Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Perbedaan pendapat sudah melekat dalam sejarah pembentukan negeri ini. Perdebatan soal wilayah Indonesia 75 tahun silam menjadi rekam jejak bahwa perbedaan merupakan hal biasa, tanpa melahirkan perpecahan.
Silang pendapat para pendiri bangsa mewarnai pembahasan saat menentukan landasan bernegara 75 tahun silam. Namun, hingga akhir persidangan tak ada nada perpecahan di tengah perbedaan pendapat. Para tokoh bangsa saat itu menerima dengan kepala dingin setiap kesepakatan di tengah alam pikiran yang berbeda.
Hingga 22 Agustus 1945, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para tokoh bangsa masih disibukkan dengan diskusi penentuan sejumlah landasan untuk menjalankan pemerintahan negara. Diskusi itu telah dilakukan secara bertahap sejak Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Selama berlangsungnya sidang, perbedaan pandangan sering kali terjadi di antara para tokoh bangsa. Satu-dua berbeda pandangan tentang hal yang substansial, sementara perbedaan lain menyangkut hal redaksional.
Perdebatan alot secara substansial salah satunya terjadi pada 10 Juli 1945 dalam sidang di Gedung Tyuuoo Sangi-In atau yang kini dikenal sebagai Gedung Pancasila di lingkungan Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat. Saat itu, para tokoh bangsa sedang membahas penentuan wilayah negara.
Muhammad Yamin mengusulkan bahwa wilayah negara harus mencakup bekas daerah Hindia Belanda beserta Papua, Timor Portugis (saat ini Timor Leste), bagian utara Kalimantan, dan Semenanjung Malaya (saat ini Malaysia). Gagasan ini diamini oleh Soekarno. Khususnya tentang Malaya, Soekarno menegaskan bahwa telah terdapat keinginan dari perwakilan Malaya untuk menjadi bagian dari Indonesia.
Namun, Mohammad Hatta memiliki pandangan lain. Menurut Hatta, wilayah Indonesia seharusnya adalah daerah Hindia Belanda. Wilayah lain dapat bergabung hanya jika memiliki kehendak yang kuat dari rakyatnya sehingga Indonesia jauh dari praktik imperialisme.
Perbedaan pandangan secara substansial juga terjadi dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945. Saat itu sedang dilakukan pembahasan tentang pembagian provinsi di wilayah Indonesia.
Saat membahas Pulau Sumatera terjadi adu gagasan antara Soeroso, Otto Iskandardinata, dan Mohammad Hatta. Otto Iskandardinata berargumen sebaiknya Pulau Sumatera cukup memiliki satu provinsi. Pertimbangannya adalah jumlah penduduk di Pulau Sumatera yang tidak sebanyak di Pulau Jawa sehingga cukup dibantu dengan para wakil gubernur untuk daerah lain.
Namun, gagasan ini dipatahkan oleh Soeroso dan Mohammad Hatta. Kedua tokoh bangsa ini menilai selayaknya Pulau Sumatera memiliki tiga provinsi agar beban pengaturan wilayah bisa dibagi secara lebih merata.
”Saya tidak setuju dengan peraturan yang diusulkan. Janganlah yang kita pandang penduduk saja, tetapi luas daerahnya yang berpengaruh bagi tiap-tiap peraturan pemerintah,” kata Hatta sebagaimana tercantum dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Sekretariat Negara, 1995).
Diskusi kemudian masih berlanjut dengan pandangan beberapa anggota, seperti Soepomo dan Teuku Mohammad Hasan. Sidang kemudian menyepakati bahwa Pulau Sumatera tetap dipimpin oleh seorang gubernur yang disertai dengan komite nasional wilayah Sumatera.
Baca juga : Mengapa Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke?
Redaksional
Selain substansial, perdebatan juga menyangkut ranah redaksional. Dalam merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar (UUD), misalnya, pada 15 Juli 1945 terjadi perbedaan pandangan antara Muhammad Yamin dan Soepomo dalam sidang BPUPKI.
Muhammad Yamin mengusulkan agar wilayah negara dimasukkan ke dalam naskah rancangan Undang-Undang Dasar. Usulan serupa juga disampaikan perihal ibu kota negara Republik Indonesia yang pertama.
”Saya menolak segala alasan-alasan yang menyatakan bahwa tidak akan disebutkan putusan itu dalam hukum dasar ini dan saya sanggup memberikan alasan-alasan yang kuat untuk menyatakan supaya daerah-daerah itu dengan nyata-nyata disebutkan dalam hukum dasar kita menurut kebulatan permusyawaratan yang telah kita putuskan,” kata Yamin.
Namun, pandangan ini ditolak oleh Soepomo. Menurut dia, wilayah negara dan ibu kota tidak perlu dimasukkan ke dalam naskah UUD. ”Saya belum pernah mengetahui Undang-Undang Dasar yang memberi penjelasan tentang batas-batas negara,” ujar Soepomo.
