Mengenal Munir Muda
Munir muda adalah pejuang kesejahteraan buruh, organisator ulung yang tekun mengajak buruh untuk membela haknya sendiri.
Pada Senin, 7 September 2020, tepat 16 tahun aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib meninggal. Biasa dipanggil Munir, ia tutup usia tiga bulan sebelum genap berusia 39 tahun. Di masa muda, kegiatannya berpusat pada isu perburuhan di Jawa Timur. Ia adalah pejuang buruh sebelum menjadi pejuang HAM seperti yang kita ingat kini.
Munir dibesarkan dalam keluarga Muslim keturunan Arab dan bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) serta Al Irsyad saat menjadi mahasiswa hukum di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Bunuh Munir!: Sebuah Buku Putih (2006) menyebut Munir adalah duta Islam yang memperjuangkan universalitas Islam demi penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Syafii Maarif menyebut Munir meyakini HAM dalam konteks solidaritas kemanusiaan yang telah menciptakan bahasa baru yang universal, setara, dan berbicara melampaui batasan-batasan rasial, jender, etnis, dan agama. Selain dalam organisasi Islam, Munir turut menjadi tenaga sukarelawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang. Setelah lulus sebagai sarjana hukum pada 1990, ia meneruskan aktivitasnya di LBH Malang yang telah dijalani sejak 1989.
Karier aktivis Munir di LBH terus naik. Pada 1991, ia ditunjuk menjadi Ketua LBH Surabaya Pos Malang dan setahun kemudian menjadi Koordinator Divisi Perburuhan LBH Surabaya. Tahun 1993, Munir menjadi Kepala Operasional LBH Surabaya selama dua tahun.
Sebelum hijrah ke Jakarta, aktivitas Munir berpusat pada pemberian bantuan hukum kepada petani dan buruh di Jatim. Pada masa itu, organisasi buruh dibatasi. Pemerintah tak mengizinkan pembentukan organisasi buruh lain di luar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pembatasan ini diikuti oleh pengerahan aparat keamanan seperti militer. Hal ini dilakukan agar investor dan pengusaha dapat memiliki tenaga buruh yang siap kerja, penurut, loyal, dan memiliki etos kerja tinggi.
Dalam buku Api Dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir (2007) diceritakan ketekunan Munir untuk membantu menaikkan kesejahteraan buruh. Pengorganisasian buruh adalah salah satunya. Ia menggunakan gagasan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang kemudian menguak bahwa tidak berfungsinya serikat buruh di perusahaan menjadi biang kerok dari kemiskinan struktural.
Untuk membangun kesadaran buruh pada nasibnya sendiri, Munir menyelenggarakan diskusi di Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan Gresik. Dia memberikan keterampilan berorganisasi kepada para buruh sebelum mereka mendirikan serikat kerja independen di luar SPSI.
Baca juga : Kasus Munir, Ujian yang Belum Selesai…
Untuk mengorganisasikan buruh secara efektif, Munir membaca peraturan perburuhan dengan cermat demi memperkuat bantuan litigasi (penyelesaian masalah melalui jalur pengadilan). Ia juga mengunjungi tempat tinggal buruh. Observasi ini menghasilkan banyak amunisi dan temuan, seperti pemetaan jaringan dan tokoh buruh, masalah-masalah yang dihadapi buruh, hingga memetakan lokasi pabrik dan markas aparat keamanan.
Hasil penelitian LBH Surabaya yang dipimpin Munir setidaknya terekam dalam pemberitaan Kompas pada 14 September 1994. Munir, yang kala itu menjadi Kepala Divisi Perburuhan, menyebut 86,6 persen perusahaan di Jatim melanggar upah minimum regional (UMR).
Ia juga sengaja menghilangkan jarak antara dirinya sebagai orang LBH dan buruh dengan cara memakai bakiak sebagai alas kaki atau berdiskusi sambil rujakan. Hal ini menjadi strategi komunikasi yang digunakan Munir untuk dekat dengan buruh.
Ia juga sengaja menghilangkan jarak antara dirinya sebagai orang LBH dan buruh dengan cara memakai bakiak sebagai alas kaki
Kasus pertama yang ditangani Munir adalah kasus buruh plastik PT Sido Bangun. Dalam kasus ini, buruh menggugat perusahaan karena melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Melalui jalur litigasi, mereka menggugat dengan pasal perbuatan melawan hukum yang dikabulkan Mahkamah Agung. Kemenangan ini menjadi kemenangan buruh yang pertama terjadi di Indonesia.
