Pandemi Paksa Pemerintah Menambah Utang
Akibat pandemi, pemerintah harus menambah utang guna mengatasi berbagai dampaknya. Pada saat yang sama, penerimaan negara berkurang. Penggunaan utang pun harus sangat cermat,
Topik mengenai utang pemerintah selalu menjadi pembahasan yang menarik, apalagi pada masa pandemi ketika utang meningkat akibat penambahan defisit anggaran. Utang digunakan untuk mengatasi berkurangnya pendapatan negara dan memenuhi kebutuhan guna mengatasi dampak pandemi.
Mengapa pembahasan utang pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo menarik perhatian?
Pada periode pertama pemerintahannya, pembangunan dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen dititikberatkan pada pengembangan infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk infrastruktur, yang nilainya naik secara gradual hingga mencapai lebih dari Rp 400 triliun pada tahun 2018.
Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk bantalan sosial diperbesar terkait ”kartu-kartu sakti” pemerintah, yakni Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sejahtera, Jaminan Kesehatan Nasional, dan sebagainya. Dari tahun ke tahun, jumlah penerima manfaat kartu-kartu ini bertambah, demikian pula dengan nilai nominal yang diberikan.
Semula pendapatan negara masih menunjukkan peningkatan dan defisit anggaran relatif terjaga di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit nasional sebesar 3 persen dari PDB.
Namun, pada periode tersebut, utang pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) banyak diterbitkan untuk membiayai pembangunan. Selama periode pertama pemerintahan Jokowi, tercatat penerbitan SBN bruto sebesar Rp 3.536,6 triliun dan penerbitan SBN neto Rp 1.537,347 trilliun. Penerbitan SBN neto merupakan penerbitan SBN di luar kebutuhan membayar kembali utang yang jatuh tempo.
Salah satu hal yang menyebabkan tingginya penerbitan SBN ialah perbaikan peringkat utang Indonesia yang dikeluarkan beberapa lembaga pemeringkat internasional. Perbaikan peringkat ini sangat memengaruhi minat beli investor asing seiring dengan risiko yang semakin rendah. Dana asing mulai mengalir deras ke pasar obligasi Indonesia.
Pada tahun terakhir periode pertama (2019), posisi utang pemerintah mencapai Rp 4.778,6 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 29,9 persen. Rasio ini menjelaskan kemampuan pemerintah membiayai utang dibandingkan dengan pendapatannya dalam ukuran PDB.
Karena ukurannya PDB, maka kegiatan ekonomi yang menurun berdampak negatif terhadap membesarnya rasio serta kemampuan membayar utang dan bunga utang luar negeri. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi menyebabkan meningkatnya potensi kemampuan membayar utang.
Pada kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi tidak setinggi yang diharapkan, bahkan cenderung menurun. Perekonomian yang lesu berdampak pada penerimaan negara yang menurun. Tahun 2015-2017 menjadi periode ketika rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rasio pajak 2014 ialah 13,1 persen, 11,6 persen pada 2015, 10,8 persen (2016), dan 10,7 persen (2017).
Dalam kondisi demikian, dengan rencana belanja yang naik cukup pesat sementara potensi penerimaan pajak menurun, defisit anggaran menjadi lebih besar. Dampaknya tentu terlihat pada utang pemerintah.
Pinjaman Covid-19
Pandemi Covid-19 memorakporandakan rencana anggaran pemerintah. Untuk menangani dampaknya terhadap perekonomian, kesehatan, pendidikan, dan sosial, pemerintah mesti mengeluarkan stimulus yang tidak diperhitungkan sebelumnya dalam APBN.
Anggaran belanja akan membengkak, defisit melebar, dan hal itu harus dicari sumber pembiayaannya. Mengharapkan dari penerimaan pajak sangat sulit karena pandemi memperlambat gerak perekonomian. Banyak sektor usaha terhenti, jumlah pengangguran bahkan bertambah.
Baca juga: RAPBN/Nota Keuangan ”Rasa Pandemi”
Dalam Nota Keuangan APBN 2021, defisit anggaran dihitung sebesar Rp 971,2 triliun dengan rasio 5,5 persen terhadap PDB. Defisit tersebut didapat dari pendapatan negara yang turun 20,5 persen menjadi Rp 1.776,4 triliun dibandingkan dengan APBN 2020 (Rp 2.233,2 triliun). Di sisi lain, belanja negara naik 8,2 persen menjadi Rp 2.747,5 triliun dari sebelumnya Rp 2.540,4 triliun.
Untuk mengantisipasi defisit yang kemungkinan melebihi 3 persen dari PDB, pemerintah bergerak cepat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada Mei silam.
