Ayo, Jalan Kaki di Masa Pandemi
Jalan kaki meningkatkan kualitas hidup, keberlanjutan lingkungan, dan memberi manfaat ekonomi dengan menciptakan nilai tambah ekonomi pada masyarakat sekitar.

Pejalan kaki melintasi toko yang masih tutup di Jalan Suyakencana, Kota Bogor, Jawa Barat, 28 Mei 2020. Selain menyehatkan, berjalan kaki dapat berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.
Berjalan kaki menjadi salah satu moda transportasi yang disarankan selama masa pandemi. Selain menyehatkan, salah satu bentuk transportasi nonmotor tersebut juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.
Jalan kaki tanpa disadari adalah salah satu bagian dari moda transportasi. Berjalan kaki, menurut buku Pejalan Kaki Riwayatmu Kini (Amelia dkk, 2018), adalah salah satu sarana pergerakan menuju tempat tujuan. Sebelum tercipta berbagai moda transportasi seperti sekarang, orang lebih sering berjalan kaki untuk berpindah tempat.
Sekarang, berjalan kaki sering kali dipadukan dengan moda transportasi lain. Namun, orang cenderung menggunakan kendaraan bermotor dan sangat minim berjalan kaki.
Berjalan kaki menjadi salah satu bagian dari jenis transportasi yang tak menggunakan mesin atau disebut dengan istilah non-motorized transportation (NMT). Dalam piramida moda transportasi, berjalan kaki menduduki puncak tertinggi. Setelah itu, moda NMT lainnya ialah sepeda, becak, rickshaw, dan otopet. Moda tersebut menggunakan alat bantu yang digerakkan atau dikendalikan dengan kaki dan tangan manusia.
Penunjang mobilitas
Masa pandemi ini mengharuskan orang harus saling menjaga jarak satu sama lain guna mencegah penularan virus. Angkutan umum cukup berisiko menjadi tempat penularan karena penumpang saling berdesakan.
Keterbatasan kapasitas transportasi publik dan ketiadaan alternatif moda membuat masyarakat perkotaan di Indonesia cenderung beralih ke kendaraan pribadi. Hal ini dikukuhkan dengan hasil survei BPS (2020) yang menyatakan 83 persen orang menghindari angkutan umum karena khawatir tertular virus.

Lalu lintas di tol dalam kota dan jalan protokol Gatot Subroto, Jakarta, 12 Juni 2020, pukul 17.45, padat.
Penggunaan kendaraan pribadi jelas menimbulkan masalah, mulai dari polusi udara, peningkatan emisi karbon yang mengancam perubahan iklim, hingga kemacetan lalu lintas. Beberapa kota di sejumlah negara menyediakan alternatif agar warga mereka tak menggunakan kendaraan pribadi. Negara-negara tersebut mengajak warga untuk menggunakan sepeda dan berjalan kaki. Ajakan menggunakan sepeda bahkan telah digaungkan jauh sebelum pandemi.
Sejumlah negara pun membangun jalur sepeda sementara untuk melengkapi jalur sepeda yang telah ada. Langkah ini dilakukan, misalnya, oleh Kota Bogota, Kolombia; Mexico City, Meksiko; Berlin, Jerman; Budapest, Hongaria; dan Kota Montpellier, Perancis.
Ada pula beberapa negara yang menambah ruang bagi pejalan kaki. Montreal, Kanada, mengalihfungsikan 2,7 kilometer ruang parkir tepi jalan untuk pejalan kaki. Adapun Selandia Baru memberikan subsidi 90 persen bagi proyek pelebaran trotoar dan jalur sepeda sementara.
Bagaimana dengan Indonesia? Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia merekomendasikan penggunaan moda alternatif, yakni jalan kaki dan bersepeda. ITDP menyebutkan, transportasi tak bermotor bisa mencegah krisis lingkungan sekaligus menjaga kesehatan dengan meningkatkan aktivitas fisik.
Peran lainnya, jalan kaki dan bersepeda menjadi sarana pemulihan pascapandemi. Transportasi individual ini akan membantu penerapan jaga jarak. Namun, rekomendasi ITDP baru diakomodasi Pemprov DKI Jakarta lewat Pergub DKI Nomor 51 Tahun 2020. Peraturan mengenai pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada masa transisi ini menyebutkan, selama masa transisi, semua ruas jalan diutamakan bagi pejalan kaki dan pengguna transportasi sepeda. Dua moda tersebut menjadi sarana mobilitas penduduk sehari-hari untuk jarak yang mudah dijangkau.
Belum rutin
Rekomendasi ITDP menjadi tantangan di Indonesia yang masyarakatnya terbiasa menggunakan kendaraan bermotor dalam mobilitas sehari-harinya, bukan bersepeda ataupun jalan kaki. Jajak pendapat Kompas pada Maret 2019 menunjukkan, hampir 60 persen responden menggunakan sepeda untuk berolahraga. Hanya 16 persen dari mereka, menurut survei dengan responden di Jabodetabek tersebut, yang menggunakannya untuk bekerja. Adapun porsi responden yang menggunakannya untuk pergi ke sekolah sebanyak 9 persen.
Kebiasaan berjalan kaki hasilnya lebih baik. Hampir 70 persen responden dalam survei Kompas pada Januari 2019 di 16 kota besar di Indonesia mengatakan, mempunyai kebiasaan berjalan kaki setiap hari selama 30 menit. Mayoritas di antaranya (54,8 persen) dilakukan untuk pergi ke tempat aktivitas/kerja. Baru setelah itu, 40,7 persen, melakukan rutinitas jalan kaki sebagai olahraga sehari-hari.
Rekomendasi ITDP menjadi tantangan di Indonesia yang masyarakatnya terbiasa menggunakan kendaraan bermotor dalam mobilitas sehari-harinya.
Kebiasaan jalan kaki yang sudah dimiliki mayoritas responden sebelum pandemi tersebut bisa menjadi modal awal untuk menjadikan jalan kaki sebagai moda alternatif di masa pandemi. Rutin berjalan kaki setiap hari tak hanya menjadi urusan kesehatan pribadi.
Berjalan kaki bisa menurunkan polusi udara dan suara, serta menurunkan tingkat stres mental dan fisik. Jalan kaki juga meningkatkan kualitas hidup, keberlanjutan lingkungan, serta memberikan manfaat ekonomi dengan menciptakan nilai tambah ekonomi pada masyarakat sekitar.

