Mencegah KDRT Anak dari Pernikahan Usia Dini
Pernikahan anak merupakan praktik membahayakan terhadap perempuan dan anak karena tidak jarang diikuti oleh munculnya tindak kekerasan.
Perkawinan anak merupakan praktik membahayakan bagi perempuan. Praktik ini diikuti oleh potensi munculnya tindak kekerasan terhadap anak. Dapatkah Indonesia terlepas dari jerat praktik ini?
Menjelang akhir 2019, dua kasus penganiayaan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya patut dijadikan pembelajaran. Kedua kasus penganiayaan ini berujung pada kematian buah hati mereka. Satu poin yang patut disorot, kedua ibu kandung ini terhitung masih berusia muda.
Kasus pertama terjadi pada September 2019 di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dewi Regina (24) tega mencabut nyawa kedua anak kembarnya yang masing-masing berusia lima tahun. Saat diselidiki, Dewi mengakui tindakannya itu terjadi lantaran depresi karena memiliki masalah dengan suaminya terkait kebutuhan sehari-hari.
Sementara yang kedua, terjadi pada Oktober 2019 di Jakarta Barat. Seorang ibu berinisial NPA (21) mencekoki anaknya yang masih berusia dua tahun dengan air kemasan dalam galon hingga tewas. Dirinya mengakui bahwa tindakan itu akibat puncak emosinya karena kesal dengan suami yang banyak terlilit utang.
Jika diperhatikan dari segi usia, kedua ibu kandung tersebut minimal berusia 19 tahun ketika mengandung sang buah hati. Status pernikahan mereka pun terbilang legal, bukan nikah siri atau berasal dari pasangan yang belum menikah.
Dapat disimpulkan, mereka menikah di usia yang masih muda meski masih ada kemungkinan juga mereka menikah di usia belasan tahun. Perlu diingat, kedua kasus ini hanya contoh dari banyaknya kasus serupa yang masih mungkin terjadi.
Hal ini senada dengan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA). Jumlah tindak kekerasan terhadap anak oleh orangtua dari 2017 hingga 2019 selalu menunjuk angka di atas 1.500 kasus.
Pada 2017, jumlahnya mencapai 1.726 kasus dan naik pada 2018 menjadi 1.850 kasus. Kendati pada 2019 berkurang 192 kasus dari 2018, jumlahnya masih terbilang tinggi jika melihat sebaran pelaku kekerasan terhadap anak secara keseluruhan.
Sementara itu, temuan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) pada 2005 berjudul Early Marriage A Harmful Traditional Practice turut menyertakan imbauan atas implikasi dari pernikahan usia dini.
Dikatakan, potensi kekerasan rumah tangga besar terjadi pada pasangan yang menikah usia muda karena secara emosional dan kesiapan lain (seperti finansial dan edukasi) belum memadai. Umumnya, pelakunya ialah laki-laki dan kekerasan terjadi terhadap perempuan serta anak-anak di keluarga tersebut.
Efek domino
Menurut Unicef, perkawinan usia anak adalah perkawinan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi sebelum usia 18 tahun. Adapun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berpendapat, perkawinan yang sehat adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki yang telah mencapai usia 25 tahun dan pada perempuan telah memiliki usia 20 tahun.
Hal ini dipertimbangkan atas dasar kesiapan dan pentingnya sistem reproduksi dalam perkawinan. Kenyataannya di lapangan, masih ditemukan praktik perkawinan usia anak. Misalnya, seperti yang terjadi di Parepare, Sulawesi Selatan, Maret 2019 (Kompas, 6/3/2019).
Secara logis, alasan menikahkan kedua pasangan berusia 16 tahun (laki-laki) dan 14 tahun (perempuan) tersebut terbilang sepele; keduanya nekat kabur dari rumah jika tidak dinikahkan. Akhirnya, pihak orangtua pun merasa tidak ada jalan lain selain menuruti permintaan anaknya.
Praktik perkawinan usia anak yang lebih masif ditemukan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi merariq, yaitu menikah dengan melarikan calon pengantin perempuan, termasuk jika masih berusia anak, berlangsung sampai sekarang.
Mengacu laporan lainnya dari Unicef Indonesia, pada 2018, satu dari sembilan perempuan (berusia 20-24 tahun) di Indonesia sebelumnya menikah sebelum berusia 18 tahun. Sedangkan untuk laki-laki, perbandingannya satu dari 100 laki-laki. Estimasinya, terdapat 1.220.900 anak perempuan yang menikah dini.
