Terobosan Teknologi untuk Perbaikan Produksi Pangan
Ancamaan kelangkaan pangan harus segera diatasi lewat berbagai upaya, termasuk dengan memanfaatkan teknologi.
Oleh
Agustina Purwanti
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 menyebabkan terganggunya pasokan pangan, sementara di sisi lain, pandemi juga memunculkan potensi lonjakan penduduk yang meningkatkan kebutuhan akan pangan. Dalam situasi itu, ancamaan kelangkaan pangan harus segera diatasi lewat berbagai upaya.
Organisasi dunia yang menangani anak-anak di bawah naungan PBB, Unicef, memproyeksikan angka kelahiran mengalami kenaikan signifikan seiring pandemi yang memaksa orang berada di rumah. Dalam publikasi yang dirilis 7 Mei 2020, Unicef memperkirakan ada 116 juta penduduk baru lahir di bawah bayang-bayang Covid-19. Sementara data Johns Hopkins University per 28 Agustus mencatat 831.586 kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia atau 0,71 persen dari angka estimasi kelahiran baru. Indonesia menjadi negara terbesar kelima dengan angka kelahiran baru yang diprediksi mencapai 4 juta jiwa. Angka tersebut bahkan melebihi pertumbuhan penduduk tahunan merujuk estimasi Worldometers, yakni lebih kurang 2,9 juta jiwa per tahun.
India menjadi negara terbesar pertama dengan kelahiran 20,1 juta jiwa, diikuti China (13,5 juta), Nigeria (6,4 juta), dan Pakistan sebanyak 5 juta jiwa.
Angka kelahiran yang diproyeksikan Unicef untuk kesekian kali membawa manusia pada problem klasik ketersediaan pangan, seperti dicetuskan Thomas Robert Malthus. Makanan bertambah menurut deret hitung, sementara penduduk bertambah menurut deret ukur. Hal ini berpotensi memunculkan ancaman kelangkaan pangan.
Melihat ketersediaan
Gambaran mengenai proyeksi penduduk dan pemikiran Robert Malthus agaknya sejalan dengan situasi yang dihadapi dunia saat ini, termasuk Indonesia. Ketahanan pangan Tanah Air kembali menuai tantangan.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan, dalam empat tahun terakhir, rasio ketersediaan pangan terhadap kebutuhan komoditas pangan strategis nasional menunjukkan tren yang cenderung menurun. Tahun 2016, rasio rata-rata ketersediaan komoditas pangan strategis terhadap kebutuhan makanan penduduk mencapai 2,38. Artinya, ketersediaan pangan strategis secara kuantitas dua kali lebih banyak ketimbang kebutuhan konsumsi penduduk. Pada tahun lalu, rasio tersebut tak mencapai 1,5 kali lipat kebutuhan makanan penduduk, yakni hanya 1,43.
Dalam konteks tersebut, stok pangan tahun lalu masih terbilang aman karena melampaui kebutuhan seluruh penduduk Indonesia. Namun, angka rasio sebesar itu tidak memadai bagi ketahanan pangan jangka panjang. Selama pandemi, potensi ancaman penurunan produksi muncul.
Hal tersebut tecermin dari menyusutnya data perkiraan ketersediaan pangan yang dipaparkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam webinar tentang strategi ketahanan pangan di era normal baru, 9 Juni. Ketersediaan beras diperkirakan 26,20 juta ton hingga Desember tahun ini. Sebagai perbandingan, ketersediaan beras tahun lalu mencapai 31,43 juta ton. Hal serupa terjadi pada gula dan bawang merah dengan penurunan produksi mencapai 30 dan 48 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Jika rasio ketersediaan terhadap kebutuhan dihitung, nilainya mencapai 1,5. Namun, ketersediaan sejumlah komoditas, yakni bawang putih, daging sapi/kerbau, dan gula pasir juga berasal dari impor. Padahal, di tengah pandemi, impor terbatas. Nilai rasio ketersediaan pangan terhadap kebutuhan pangan turun menjadi 1,28 jika komoditas impor tak dihitung.