Perppu tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan. Kewenangan ini berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022.
Utang menjadi sumber pembiayaan yang diandalkan. Sampai dengan pertengahan 2020, pemerintah telah menerbitkan berbagai jenis Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak Rp 630,5 triliun. Dari sisi pinjaman, pemerintan telah menarik pinjaman 1,84 miliar dollar Amerika Serikat dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Agence Francaise de Developpement (AFD), Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Per Juli 2020, posisi utang pemerintah mencapai Rp 5.434,86 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB 33,63 persen. Komposisi utang pemerintah ini mayoritas merupakan SBN senilai Rp 4.596,26 triliun (84,57 persen). Selebihnya berupa pinjaman pemerintah senilai Rp 836,60 triliun, dengan sumber pinjaman luar negeri sebanyak Rp 828,07 triliun.
Dalam laporan APBN yang dibuat Kementerian Keuangan pada Agustus 2020, disebutkan bahwa pemerintah mendapat pinjaman program terkait Covid-19. Terdapat tiga macam pinjaman yang diterima oleh pemerintah. Pertama, pinjaman program ”Covid-19 Active Response and Expenditure Support Program (CARES)” senilai 750 juta dollar Amerika Serikat dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Tujuan pinjaman ini menyediakan dukungan anggaran guna menghadapi pandemi Covid-19.
Kedua, pinjaman program ”Additional Financing for Social Assistance Reform Program” senilai 400 juta dollar AS dari World Bank. Tujuannya, mendukung penguatan dan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH) serta bantuan sosial lainnya maupun mendukung pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketiga, pinjaman program ”Indonesia Emergency Response to Covid-19” yang merupakan pembiayaan bersama (co-financing) antara AIIB senilai 250 juta dollar AS dan Bank Dunia 250 juta dollar AS. Pinjaman ini bertujuan mencegah, mendeteksi, dan menanggapi ancaman yang ditimbulkan Covid-19 serta memperkuat sistem nasional bagi kesiapan kesehatan masyarakat.
Batas aman
Pembiayaan anggaran negara melalui utang lazim dilakukan negara-negara di dunia. Setiap negara berutang, termasuk negara maju sekalipun. Meski demikian, utang harus dibatasi agar negara tidak bangkrut.
Ada beberapa indikator yang dapat menjadi ukuran keamanan utang pemerintah. Salah satunya, rasio utang terhadap PDB. Berdasarkan ketentuan Maastrich Treaty, yaitu perjanjian di antara negara-negara Uni Eropa pada 1992 di Maastrich, Belanda, guna memperkuat perekonomian, batasan utang pemerintah yang dianggap aman tidak melebihi 60 persen PDB. Ketentuan ini diadopsi Indonesia, dan dituangkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Setiap negara berutang, termasuk negara maju sekalipun.
Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF) per April 2020, besaran rasio utang pemerintah Indonesia masih relatif aman dibandingkan negara-negara lain. Indonesia berada satu kelompok dengan kisaran 25-50 persen terhadap PDB bersama Korea Selatan dan Selandia Baru, serta beberapa negara anggota ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
Meskipun defisit dan rasio utang pemerintah meningkat, dari sisi peringkat utang Indonesia masih dinilai layak investasi. Pada 10 Agustus 2020, lembaga pemeringkat Fitch Ratings mempertahankan peringkat kredit Indonesia di level BBB dengan outlook stabil. Fitch mencatat rasio utang RI yang meningkat masih terbilang lebih kecil daripada median rasio utang terhadap PDB negara-negara dengan peringkat utang BBB lainnya yang mencapai 51,7 persen.
Meski demikian, ada beberapa hal yang harus diwaspadai. Seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pertumbuhan penerimaan pajak juga melambat. Defisit yang semakin besar akan meningkatkan utang pemerintah. Jangan terlena dengan peringkat kredit yang membaik.
Pergerakan rasio utang pemerintah terhadap PDB dari kisaran 20 persen menjadi 30 persen selama ini membutuhkan waktu sekitar 10 tahun (2009-2019). Namun, dalam hitungan 7 bulan di tahun 2020 saja, rasio utang meningkat dari 30 persen menjadi hampir 34 persen. Suatu pergerakan yang cukup cepat. Sementara itu, untuk mengatasi perlambatan ekonomi, diperlukan waktu pemulihan cukup lama.
Perlu diwaspadai pula, jangan sampai utang lebih banyak digunakan untuk membayar kembali utang yang jatuh tempo dan pembayaran bunga. Utang harus digunakan untuk kegiatan produktif.
(LITBANG KOMPAS)