Topik serupa kembali dibahas dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Iwa Koesoemasoemantri memberikan usul tentang penyertaan wilayah negara dalam UUD. Namun, usulan ini ditolak oleh Soekarno.
”Dalam Undang-Undang Dasar yang modern, daerah tidak masuk,” kata Soekarno menolak.
Perdebatan redaksional lain adalah saat Abikoesno Tjokrosoejoso mengajukan perubahan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden pada 15 Juli 1945. Menurut Abikoesno, dibutuhkan kalimat yang mampu mengikat jiwa dan raga seluruh rakyat dalam sumpah yang dibacakan. Untuk itu, Presiden perlu bersumpah untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan bangsa dengan jiwa dan raga yang dimiliki.
Namun, usulan ini ditolak oleh Soekardjo Wirjopranoto yang menilai bahwa sumpah cukup dinyatakan dengan perkataan yang sederhana. Ini sesuai dengan ciri khas Indonesia yang terkenal dengan kesederhanaan.
”Saya merasa dan percaya bahwa dengan kalimat dan perkataan yang sangat sederhana itu, Presiden yang sudah bersumpah begitu tidak akan meninggalkan negara atau kedaulatannya, tetapi akan mempertahankan dengan jiwa raga kemerdekaan dan kedaulatan negara Indonesia. Maka dari itu, saya tidak setuju dengan usul Tuan Abikoesno,” kata Soekardjo menolak.
Dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, perbedaan pandangan juga pernah terjadi antara Otto Iskandardinata dan Soekarno. Saat itu terdapat usulan untuk menghapus kata ”pintu gerbang” dalam naskah pembukaan UUD dari Otto Iskandardinata. Dengan usulan ini, bagian kalimat pembuka dalam naskah UUD berbunyi ”…mengantarkan rakyat Indonesia ke negara Indonesia”.
Namun, usulan ini ditolak oleh Soekarno yang kemudian didukung oleh Mohammad Hatta. Pasalnya, pada awal kemerdekaan, para pendiri bangsa membawa rakyat ke pintu gerbang negara sehingga kata ”pintu gerbang” tetap perlu dipertahankan.
Begitulah para tokoh bangsa mengemukakan pandangannya. Secara jelas dan tegas, ketidaksepahaman disampaikan dengan terbuka beserta argumen yang melandasinya.
Baca juga : Yogyakarta dan Pesan Kemerdekaan Soekarno
Mufakat
Meski perbedaan pendapat sering kali terjadi, semangat persatuan tampak begitu kental di tengah setiap perdebatan yang muncul, baik dalam sidang BPUPKI ataupun PPKI.
Setiap persidangan selalu mengutamakan musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Namun, jika musyawarah terjadi berlarut-larut, beberapa kali pemungutan suara dilakukan dalam sidang BPUPKI untuk mencapai kesepakatan.
Pemungutan suara salah satunya dilakukan pada tanggal 10 Juli 1945. Saat itu, diskusi panjang tentang bentuk pemerintahan negara diputuskan diakhiri dengan pemungutan suara untuk memilih republik atau kerajaan.
Pemungutan suara dimulai dengan mengheningkan cipta dan berdoa. Dari 64 suara yang dikumpulkan, 55 suara di antaranya memilih republik sebagai bentuk pemerintahan negara Indonesia, sedangkan enam suara lainnya memilih kerajaan. Seusai pemungutan suara, semua menerima dengan kepala dingin.
Pemungutan suara juga dilakukan pada sidang BPUPKI untuk mencapai kata mufakat tentang penyertaan wilayah negara dan ibu kota dalam rancangan Undang-Undang Dasar serta sumpah Presiden dan Wakil Presiden.
Pilihan pemungutan suara ini tidak terlepas dari banyaknya pemikiran yang diluapkan dalam sidang. Hal ini berbeda dengan sidang PPKI setelah proklamasi kemerdekaan saat para tokoh bangsa telah memiliki gambaran yang lebih terang tentang konsep bernegara yang akan dijalankan.
Meski demikian, pemungutan suara pernah dilakukan dalam sidang PPKI. Salah satunya ketika memutuskan pendapat Hatta tentang Departemen Kemakmuran pada tanggal 19 Agustus 1945. Hatta mengusulkan agar Departemen Kemakmuran dibagi menjadi dua, yakni Departemen Perekonomian dan Departemen Makanan Rakyat. Dengan mengikuti suara terbanyak (18 suara), sidang akhirnya menolak pandangan Hatta dan menyepakati berdirinya Departemen Kemakmuran.
Sejak sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 hingga berakhirnya sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945, para tokoh bangsa menunjukkan sikap kedewasaan dalam berdiskusi di tengah perbedaan pendapat. Tidak ada sikap saling caci, apalagi hingga melempar kursi, seperti yang beberapa kali ditemukan di alam reformasi. Semua perbedaan pandangan bermuara pada satu semangat yang sama, yakni persatuan Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?