Beban Ganda Guru di Tahun Ajaran Baru
Dua pertiga responden dalam jajak pendapat ”Kompas” berpendapat, para guru tidak siap menjalankan kegiatan mengajar jarak jauh karena persoalan teknologi.
Tahun 2020 adalah pengalaman bagi banyak guru untuk menjawab dua tantangan besar. Para guru dituntut mampu membagi ilmu dengan optimal, sedangkan mereka juga berjibaku dengan penguasaan teknologi untuk mengajar jarak jauh.
Pandemi Covid-19 turut mengubah sistem pendidikan nasional. Kegiatan belajar-mengajar yang sebelumnya dilakukan dengan interaksi langsung atau tatap muka mendadak harus berjarak lewat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan penularan Covid-19, mengingat sangat mungkin terjadinya kerumunan di lingkungan sekolah.
Kegiatan belajar dari rumah tersebut resmi berlaku bagi semua sekolah di Indonesia sejak diterbitkannya Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 26 Maret 2020. Dalam surat edaran tersebut disebutkan, pembelajaran dapat dilakukan secara daring dan dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.
Kurikulum yang berlaku selama ini pun mendadak bukan lagi sebagai acuan capaian pembelajaran. Kondisi tersebut dapat dikatakan memberikan efek kejut bagi para guru, terutama guru yang tidak terbiasa mengajar secara daring. Dalam pelaksanaanya, sejumlah kendala mewarnai kegiatan PJJ yang telah berlangsung sekitar 3,5 bulan terakhir. Pasalnya, tidak semua kegiatan dapat dilakukan secara daring karena kendala eksternal hingga internal.
Kendala
Dalam jajak pendapat Kompas, pekan lalu, empat dari sepuluh responden mengatakan bahwa problem intenal yang dihadapi banyak guru menjadi kendala utama pelaksanaan PJJ. Persoalan internal yang dimaksud salah satunya kelayakan perangkat elektronik, seperti laptop, komputer, atau gawai, yang harus dimiliki guru untuk mengajar secara daring.
Sejatinya, dalam hal komunikasi di zaman modern seperti saat ini, jarak bukanlah sebuah persoalan serius. Teknologi yang menyediakan adanya fitur tatap muka virtual bisa menjadi jawaban ketika sebuah pertemuan harus dibatasi dengan jarak, termasuk untuk kegiatan belajar-mengajar.
Namun, ketika sarana tersebut tidak dimiliki, pembelajaran daring mustahil untuk dilakukan. Selain itu, sebagian guru yang memiliki perangkat teknologi memadai tetapi masih juga gagap menggunakannya, mengakibatkan pembelajaran daring juga sulit dilakukan.
Selain kendala internal, problem dari luar yang dihadapi para guru menjadi hambatan tersendiri dalam pelaksanaan PJJ. Empat dari sepuluh responden mempersoalkan jaringan internet yang tidak memadai sebagai problem eksternal terbesar dalam proses mengajar.
Baca juga: Persoalan Pendidikan dari Masa ke Masa
Boleh jadi, tidak sedikit guru dan siswa sudah memiliki perangkat elektronik yang dapat mendukung sistem pembelajaran serta sudah melek teknologi. Namun, ketika jaringan internet tidak tersedia, boleh dikata perangkat tersebut menjadi sia-sia.
Hal tersebut menjadi persoalan mendasar bagi banyak daerah di Tanah Air, terutama wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal. Merujuk publikasi Statistik Potensi Desa (Podes) 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dari total 83.931 desa di Indonesia, 16,3 persen di antaranya tidak terdapat sinyal internet, bahkan sinyal telepon seluler.
Daerah Indonesia bagian timur menjadi wilayah dengan sistem jaringan internet yang paling buruk, seperti di Papua, Papua Barat, dan Maluku, di mana lebih dari separuh desa dari total desa wilayah tersebut tidak tersentuh jaringan komunikasi jarak jauh.
Beragam metode
Kondisi tersebut secara tidak langsung menuntut guru untuk kreatif. Pasalnya, anjuran untuk melakukan pembelajaran daring, seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor 4 tahun 2020, praktis tidak dapat dilakukan di semua daerah. Sejumlah metode pun dilakukan guru demi menjaga kegiatan PJJ tetap berlangsung.
Kondisi tersebut berujung pada beragamnya metode pembelajaran yang ditempuh para guru agar siswa tetap memperoleh ilmu. Sepertiga responden dalam jajak pendapat Kompas mengungkapkan, guru melakukan pembelajaran daring interaktif dengan memanfaatkan aplikasi seperti Zoom dan Google Meet. Pembelajaran daring semi-interaktif juga dilakukan sejumlah guru melalui siaran langsung (live) di media sosial, seperti Instagram atau Youtube.
Metode tersebut tentu bukan menjadi persoalan bagi guru dengan fasilitas lengkap, yakni memiliki perangkat elektronik, peka terhadap teknologi, dan tidak terkendala jaringan internet. Apalagi, bagi guru yang sudah mulai menerapkan pembelajaran daring sejak sebelum pandemi melanda, dapat dipastikan hal tersebut mudah dilakukan.
Sebagai contoh, dikutip dari publikasi Kemendikbud, seorang guru di salah satu SMA di Cilegon, Erni Yulianti, mampu memanfaatkan teknologi dengan optimal dalam pelaksanaan PJJ. Erni mengakui salah satu aplikasi, yakni Zoom, dapat meningkatkan pemahaman siswa karena selain dapat berkomunikasi secara nyata (real time), Zoom juga menyediakan fitur untuk berbagi materi.
