Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 6-8 Juli 2020, responden ingin kembali menikmati waktu di kafe ataupun kedai penyedia makanan dan minuman. Dibukanya kembali kafe mengobati rindu warga yang hendak kongko.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Pada awal Juni 2020, pemerintah mengagendakan pengurangan pembatasan sosial. Hal ini direspons pebisnis makanan dan minuman dengan kembali membuka kafe atau kedai setelah ditutup selama pembatasan sosial. Kafe pun berlomba-lomba menarik pengunjung.
Dibukanya kembali kafe menjadi pengobat rindu bagi warga yang hendak kongko atau sebatas menikmati suasana luar. Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 6-8 Juli 2020, responden menunjukkan minat kembali menikmati waktu di kafe ataupun kedai penyedia makanan dan minuman.
Minat ini tak hanya datang dari responden yang sudah sering atau terbiasa mengunjungi kafe untuk bersantai, tetapi juga dari responden yang jarang ataupun sama sekali belum pernah pergi ke kafe.
Hal itu ditunjukkan oleh 32,7 persen responden yang menyatakan berminat untuk bersantai di kafe pada saat masa transisi ini. Dari semua responden yang berminat, 22,8 persen jarang sekali pergi ke kafe, dan 12 persen tak pernah datang ke tempat itu. Hasil ini menunjukkan potensi kafe sebagai rujukan baru yang dicoba oleh responden setelah pelonggaran pembatasan sosial.
Berdasarkan usia, minat tertinggi berasal dari kelompok muda berusia 17 hingga 30 tahun. Semakin tua usianya, minat untuk bersantai pada masa transisi cenderung menurun.
Dilihat dari status perkawinan, peminat kafe tidak hanya berasal dari kalangan lajang. Responden yang telah memiliki keluarga juga berminat untuk mendatanginya. Proporsinya bahkan berimbang. Kafe menjadi rujukan yang diminati oleh keluarga untuk bersantai.
Bagi para peminat ini, kafe sangat perlu menerapkan prosedur keamanan Covid-19. Prosedur ini antara lain terkait pengaturan jarak antarkursi, pengecekan suhu badan, ketersediaan sarana cuci tangan, dan metode pembayaran.
Sebanyak 52,7 persen responden menyatakan, kafe perlu memastikan penerapan prosedur kesehatan. Sebagian responden pun berharap kafe menyediakan jasa antar (24,5 persen) serta memberikan promo atau potongan harga (20,7 persen). Langkah-langkah ini harus diambil demi menjamin keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat yang hendak mengunjunginya.
Sebanyak 52,7 persen responden menyatakan, kafe perlu memastikan penerapan prosedur kesehatan.
Respons publik tersebut berpotensi menggerakkan roda perekonomian kembali, khususnya dalam bisnis makanan dan minuman dine-in (makan
di tempat). Respons publik yang tidak berminat pun menarik untuk disimak karena menjadi gambaran tentang bagaimana idealnya kafe dijalankan nantinya.
Salah satu pemilik kafe yang memiliki cabang di Jakarta, Bandung, dan Cianjur menjelaskan, jumlah pengunjung kafe yang dibuka kembali semenjak pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terus naik. Penerapan protokol keamanan Covid-19 kepada karyawan dan pengunjung menjadi kunci.
Beberapa langkah pengamanan yang dilakukan, antara lain, mengurangi jam operasional, menyediakan sarana mencuci tangan, mengecek suhu tubuh pengunjung, dan mendorong transaksi nontunai. Meja, kursi, dan perabot lainnya diatur ulang agar memenuhi standar pembatasan jarak dan rutin dibersihkan dengan disinfektan. Ia menyebutkan, kepatuhan pada prosedur jaga jarak dan kebersihan menjadi tantangan dalam menjalankan bisnis pada masa normal baru.
Prosedur yang diterapkan demi menekan risiko penularan menjadi jaminan bagi para pengunjung. Inovasi juga bisa menjadi jalan agar bisnis kafe kembali berputar.
Di Korea Selatan, pembukaan kafe pada masa tatanan baru ditandai dengan penggunaan robot sebagai barista. Dalam artikel yang dimuat dalam laman weforum.org, sebuah kafe di Korsel menggunakan robot untuk mencatat, membuat minuman, dan mengantar pesanan ke meja pelanggan dalam waktu 7 menit. Hanya ada satu karyawan di kafe itu, dengan tugas melakukan bersih-bersih.
Tidak berminat
Meski demikian, masyarakat masih takut keluar rumah dan tertular Covid-19. Dalam jajak pendapat terekam 67,3 persen publik tak berminat datang ke kafe. Alasan utama dari kelompok ini adalah takut keluar rumah dan tertular Covid-19.
Adapun 6,9 persen responden spesifik menyoroti belum ada kafe yang menerapkan standar keamanan dari Covid-19. Rasa takut dan khawatir bahwa fasilitas pendukung protokol kesehatan belum tersedia pun menjadi catatan terhadap kesiapan pemerintah ataupun pemilik kafe.
Sebuah kafe di Korsel menggunakan robot untuk mencatat, membuat minuman, dan mengantar pesanan ke meja pelanggan.
Selain rasa takut, penyebab masyarakat tak berminat datang ke kafe adalah ketiadaan alokasi dana dan tak terbiasanya bersantai di tempat itu. Pendapat ini diutarakan oleh 22,9 persen responden. Dua kelompok yang memiliki alasan ini cenderung melihat kafe sebagai kemewahan. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memperhatikan protokol jaga jarak juga membuat publik khawatir. Kurangnya kesadaran ini terekam, misalnya, pada pengunjung kafe di daerah luar Jakarta.
Di Yogyakarta dan Kota Magelang pada pertengahan Juli 2020, misalnya, pengunjung mengabaikan tanda larangan duduk yang dibuat oleh manajemen kafe. Ahmad Muzaki (27), pengunjung kafe di daerah Malioboro, Yogyakarta, menyatakan, kesadaran masih sulit terbentuk. Dia mengaku risih saat bertemu dengan pelanggan lain yang mengabaikan aturan jaga jarak.
Sebagai bagian dari gaya hidup, aktivitas bersantai di kafe dirindukan publik. Meski demikian, penerapan prosedur keamanan Covid-19 yang belum optimal dan kesadaran warga yang minim untuk menerapkan protokol kesehatan dikhawatirkan menambah risiko penularan. (Litbang Kompas)