Lebar
Di tengah upaya mengajak warga untuk berjalan kaki, kondisi trotoar di perkotaan belum ideal. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13 Tahun 2004 mensyaratkan lebar ruang pejalan kaki minimal 1,5 meter. Ukuran tersebut mempertimbangkan ruang gerak anak-anak, orang dewasa, lansia, dan penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
Upaya pembangunan trotoar ideal masih lebih banyak dilakukan di Jakarta. Pada 2018 hingga sekarang, Jakarta telah merevitalisasi trotoar di 32 ruas jalan. Sebaliknya, di kota-kota lain, kualitas trotoar belum memadai.
Beberapa mediao online lokal memuat berita mengenai trotoar yang lebarnya kurang dari 1,5 meter. Di Purwokerto, Jawa Tengah, dapat ditemui trotoar dengan lebar 1 meter. Bahkan, di Solo, masih ditemukan trotoar yang memiliki lebar kurang dari 1 meter. Hal ini terjadi karena sejumlah bangunan terlalu menjorok ke jalan raya.
Urusan lebar trotoar pada masa pandemi menjadi penting. ITDP merekomendasikan lebar trotoar 2,8 meter. Pertimbangannya, ruang gerak setiap orang maksimal 0,9 meter dan berjarak 1 meter. Ukuran trotoar dengan lebar 2,8 meter hanya ditemui di jalan protokol Sudirman-Thamrin. Bahkan, trotoar yang menghubungkan halte Transjakarta ataupun stasiun juga belum sepenuhnya memadai.
Hal ini menimbulkan masalah saat terjadi antrean penumpang yang akan masuk ke halte atau stasiun. ITDP menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk memperlebar trotoar dengan menyediakan pop-up pedestrian pathway yang menggunakan pembatas jalan sementara. Selain itu, juga diperlukan penambahan jumlah petugas untuk mengawasi protokol jaga jarak.
Trotoar ideal
Trotoar ideal bukan saja berkaitan dengan ukuran lebar 1,5 meter. Trotoar, menurut Panduan Desain: Fasilitas Pejalan Kaki DKI Jakarta 2017-2022 (ITDP, 2019), harus merupakan jalur khusus, terpisah, dan aman bagi pejalan kaki. Jika harus menggunakan badan jalan, trotoar sebaiknya diterapkan pada jalan dengan kecepatan kendaraan maksimal 15 kilometer per jam dan dipasangi penanda.
Trotoar juga dibangun sebagai akses untuk menuju tempat transit, seperti halte atau stasiun, serta akses menuju fasilitas publik. Dari sisi keamanan, trotoar dibangun dengan memperhitungkan kecepatan kendaraan dan luas pandang pengemudi mobil. Lampu penerangan jalan menjadi elemen penting untuk menekan kemungkinan terjadinya tindak kriminalitas.
Secara umum, untuk meningkatkan aksesibilitas, ada aspek yang direkomendasikan ITPD. Aspek itu, antara lain, keberadaan trotoar, fasilitas sepeda, ubin pemandu untuk penyandang disabilitas, lampu penerangan jalan untuk keamanan, dan fasilitas penyeberangan. Guna menghindari kendaraan bermotor yang akan masuk ke trotoar, bisa digunakan bollard dan curb yang berbentuk seperti tongkat yang dipasang permanen di atas trotoar.
Signage atau tiang rambu penanda jalan pun diperlukan tidak hanya oleh pengguna kendaraan bermotor, tetapi juga oleh pejalan kaki. Hal yang perlu diperhatikan ialah soal utilitas dan drainase yang terkadang dibangun asal-asalan sehingga membuat trotoar rusak ataupun terendam genangan.
Kecelakaan pejalan kaki
”Musuh” lain pejalan kaki adalah kendaraan bermotor karena sepeda motor dan mobil sering diparkir di trotoar. Bahkan, sepeda motor memanfaatkan trotoar untuk melintas demi menghindari kemacetan lalu lintas.
Catatan Sistem Manajemen Keselamatan Jalan Terpadu (IRSMS) Korlantas Polri, di kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, dan Surabaya (2016-2018), menyebutkan, dari keseluruhan kasus kecelakaan lalu lintas, sekitar 15 persen di antaranya merupakan pejalan kaki. Angka kematiannya mencapai 17 persen.
Mayoritas penyebab kecelakaan ialah pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, seperti mabuk, tidak konsentrasi karena menelepon atau main HP, dan mengantuk. Hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab masyarakat enggan untuk berjalan kaki. (LITBANG KOMPAS)