Ketertinggalan Akademik Siswa Indonesia di Kancah Dunia
Indikator capaian pembangunan pendidikan nasional menunjukkan peningkatan di berbagai segi. Meski demikian, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat kemampuan akademik siswa Indonesia.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Indikator capaian pembangunan pendidikan nasional menunjukkan peningkatan di berbagai segi. Meski demikian, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat kemampuan akademik siswa Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan kemampuan siswa di negara lain.
Selama ini, potret membaik atau memburuknya pendidikan di Indonesia didapatkan dari pengamatan terhadap berbagai indikator. Beberapa indikator yang kerap digunakan tersebut meliputi angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, tingkat pendidikan yang ditamatkan, dan persentase penduduk buta huruf. Setiap tahun, angka-angka yang tertera pada indikator ini menjadi acuan bagi pengambil kebijakan untuk mengatur arah pendidikan di Indonesia.
Secara umum, empat variabel di atas mengalami tren yang positif. Hampir semua indikator selama satu dekade terakhir mendapatkan perbaikan konsisten setiap tahunnya. Perbaikan paling signifikan tampak dalam angka partisipasi murni (APM) pendidikan formal dan persentase buta huruf. Adapun variabel pendidikan yang ditamatkan serta rata-rata lama sekolah juga membaik meski kurang signifikan.
Perbaikan yang cukup signifikan dalam angka partisipasi murni pendidikan formal di Indonesia terlihat di setiap tingkatan pendidikan. Dari empat tingkat pendidikan, yakni SD, SMP, SMA, dan PT, kenaikan angka partisipasi tertinggi selama satu dekade terakhir paling banyak terjadi di tingkat SMP dan SMA. Pada 2010, APM pada tingkat SMP dan SMA berada di angka 67,62 dan 45,48. Angka ini terus naik hingga tahun 2019 mencapai 79,35 serta 60,70.
Hal serupa terjadi dalam persentase buta huruf. Pada 2010, persentase buta huruf di kelompok umur 10+, 15+, dan 45+ berada di atas angka 5 persen. Bahkan, pada kategori umur 45+, persentase buta huruf mencapai lebih dari 18 persen. Namun, persentase ini ditekan hingga masing-masing 3,70 persen; 4,10 persen; dan 9,92 persen. Di luar APM dan persentase buta huruf, beberapa variabel seperti pendidikan yang ditamatkan serta rata-rata lama sekolah meningkat tidak signifikan.
Peningkatan lama sekolah, dalam hal rata-rata lama sekolah, terjadi di semua tingkat perekonomian mulai dari kuintil 1 hingga kuintil 5 selama lima tahun terakhir. Kuintil 1 artinya 20 persen penduduk termiskin, sedangkan kuintil 5 adalah 20 persen penduduk terkaya. Perubahan paling besar terjadi pada kuintil 1 dan 2 dengan peningkatan 0,63 tahun. Di sisi lain, ada permasalahan ketimpangan akses pendidikan. Anak-anak yang berada di keluarga yang kurang mampu dapat dipastikan masih sulit untuk mengenyam pendidikan hingga ke tingkat yang tinggi.
Ketimpangan terutama terlihat dari indikator rata-rata lama sekolah. Selama separuh dekade terakhir, masyarakat yang berada di kategori pengeluaran kuintil 1 memiliki rata-rata lama sekolah di kisaran 6 tahun. Hal serupa terjadi pada masyarakat yang berada di kuintil 2 dengan rata-rata lama sekolah 7 tahun.
Masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok kuintil 3 dan 4 cenderung lebih baik dengan adanya peningkatan lima tahun terakhir, dari kisaran angka 7 dan 8 tahun menjadi 8 dan 9 tahun. Adapun masyarakat yang berada di kategori kuintil 5 relatif konsisten memiliki rerata lama sekolah di kisaran angka 11 tahun, atau paling mendekati target wajib sekolah 12 tahun pemerintah.
Metode PISA
Meski menunjukkan sebuah potret, indikator yang digunakan Pemerintah Indonesia dalam mengukur kualitas pendidikan perlu dipertanyakan. Dari berbagai indikator yang digunakan, sebagian besar mengukur besaran kuantitas, misalnya jumlah siswa, persentase siswa, dan lama tahun sekolah. Padahal, menilai kualitas pendidikan tak melulu soal jumlah. Besaran kuantitas yang terus meningkat pada indikator-indikator tersebut tak serta-merta menunjukkan peningkatan kualitas pendidikan yang diberikan kepada murid.