Mengerucut pada perempuan berusia 20-24 tahun pada 2018 yang menikah di bawah umur, dari tahun-tahun angka prevalensinya turun meski tidak signifikan. Selama 10 tahun, angka prevalensi anak perempuan menikah di bawah umur masih di atas 11 persen. Pada 2008, jumlahnya tinggi hingga 14,67 persen. Sedangkan pada 2019 jumlahnya sudah turun, yakni 11,21 persen.
Dalam laporan yang disusun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), tingginya angka perkawinan anak di Indonesia dipicu oleh faktor sosial, budaya, ekonomi. Dari sosial dan budaya yang melanggengkan praktik ini, kawin di usia sangat muda adalah hal yang umum dilakukan dan sering kali justru oran tua yang menjodohkan pasangan anak tersebut.
Dari sisi ekonomi, menikahkan anak dengan orang yang lebih tua dianggap sebagai solusi atas ketidakmampuan keluarga si anak untuk merawatnya atau menyediakan pendidikan yang layak.
Padahal, jika dipadankan dengan laporan dari Unicef, pernikahan usia anak justru melanggengkan lingkaran setan kemiskinan. Faktanya, anak perempuan dari keluarga prasejahtera cenderung tiga kali lebih banyak melakukan praktik menikah usia muda dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga sejahtera. Artinya, ada ancaman kemiskinan yang akan terus berlanjut dan menjadi lingkaran setan jerat kemiskinan.
Selain ancaman kemiskinan yang meliputi, faktor ini turut memengaruhi hubungan dengan pasangan. Percekcokan hingga kekerasan rumah tangga akibat masalah finansial bukan lagi hal yang asing terdengar. Dua contoh kasus pembunuhan anak kandung di atas juga menunjukkan latar yang sama, pertikaian pasangan karena kurangnya kemampuan finansial.
Lebih lanjut, kurang matangnya emosional dan kesiapan finansial turut mendorong perceraian di kalangan pasangan nikah muda. Kerentanan perceraian pasangan ini juga disorot oleh Kementerian PPPA. Data 2018 menunjukkan, 0,70 persen anak perempuan usia 10-17 tahun sudah berstatus kawin. Ironisnya, 0,04 persen sudah ada yang melakukan perceraian.
Potensi kekerasan rumah tangga besar terjadi di pasangan yang menikah usia muda karena secara emosional belum memadai.
Jika menggunakan estimasi 1,2 juta anak perempuan yang menikah dini, ada sekitar 48.000 anak yang melakukan perceraian. Jumlah itu tidaklah sedikit meski belum diketahui lebih lanjut jumlah pasangan muda yang bercerai dalam kondisi sudah memiliki anak.
Masih ada rentetan efek domino lain dari pernikahan usia anak, seperti terbatasnya akses pendidikan dan pekerjaan. Intinya, pernikahan dilakukan saat laki-laki dan perempuan sudah siap secara fisik, mental, ataupun pengetahuan untuk membina rumah tangga. Itu pun belum menjamin bahwa rumah tangga yang berlangsung akan terhindar dari tindak kekerasan terhadap anak.
Tugas bersama
Nyatanya, pernikahan usia dini bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia. Di kalangan global, PBB memasukkan permasalahan ini dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 5 tentang Kesetaraan Jender.
Pada poin ketiga SDGs tertulis mengenai penghapusan praktik membahayakan bagi perempuan dan anak perempuan, seperti perkawinan anak dan sunat perempuan. Artinya, persoalan perkawinan usia anak turut menjadi bagian yang perlu diselesaikan sebelum 2030 nanti.
Unicef menaruh perhatian besar pada negara-negara di Asia Selatan dan Afrika yang memiliki tingkat perkawinan usia anak lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Kabar baiknya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, persentase anak perempuan di bawah umur yang menikah telah turun 19 persen. Hal ini menumbuhkan optimisme meski membutuhkan waktu yang sangat lama.
Baca juga: Mengajak Masyarakat Mencegah Orangtua Durhaka
Pemerintah sudah cukup memperhatikan persoalan ini dan mencoba mengatasinya dengan merevisi batas usia perkawinan (anak perempuan menjadi 19 tahun) dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait aturan batas usia pernikahan resmi. Putusan ini direvisi sesuai dengan amanat putusan MK No 22/PUU-XV/2017 tertanggal 13 Desember 2018.
Meski demikian, tugas pemerintah, lembaga terkait, dan tentu masyarakat masih belum selesai. Perlu proses sosialisasi dan internalisasi yang cukup lama untuk mengedukasi masyarakat yang masih berpegang teguh pada tradisi pernikahan usia anak. Bukan tidak mungkin, Indonesia dapat terlepas dari jerat praktik perkawinan usia anak meski memakan waktu yang sangat lama.
(LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?