”Factfulness” dan Kesalahan Kita Memandang Dunia
Kurang tepat memandang sebuah fenomena dapat membuat kekeliruan dalam mengambil sikap. Melalui buku ini, Hans Rosling mengingatkan pentingnya berpikir kritis berdasarkan fakta.”Factfulness” adalah kuncinya.
Pandangan yang keliru terhadap dunia menyebabkan kita melihat dunia menjadi lebih dramatis dan lebih buruk dari faktanya. Maka, cara pandang berdasarkan fakta dapat menjadi solusi untuk melihat dunia yang sesungguhnya.
Dunia tempat kita berpijak memiliki jangkauan yang luas dan keragaman latar belakang yang tersebar di tujuh benua dan 195 negara. Keragaman itu, antara lain, terlihat dalam sebaran demografi, tingkat ekonomi, serta kualitas kesehatan dan pendidikan warga dunia. Situasi dan kondisinya senantiasa berubah.
Dinamika perkembangan dunia yang luas dan tersebar tersebut belum tentu dapat diikuti oleh warga dunia. Dalam mengikuti isu-isu dunia, wawasan masyarakat dunia terbatas, informasi yang diperoleh belum diperbarui dan belum ditempatkan sesuai konteksnya. Akibatnya, masyarakat sering kali keliru dalam menilai dan memahami situasi dunia.
Hans Rosling bersama Ola Rosling dan Anna Rosling Ronnlund menawarkan cara yang mudah untuk dapat memahami situasi dunia dengan tepat dan bijak, yaitu melalui factfulness. Factfulness adalah cara memandang dunia yang didasarkan pada fakta. Hans yang berprofesi sebagai dokter, profesor, dan pengajar memulai kampanyenya karena kegundahannya setelah melihat, mendengar, hingga meneliti pandangan orang-orang terhadap dunia saat ini yang keliru.
Penelitiannya dilakukan dengan menyebar kuesioner berisi 13 pertanyaan ke ribuan orang di sejumlah negara dengan latar belakang sosial demografi yang beragam. Pertanyaannya merupakan pertanyaan dasar tentang kondisi demografi, ekonomi, kesehatan, pendidikan saat ini atau perkiraan ke depan. Beberapa contoh pertanyaannya yaitu di negara kelas ekonomi mana mayoritas populasi dunia tinggal, berapa angka harapan hidup penduduk dunia saat ini, dan lain-lain.
Hasilnya, mayoritas responden kurang tepat memandang kondisi dunia. Bahkan, hasilnya lebih buruk dibandingkan jika jawaban dipilih secara acak. Dunia yang ada dalam benak masyarakat tampak lebih buruk dari faktanya, bahkan sering kali dibayangkan sangat dramatis dari aslinya.
Kesimpulan tersebut tidak terpengaruh latar belakang pendidikan dan profesi. Nyatanya responden yang memiliki latar pendidikan tinggi atau bahkan memiliki ketertarikan isu yang sama dengan pertanyaan yang diajukan Hans tetap saja salah menjawab.
Kemungkinan lain responden salah menjawab adalah karena pemberitaan media yang keliru. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal lain yang tampak lebih signifikan menjadi alasan kekeliruan orang memandang situasi dunia adalah keterbaruan data yang diterimanya. Namun, ini pun masih perlu dibuktikan.
Setelah diteliti lebih lanjut, menurut Hans, penyebab kekeliruan tersebut adalah cara pandang terhadap dunia yang terlalu dramatis (overdramatic worldview). Maka, atas kegundahannya itu, Hans bersama anak-anaknya memulai upaya meluruskan kekeliruan ini melalui paparan di TED dan melalui situs Gapminder.org serta Dollar Street.
Buku Factfulness: Ten Reasons We’re Wrong About the World and Why Things Are Better Than You Think menjadi cara terakhirnya mengajak pembaca untuk mengenali dan melihat dunia berdasarkan fakta dan data.
Sepuluh alasan
Sepanjang buku dengan 342 halaman ini, pembaca akan disajikan beragam fakta dan data yang membuktikan kekeliruan kita memandang dunia. Semuanya dirangkum dalam sepuluh alasan mengapa kita keliru menilai dunia. Setiap alasan dijabarkan dalam satu bab.
Sepuluh alasan tersebut terdiri dari naluri jarak, negativitas, garis lurus, ketakutan, ukuran, generalisasi, tujuan, perspektif tunggal, kemarahan, dan urgensi. Dari sepuluh alasan itu, Hans menyarankan pembaca untuk memahami penjelasannya tentang naluri celah di bab pertama dalam bukunya. Di dalam bab ini Hans memberikan solusi kekeliruan naluri celah yang ia gunakan dalam sepanjang pemabahasan di bukunya.