Munir juga menangani kasus Marsinah. Kasus ini menjadi tonggak penting pergerakan buruh. Dalam kasus Marsinah itu, Munir tampil sebagai sosok yang tidak kenal kompromi pada kesewenang-wenangan pemilik modal ataupun negara yang mewujud dalam aparat militer.
Adapun Marsinah adalah buruh perempuan yang ditemukan tewas beberapa hari setelah unjuk rasa menuntut perbaikan upah pada PT Catur Putra Surya di Sidoarjo. Unjuk rasa berujung pada pemecatan 14 aktivis buruh, termasuk Marsinah.
Munir pernah berseberangan dengan advokat Adnan Buyung Nasution, tokoh panutannya, yang permisif terhadap posisi perusahaan. Teten Masduki dalam Munir, Sebuah Kitab Melawan Lupa (2004) juga mengingat persinggungannya dengan Munir dalam pengusutan kasus Marsinah. Teten yang tergabung dalam Tim Investigasi melihat sosok Munir yang tidak kenal kompromi dan tidak segan untuk pecah kongsi dengan kolega jika sudah berkaitan dengan keberpihakan pada kaum buruh.
Baca juga : Kasus Munir Belum Ditutup Polri
Dalam buku Membangun Bangsa Menolak Militerisme: Jejak Pemikiran Munir 1965-2004 (2006), Munir menyebut kerasnya perlawanan Marsinah merupakan cermin perlawanan buruh yang hidup dalam era politik perburuhan yang represif dan eksploitatif. Pada masa itu, Orde Baru adalah rezim proteksionis atas modal dan kapitalisme kroni yang menolak secara tegas gagasan serikat buruh.
Dalam tulisannya, ia melanjutkan, ”Kebutuhan investasi menjadi lebih kuat menentukan rasa keadilan. Hukum tumbuh tidak berdasarkan keadilan, tetapi kebutuhan pemilik modal dan persaingan pasar. Ketentuan hukum dibuat lebih banyak berbicara kepentingan pemilik modal dibandingkan perlindungan buruh”.
Ia juga mengkritik SPSI yang tidak berpihak kepada buruh dan cenderung memperlihatkan diri sebagai bagian dari birokrasi negara. Aspirasi buruh untuk berorganisasi mendapatkan ancaman sebagai perbuatan politik yang liar.
Arsip Kompas pada 30 Juni 1992 merekam pendapat Munir terkait Rancangan Keputusan Menteri Tenaga Kerja tentang Pedoman Pembentukan, Pembinaan, dan Pengembangan Serikat Pekerja di Perusahaan. Munir menilai peraturan ini makin tidak memberi kesempatan bagi organisasi SPSI untuk mandiri sebagai organisasi. Dalam wawancara langsung, Munir menyebut, ”…Itu hanya akan menjadi lembaga legitimasi (pembenaran) makin kuatnya campur tangan pengusaha dalam unit-unit SPSI di perusahaan.”
Munir juga tegas menyebut manajemen industri, institusi negara, dan organisasi buruh kurang peka terhadap keluhan karyawan sehingga persoalan yang berkembang tak terdeteksi secara dini. Di sisi lain, karyawan telah memperoleh pengalaman, hanya dengan pemogokan, keluhan akan diperhatikan (Kompas, 29 Juli 1993).
Kritik Munir saat itu terasa pedas bagi penguasa. Ia adalah sosok trengginas yang suaranya lantang, bahkan hingga sesaat sebelum ia mati.
Khairul Anam dalam wawancara yang termuat dalam Api Dilawan Air menyebut Munir sebagai pengorganisasi ulung. Munir tidak pernah lupa untuk mendorong para korban dan keluarga mereka untuk membentuk organisasi sebagai ruang penghimpun energi sosial. Perjuangan yang terorganisasi akan semakin kuat dan perjuangan tidak akan cepat kalah.
Munir muda adalah pejuang kesejahteraan buruh, organisator ulung yang tekun mengajak buruh untuk membela haknya sendiri. Perjuangannya di masa muda menjadi cambuk bagi buruh untuk tetap menyuarakan perbaikan kesejahteraan buruh, melawan penindasan, dan ketidakadilan sosial.
(LITBANG KOMPAS)