Kesejahteraan petani, khususnya pada subsektor tanaman hortikultura dan peternakan, masih mengalami persoalan akibat pandemi Covid-19. Pemberdayaan petani diharapkan dapat dilakukan untuk membangkitkan ekonomi lokal.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung menjadi pukulan bagi para petani yang kehilangan pasar akibat penurunan penjualan. Meski begitu, hasil usaha tani dinilai dapat diberdayakan untuk membangkitkan ekonomi lokal.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Agustus 2020, secara nasional nilai tukar petani (NTP) pada subsektor tanaman hortikultura turun 1,98 persen menjadi 97,8 dan peternakan turun 1,31 persen menjadi 98,64. Besaran NTP yang kurang dari 100 mengindikasikan, pendapatan petani lebih rendah daripada indeks harga yang dibayar petani.
Ketua Pemuda Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Boyolali Andy Setyo Wibowo menyampaikan, para petani di Boyolali, Jawa Tengah, masih sangat terdampak Covid-19. Harga jual sayuran yang biasanya Rp 3.500 per kilogram (kg) turun menjadi Rp 1.500 per kg.
”Sejak pandemi, hasil usaha tani seperti tidak ada harganya karena memang selain penjualannya menurun, berbagai keterbatasan distribusi juga turut memengaruhi. Akibatnya, para petani sekarang mulai cenderung untuk malas menanam (sayur) karena tidak ada pasarnya,” ujar Andy saat dihubungi Kompas, Sabtu (19/9/2020).
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani, kata Andy, sebenarnya dapat dimulai secara lokal. Pasar dapat diciptakan, salah satunya, dengan mendorong pemerintah daerah melalui para aparatur sipil negara untuk membeli sayuran langsung dari petani.
Selain itu, petani harus didampingi untuk masuk dalam ekosistem digital agar mampu mengambil peluang pasar dalam jaringan (daring). Upaya ini sekaligus mengedukasi petani agar tidak terus dipermainkan oleh para tengkulak.
”Selama ini, para petani lebih memilih tengkulak karena uang langsung di tangan dibandingkan harus menunggu hasil penjualan di platform digital. Jadi, kami terus mengedukasi mereka agar memiliki pola pikir untuk menciptakan pasar sehingga usaha dapat lebih berkelanjutan,” katanya.
Nilai tambah terhadap usaha tani juga menjadi fokus Andy dalam memberdayakan petani. Kini, ia mencoba menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan untuk menjadi pemasok tepung tapioka sehingga tidak sekadar menjual singkong mentah.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo, juga menyoroti pentingnya upaya gotong royong untuk membangun ekonomi lokal. Upaya ini dilakukan melalui gerakan Sonjo (Sambatan Jogja), Gotong Royong Daring di Masa Pandemi.
”Gerakan Sonjo ini dibuat terbatas di Yogya karena ideal untuk diterapkan di lingkungan yang lebih kecil (rukun warga atau RW, kampung, kecamatan, dan kabupaten). Jika di satu RW ada 150-200 kepala keluarga, pastilah ada demand dan supply untuk berbagai keperluan sehari-hari,” ujarnya.
Rimawan menjelaskan, Sonjo menggunakan aplikasi grup Whatsapp sebagai media mempertemukan penawaran dan permintaan untuk menciptakan pasar pangan virtual. Grup ini dibangun untuk mengatasi kendala suplai pangan yang sempat tersendat pada awal pemberlakuan kebijakan bekerja dari rumah.
Hingga Juni 2020 sudah terbentuk dua grup Whatsapp Sonjo Pangan masing-masing dengan anggota berjumlah 256 orang dan 66 orang. Mereka terdiri dari para pakar di bidang pangan, petani, peternak, serta pengusaha. Secara basis data, hingga Mei 2020 ada 726 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) makanan atau bahan pangan, 37 swalayan dan toko daring, serta 216 pasar dan taman kuliner yang tergabung.
”Dampak Covid-19 terhadap UMKM (termasuk petani) cukup besar dan mereka harus mencari ’pasar’ baru untuk menyambung kehidupan usaha dan keluarga. Sayangnya, tidak semua tergabung dalam e-dagang karena kendala literasi digital dan keuangan. Maka, Sonjo menggunakan Whatsapp untuk melakukan pemasaran dan penerimaan pesanan,” kata Rimawan.
Mata rantai baru
Direktur Utama Smesco Indonesia Leonard Theosabrata mengatakan, selama ini panjangnya mata rantai dalam proses jual beli pangan menyebabkan harga melonjak di tingkat konsumen dan sebaliknya menurun di tingkat petani. Mata rantai yang panjang dimulai dari petani, tengkulak, pasar induk, pasar, tukang sayur, hingga akhirnya harga hasil tanam sudah tinggi ketika sampai di tingkat konsumen.
Leonard menjelaskan, Smesco kini dalam proses menyiapkan Festival Loka Hejo. Sebuah kesadaran untuk kembali pada kekuatan lokal melalui program yang mempertemukan urban offtaker (perusahaan penyerap) dengan local heroes (pahlawan lokal) dan memberikan pelatihan bagi mereka.
Melalui program ini diharapkan akan tercipta mata rantai baru dalam proses jual beli pangan. Proses nantinya akan dimulai dari petani muda yang merupakan generasi lokal (urban offtaker bermitra dengan generasi muda petani untuk naik kelas), hingga akhirnya hasil tanam bisa langsung dibeli oleh pasar induk, pembeli, pasar, dan tukang sayur.
Petani yang akan menjadi fokus dalam program ini, lanjutnya, adalah generasi muda petani. Pelatihan digital, pemasaran, investasi, desain, dan kewirausahaan akan diberikan untuk membantu petani yang selama ini berada di mata rantai paling bawah agar bisa lebih sejahtera.
”Kami mau buat sistem (mata rantai pangan) yang lebih sederhana sehingga hulu dan hilir yang benar-benar menikmati, bukan lagi yang di tengah. Smesco punya tempat seluas 12 hektar di Cisarua, sebuah pusdiklat (pusat pendidikan dan pelatihan) untuk nantinya dijadikan tempat Festival Loka Hejo,” ujarnya.
Festival Loka Hejo akan terdiri dari loka tani, loka saji, dan loka seni yang bertujuan membentuk triple helix untuk mengubah tatanan ekonomi dan struktur dari masyarakat sekitar. Dengan adanya pertumbuhan dari bisnis komunitas, diharapkan dapat tercipta ketahanan pangan dan mendorong ekonomi lokal.
”Kita harus terus berkaca pada apa yang sedang terjadi. Ketahanan ekonomi lokal-lah yang harus bisa dimiliki oleh setiap daerah. Dan, memang pembentukannya harus kembali melihat pada kearifan lokal yang menjadi kekuatan untuk bertumbuh,” kata Leonard.