Kekeliruan naluri celah (gap) selama ini adalah orang-orang terbiasa membagi segala sesuatu menjadi dua bagian. Contohnya kaya-miskin, baik-buruk, negara maju-negara berkembang. Padahal, sering kali mayoritas subyek ada di celah di antara dua hal tersebut.
Kekeliruan ini terbukti dari pertanyaan ”dari seluruh populasi dunia, berapa persen di antaranya tinggal di negara berpendapatan rendah?”. Mayoritas responden menjawab 59 persen penduduk dunia tinggal di negara berpendapatan rendah. Padahal, faktanya, hanya 9 persen penduduk dunia yang tinggal di negara berpendapatan rendah.
Lantas di manakah mayoritas penduduk dunia tinggal? Sebanyak 75 persen penduduk dunia tinggal di negara berpendapatan menengah. Negara berpendapatan menengah sering kali tidak diperhitungkan dalam pola pikir kita yang membayangkan hanya ada negara berpendapatan tinggi dan negara berpendapatan rendah.
Maka, sudah seharusnya kita tidak lagi membagi dunia dalam dua kategori negara yang sudah tidak faktual. Hans memberikan solusi yaitu dengan membagi kategori penduduk dunia menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat pendapatan. Di setiap kelompok, Hans memberikan keterangan kondisi sosial ekonomi keluarga supaya pembaca dapat membayangkan kehidupan yang sesungguhnya.
Level pertama adalah orang-orang yang berpendapatan 1 dollar AS per hari dan dalam kondisi miskin parah. Level kedua adalah orang dengan pendapatan 4 dollar AS per hari dan dapat membeli makanan beragam, menyekolahkan anak, dan menerima akses listrik.
Level ketiga yaitu orang berpendapatan 16 dollar AS per hari yang sudah mampu membeli sepeda motor, menabung untuk biaya sekolah dan kesehatan keluarga, serta menyediakan biaya wisata keluarga. Level terakhir adalah kelompok orang yang menerima lebih dari 64 dollar AS per hari yang sudah dapat hidup mewah.
Berdasarkan kategorisasi Hans, saat ini penduduk dunia yang berada di negara berpendapatan menengah ada di level kedua dan ketiga. Sementara 9 persen penduduk di negara berpedapatan rendah ada di level pertama.
Penjelasan tersebut merupakan salah satu contoh penjabaran kekeliruan kita yang juga dirinci oleh Hans di bab lainnya. Selain memberikan penjelasan tentang kekeliruan orang memandang dunia, pada setiap akhir bab Hans menutupnya dengan cara cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi kekeliruan ini.
Misalnya dalam kekeliruan naluri celah, Hans memberikan saran kepada pembaca untuk berhati-hati melakukan perbandingan rerata suatu data. Jika suatu rerata data tampak memiliki celah, sebaiknya dilakukan pengecekan secara detail. Siapa tahu terjadi overlap data sehingga sebenarnya tidak ada selisih di antara dua kelompok data.
Dunia berubah
Salah satu penyebab kita keliru memandang dunia adalah karena secara tidak sadar, kita tidak mengakui bahwa dunia telah berubah. ”Budaya, bangsa, agama, dan orang-orang bukanlah batu. Mereka bertransformasi secara konstan,” kata Hans. Situasi dunia 50 tahun silam tidak sama dengan hari ini, demikian pula seratus tahun lagi kondisinya pasti berbeda.
Hans menggambarkan ini dengan kondisi Swedia, negara kelahirannya, saat tahun 1948. Pada saat itu, berdasarkan kondisi kesejahteraan dan kesehatan, Swedia berada di level ketiga atau sama dengan kondisi Mesir saat ini. Selama periode 1950 sampai 1960, Swedia berkembang menjadi setingkat dengan Malaysia saat ini atau memasuki level keempat. Pada 2017, Swedia telah berhasil berada di level keempat seutuhnya.
Perubahan seperti itu juga terjadi di berbagai sektor, seperti ekonomi, kependudukan, kesehatan, dan budaya di seluruh dunia. Meskipun peningkatan atau penurunannya sedikit, bukan berati dunia tidak berubah.
Proporsi orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem berkurang dari 50 persen pada 1966 menjadi 9 persen pada 2017. Rata-rata angka harapan hidup penduduk dunia meningkat dari 31 tahun pada 1800 menjadi 72 tahun pada 2017. Rata-rata jumlah bayi setiap perempuan menurun dari 5 kelahiran bayi pada 1965 menjadi 2,5 bayi pada 2017. Masih banyak lagi perubahan lain yang telah terjadi tetapi tidak tergambarkan.