Namun, tidak semua guru dapat menerapkan metode tersebut. Menelusuri lebih dalam hasil jajak pendapat Kompas, 60 persen pembelajaran daring secara interaktif dengan aplikasi Zoom ataupun Google Meet masih terpusat di Pulau Jawa dan 20 persen di Pulau Sumatera. Sedangkan pulau lain hanya kurang dari 10 persen.
Maka, tidak semua guru dapat menerapkan metode tersebut. Separuh dari responden mengatakan, guru hanya memberikan tugas melalui grup orangtua atau siswa melalui aplikasi Whatsapp/Line. Tugas yang telah dikerjakan oleh siswa dikirimkan kepada guru melalui e-mail atau dilaporkan dalam grup terkait.
Hal ini boleh jadi diupayakan oleh guru yang sejatinya memiliki perangkat elektronik, tetapi belum dapat memanfaatkannya secara optimal. Masih sebatas pada pemahaman dalam memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan pesan dengan teks.
Pembelajaran manual
Meski demikian, bagi guru yang memiliki fasilitas lengkap tidak serta-merta dapat mengoptimalkannya jika siswa yang menjadi tanggung jawabnya tidak memiliki perangkat yang memadai. Pada akhirnya guru memberikan lembar tugas kepada siswa untuk satu minggu atau satu bulan.
Lalu, siswa mengumpulkan tugas yang telah diselesaikan ke sekolah dan mengambil tugas untuk minggu atau bulan berikutnya, begitu seterusnya. Hal tersebut diungkapkan oleh 4,7 persen dari responden.
Bahkan, 4 persen responden lainnya mengatakan bahwa guru mendatangi rumah siswa satu per satu, demi menyalurkan ilmu dan memberikan semangat kepada siswa. Contohnya, seorang guru di Sumenep, Jawa Timur, Fathurrahman, mendatangi rumah siswa satu per satu yang berjarak hingga puluhan kilometer karena siswa tidak memiliki telepon pintar dan akses internet (Kompas, 21/4/2020). Hal serupa dilakukan oleh sejumlah guru di Kabupaten Grobogan dan Blora, Jawa Tengah (Kompas, 30/4/2020).
Metode tersebut boleh jadi sebagai upaya maksimal sejumlah guru agar materi dan ilmu tetap tersalurkan. Namun, tidak sedikit siswa yang menjadi terbeban dengan banyaknya tugas yang diberikan serta tidak optimalnya PJJ. Keluhan juga disampaikan oleh sejumlah siswa kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim melalui sebuah komunikasi virtual (Kompas.com, 18/6/2020).
Baca juga: Mempersoalkan Mutu dan Beban Psikologis Belajar di Rumah
Perlunya perbaikan
Fakta di lapangan tersebut membuat dua pertiga responden berpendapat bahwa guru di Indonesia tidak siap dalam menjalankan kegiatan mengajar jarak jauh. Empat dari sepuluh responden mengatakan bahwa pemerataan jaringan internet mendesak dilakukan.
Pemerataan jaringan internet bukan hanya membawa manfaat bagi dunia pendidikan, melainkan juga untuk perekonomian secara lebih luas. Pada masa pandemi ini, boleh dikata internet menjadi kebutuhan primer yang dapat menjaga komunikasi meski terbatas oleh jarak.
Tiga dari sepuluh responden lainnya mengusulkan adanya pelatihan bagi guru tentang cara mengajar jarak jauh. Hal ini menjadi krusial dilakukan, mengingat PJJ masih tetap berlaku, terutama bagi daerah zona merah penularan Covid-19.
Namun, kebutuhan pelatihan tidak hanya terbatas pada guru di wilayah zona merah, tetapi bagi seluruh guru. Agaknya, saat ini menjadi momentum yang baik untuk menjadikan guru di Indonesia lebih peka terhadap teknologi, sebagai langkah penyesuaian terhadap digitalisasi yang marak terjadi saat ini.
Penyediaan fasilitas teknologi bagi guru pun tak luput dari perhatian seperempat responden. Perangkat elektronik pada zaman ini bukanlah menjadi barang mewah lagi, melainkan menjadi salah satu kebutuhan primer bagi manusia, begitu pun bagi dunia pendidikan.
Tak dapat dimungkiri bahwa pemerintah, khususnya Kemendikbud, telah berupaya keras dalam perombakan sistem pendidikan yang secara mendadak harus dilakukan. Pemanfaatan Lembaga Penyiaran Publik (LPP), seperti TVRI, pun menjadi salah satu jawaban agar ilmu tetap dapat tersalurkan kepada siswa di Indonesia.
Meski demikian, harus diingat bahwa guru bukan hanya bertugas memberikan ilmu, melainkan pembentukan karakter siswa juga turut diperjuangkan dengan adanya komunikasi dua arah.
Pembentukan karakter dapat pula dilakukan oleh orangtua atau keluarga, tetapi guru punya kemampuan tersendiri sebagai aplikasi dari apa yang telah dipelajari selama proses pendidikan. Kini, persoalan pendidikan bukan lagi menjadi tanggung jawab salah satu pihak, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. (LITBANG KOMPAS)