Persoalan pertanian
Sebelum ada pandemi, sejumlah persoalan lain juga telah mengancam ketersediaan pangan. Pertama, dampak perubahan iklim secara global. Salah satu dampaknya, terjadi perubahan siklus hidrologi dalam bentuk perubahan pola dan intensitas curah hujan.
Kondisi tersebut tak jarang memicu kekeringan atau bencana alam banjir. Akibatnya, ada pergeseran pola dan kalender tanam serta kemunculan banyak hama dan penyakit bagi tanaman atau hewan.
Kedua, persoalan sumber daya manusia. Secara kuantitas, jumlah petani di Indonesia menyusut dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan jumlah tenaga kerja sektor pertanian sebesar 6,68 persen sepanjang 2014-2019.
Selain itu, kualitas petani di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan dari tingkat pendidikan petani yang didominasi lulusan sekolah dasar.
Keterbatasan lahan turut mewarnai persoalan pertanian di Tanah Air. Konversi lahan menjadi salah satu masalah krusial dengan laju konversi lahan sawah mencapai 100.000 hektar per tahun (Renstra Kementan 2015-2019). Usaha peternakan yang sering memanfaatkan lahan kosong pun rawan terusir saat lahan akan dimanfaatkan untuk permukiman.
Di sisi lain, kualitas lahan pertanian yang masih tersedia menurun. Upaya mencetak lahan baru dan penyediaan sarana serta prasarana produksi pertanian juga belum optimal.
Lompatan teknologi
Persoalan yang muncul di sektor pertanian dan peternakan dapat berimplikasi serius pada ketahanan pangan dalam jangka panjang. Ancaman penurunan produksi di satu sisi diikuti dengan lonjakan penduduk di sisi lain. Pada masa mendatang, bukan tak mungkin makanan justru turun menurut deret hitung, sedangkan penduduk tetap bertambah mengikuti deret ukur.
Melihat fakta yang ada, berbagai negara, termasuk Indonesia, perlu memikirkan dan merealisasikan upaya-upaya peningkatan produksi serta produktivitas pangan dengan cara yang tidak biasa. Era Revolusi Industri 4.0 menjanjikan teknologi kecerdasan buatan yang dapat mendorong produksi dan produktivitas sektor pertanian. Pemerintah, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementan, telah membuat sejumlah inovasi teknologi bidang pertanian.
Untuk membantu proses tanam, teknologi yang dibuat antara lain robot penanam padi, pesawat nirawak (drone) penebar benih, serta mesin penanam tebu pemasang dripline terintegrasi.
Dari sisi perawatan, diproduksi boom sprayer dan pesawat nirawak penyemprot untuk menyebarkan pupuk atau pestisida. Irigasi cerdas juga diciptakan untuk menghemat air dan memaksimalkan pemberian nutrisi tanaman.
Di bidang peternakan, Litbang Kementan memproduksi Kit E-Pregnancy BPS Imuno DB. Alat tersebut bermanfaat menjaga produktivitas ternak.
Terkait keterbatasan lahan, pemanfaatan laut sebagai areal tanam bukan tak mungkin dilakukan. Dikutip dari pemberitaan Forbes (29 Juli 2020), perusahaan selam laut di Italia melakukan eksperimen dengan menanam stroberi, anggrek, kemangi, dan selada di dasar laut sejak 2012. Salah satu perusahaan rintisan (start-up) Kanada yang didirikan orang Belanda juga memelopori budidaya beras di lautan.
Pemanfaatan laut sebagai areal tanam bukan tak mungkin dilakukan.
Di tempat lain, sejumlah petani di Florida, Amerika Serikat, mulai memanfaatkan tanaman laut, seperti asparagus. Dalam sebuah uji coba, hanya dibutuhkan 10 minggu untuk asparagus laut tumbuh sebanyak 1 kilogram. Bagi Indonesia, gagasan tersebut berpotensi dilakukan, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan.
Beragam upaya peningkatan produksi dan produktivitas lewat dukungan teknologi bukan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Kerja sama kuat antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha sangat penting dengan berfokus pada kekuatan teknologi. (LITBANG KOMPAS)