Menurut Hans, ketidaktahuan kita tentang situasi dunia saat ini karena wawasan kita sudah tertinggal. Kita mengetahui angka-angka dan data global terakhir mungkin saat kita sekolah. Namun, semua kini sudah berbeda.
Parahnya, informasi tentang kondisi dunia yang buruk lebih sering kita terima. Media sering kali memberitakan lebih banyak kabar buruk tentang dunia untuk menarik perhatian konsumen. Secara alam bawah sadar, kita tendensi untuk lebih terkecoh dengan informasi buruk dibandingkan informasi yang positif.
Akibatnya, semuanya tampak lebih buruk. Padahal, menurut fakta-fakta yang dituliskan Hans, banyak hal sudah lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Maka tidak heran, kita sering kali stres, takut, dan cemas karena kondisi dunia saat ini.
Berpikir kritis
”Kurangnya pengetahuan tentang dunia saat ini adalah masalah yang paling memprihatinkan dari semua masalah yang ada,” kata Hans. Lantas bagaimana bisa pembuat kebijakan dan politisi menyelesaikan masalah dunia jika mereka keliru tentang fakta yang ada?
Bagaimana bisa pebisnis mengambil keputusan untuk bisnisnya jika pandangan mereka tentang dunia tidak tepat? Bagaimana kita bisa melanjutkan hidup dengan mengetahui mana permasalahan yang seharusnya kita pikirkan dan cemaskan?
Menurut Hans, ketidaktahuan kita tentang situasi dunia saat ini karena wawasan kita sudah tertinggal.
Pada akhir buku, Hans mengingatkan bahwa ada baiknya kita berpikir kritis memandang dunia. Hans mengajar pembacanya untuk selalu mencari informasi dan data terkini tentang suatu isu. Tak cukup hanya itu, ia juga mengajak pembacanya untuk tidak selalu menerima mentah-mentah data dan informasi tetapi harus ditelaah sejarahnya, situasi di lapangan, dan detail dari data tersebut.
Semuanya itu dicontohkan Hans dalam bukunya berupa gambar dan grafik yang berisi data. Bagi pembaca yang awam data memang butuh sedikit tenaga untuk memahaminya. Namun, penjelasan dalam setiap bab tentang data dan grafik cukup mudah untuk dipahami. Untuk pembaca yang tertarik mempelajari lebih lanjut, Hans memberikan penjabaran lengkap dan gratis di situs Gapminder.org.
Factfulness sama seperti diet sehat yang harus dilatih dan menjadi gaya hidup. Pada akhir bukunya, Hans memberikan pesan dan petunjuk bagaimana kita dalam sehari-hari dapat menerapkan ajarannya.
Kepada para orangtua, mereka diharapkan untuk mendidik anak-anak berbasis data terkini dan fakta yang terjadi. Selain itu, anak-anak juga perlu diajarkan kerendahan hati untuk dapat memperluas wawasannya dan keingintahuan untuk terus gigih mencari tahu sebuah isu.
Kepada para pebisnis, ia mengingatkan bahwa pangsa pasar tidak lagi berada di negara Barat, tetapi sudah berubah ke negara-negara di Afrika dan Asia. Kepada para jurnalis yang sangat berperan membentuk cara pandang masyarakat, Hans berpesan untuk mengkaitkan sebuah isu pada konteks sejarah sehingga dapat menempatkan masalah pada proporsinya.
Kepada organisasi atau lembaga profesional, silakan bertanya kepada kolega atau para profesional apakah mereka mengetahui tren isu yang mereka tangani dengan sesungguhnya.
Hans menjanjikan pembacanya manfaat dari factfulness yang diterapkan sehari-hari. Pertama, cara pandang dunia berdasarkan fakta sangat berguna untuk mengarahkan kehidupan. Sama seperti GPS yang akurat dapat mengarahkan penggunanya sampai ke kota tujuan.
Baca juga: Kata "Big Data" tentang Dunia Kita
Kedua, factfulness membuat hidup lebih nyaman. Ini membuat kita tidak stres dan tidak berpengharapan melihat dunia hanya karena satu informasi dramatis yang tampaknya sangat menyedihkan.
Ketika kita memiliki cara pandang tentang dunia berdasarkan fakta, kita melihat dunia tidak seburuk kelihatannya dan kita dapat melihat apa yang perlu kita lakukan untuk menjadikannya semakin baik. Selamat mencoba factfulness!. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menjaga Hutan, Mencegah Pandemi