika bisa, orang akan semakin tergoda untuk keluar kota. Namun, jika tidak, mereka akan mengurangi mobilitas dan kontak dengan orang lain.
Daerah perdesaan sebagai tujuan warga pascapandemi ini bisa jadi potensi baru untuk membangkitkan ekonomi lokal. Hal ini pun menjadi suatu keniscayaan, menengok masih bertahannya sektor pertanian selama pagebluk dan lengkapnya akses transportasi ke kota. Ditambah lagi sektor ini masih rutin menduduki tiga porsi terbesar dalam struktur PDB nasional beberapa tahun terakhir.
Akses internet
Kebangkitan ekonomi lokal ini kurang lengkap jika tidak digenjot melalui transformasi digital. Melalui upaya itu, teknologi digital digunakan sebagai tumpuan strategi dalam mengubah cara bisnis beroperasi dan melayani pelanggan. Namun, semua itu tidak dapat terwujud tanpa adanya infrastruktur telekomunikasi yang mumpuni.
Sementara menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, cakupan sinyal 4G di Indonesia rata-rata sudah di atas 80 persen. Secara detail, di tingkat provinsi sudah mencakup 97,06 persen. Sementara di tingkat kabupaten kota sebesar 90,66 persen, di kecamatan 82,98 persen, dan di desa 82,36 persen.
Lebih dari separuh penduduk desa juga tercatat sudah mengakses internet.
Baca juga: Dorong Ekonomi Lokal melalui Petani Lokal
Menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018, responden pengguna internet di desa sudah mencapai 61,6 persen. Angka ini pun hanya terpaut 12,5 persen lebih rendah dibandingkan dengan responden di kota.
Menengok dua data di atas, akses digital sebagai modal membangkitkan ekonomi lokal sebenarnya sudah sangat cukup. Namun, kondisi di lapangan masih berkata beda. Ketua Pemuda Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Boyolali Andy Setyo Wibowo menyebutkan, para petani lebih memilih tengkulak karena uang langsung di tangan dibandingkan dengan harus menunggu hasil penjualan di platform digital (Kompas.id, 19/09/2020).
Padahal, jika memaksimalkan platform digital, pasar baru dalam bentuk virtual dapat tercipta. Salah satu contohnya gerakan Sonjo (Sambatan Jogja) yang merupakan Gotong Royong Daring di Masa Pandemi. Gerakan ini menggunakan aplikasi grup Whatsapp untuk mempertemukan penawaran dan permintaan di pasar virtual baik di level RW, kampung, kecamatan, maupun kabupaten.
Selain dapat menarik calon pembeli, aplikasi digital semacam itu juga dapat memutus rantai panjang penjualan komoditas pangan. Diketahui setelah dipanen petani, komoditas itu akan melalui tengkulak, pasar induk, tukang sayur, dan terakhir diterima pembeli. Rantai panjang itu kerap kali membuat petani merugi karena harga jual komoditas di level tengkulak sangat rendah.
Baca juga: Pemerintah Dorong BUMDes Jangkau Perbankan
Mengatasi hal itu, peningkatan literasi digital bagi para petani atau pelaku usaha di desa menjadi salah satu kunci yang patut diperhatikan. Namun, hal ini tidak mudah dilakukan karena komposisi petani di Indonesia mayoritas berada di kelompok usia tua. Menurut hasil survei pertanian antar- sensus BPS tahun 2018, petani usia di atas 45 tahun sebesar 64,15 persen. Padahal, menurut survei APJII, pengalaman penggunaan internet pada kelompok usia itu masih terbilang minim.
Namun, masalah ini menjadi tidak berarti seiring banyak warga kembali ke desa pascapandemi. Pengalaman selama di perkotaan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan literasi digital warga setempat. Hingga, setiap komoditas pertanian dan sejenisnya dapat ditawarkan efektif di dalam pasar virtual sampai kebangkitan ekonomi lokal terwujud.(Litbang Kompas)