Ada metode pengukuran di tingkat internasional yang kerap digunakan untuk melihat kualitas pendidikan. Salah satunya ialah Programme for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan program penilaian siswa sekolah di seluruh negara anggota OECD. Tes ini mengukur kemampuan anak-anak berusia 15 tahun untuk membaca, memahami soal matematika, dan sains. Tujuannya, negara-negara yang mengikuti tes ini dapat melihat kemampuan murid mereka untuk memenuhi tantangan kehidupan di dunia nyata setelah masa sekolah.
PISA berbeda dengan metode pengukuran pendidikan lain. Seperti yang telah disinggung, berbagai penelitian terhadap kualitas pendidikan baik di tingkat nasional maupun internasional didasarkan pada indikator yang lebih mengarah ke kuantitas seperti lama tahun sekolah. Hal ini dianggap oleh negara anggota OECD bukan sebagai indikator mutu pendidikan yang dapat diandalkan.
Lembaga PISA berusaha untuk menguji pengetahuan dan keterampilan siswa sekolah secara langsung melalui matriks yang disepakati secara internasional. Setelah itu, data yang didapatkan dikaitkan dengan data kondisi siswa, guru, sekolah, dan kebijakan di suatu negara untuk melihat perbedaan kinerja sistem pendidikan. PISA tidak hanya bertujuan mengukur kemampuan siswa dalam menerima pelajaran.
Tes ini memiliki tujuan melihat seberapa jauh siswa dapat menerapkan apa yang mereka pahami di dalam kelas. Maka, siswa yang mengikuti tes ini diberi tantangan yang harus diselesaikan dengan solusi di luar buku teks. Hasilnya, PISA menunjukkan endapan pengalaman belajar dan kreativitas siswa.
Jika dibandingkan dengan hasil dari indikator pendidikan yang digunakan oleh pemerintah, kualitas pendidikan Indonesia berdasarkan PISA jauh tertinggal dari negara lain. Pada PISA 2018, siswa Indonesia mendapat nilai rata-rata 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk IPA. Nilai tersebut jauh tertinggal dari hasil rata-rata negara anggota OECD yang sebesar 487 untuk membaca, dan 489 untuk matematika serta IPA.
Dalam membaca, hanya 30 persen siswa Indonesia yang berkemampuan membaca setara atau lebih tinggi dari tingkat 2. Dalam tingkatan ini, siswa diharapkan untuk dapat mengidentifikasi gagasan utama dalam teks dengan panjang sedang, mencari informasi yang diperlukan, dan merefleksikan bentuk serta tujuan dari teks.
Adapun porsi siswa yang memiliki kemampuan membaca di tingkat 5 atau 6, yakni mampu memahami teks panjang dengan gagasan abstrak serta membedakan fakta dan opini, kurang dari 1 persen. Capaian ini jelas tertinggal dari rata-rata OECD dengan angka 77 persen di tingkat 2, dan 9 persen di tingkat 5 atau 6.
Sayangnya, pendidikan Indonesia seolah jalan di tempat.
Hasil yang tak jauh berbeda juga terlihat dalam kemampuan matematika. Hanya 28 persen siswa Indonesia memiliki kemampuan matematika di tingkat 2 atau di atasnya. Capaian ini jauh tertinggal dari hasil rerata negara OECD, yakni 78 persen dari siswa yang dites memiliki kemampuan matematika di tingkat 2 atau di atasnya, dan 10 persen di tingkat 5 atau 6.
Kemampuan siswa Indonesia dalam tes IPA cenderung lebih baik. Dalam tes ini, 40 persen siswa Indonesia memiliki kemampuan di tingkat 2 atau di atasnya. Namun, capaian ini masih tertinggal juga dari rerata OECD, yakni 78 persen dengan kemampuan di tingkat 2, dan 7 persen di tingkat 5 atau 6. Ketertinggalan Indonesia di tingkat internasional ini bukan hal baru. Indonesia telah ikut berpartisipasi dalam PISA sejak tahun 2001.
Sayangnya, pendidikan Indonesia seolah jalan di tempat. Contohnya, dalam hal kemampuan membaca, skor siswa Indonesia sama sebesar 371 poin pada tahun 2001 dan 2018. Dapat ditarik kesimpulan, pendidikan di Indonesia masih berfokus pada ukuran kuantitas. Di tengah semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan dunia, rendahnya hasil uji kualitas pendidikan ini menjadi alarm. Jangan sampai para siswa itu setelah lulus nanti kalah bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri. (LITBANG KOMPAS)