Sejak sistem pemilu legislatif dengan pemilihan langsung dijalankan pada Pemilu 2004, pemilih menjadikan ketokohan sebagai pertimbangan dalam memilih parpol. Pola itu menguat dalam Pemilu 2009.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Dalam hal penguatan ”party ID”, aspek identifikasi partai politik dan identifikasi tokoh menjadi corak umum perilaku pemilih pemilu sejak era pemilu langsung tahun 2004. Di sejumlah daerah basis massa loyalis parpol, ”party ID” juga disebabkan aspek kesejarahan.
Sejak sistem pemilu legislatif dengan pemilihan langsung dilakukan pada Pemilu 2004, pemilih sudah mengalami asosiasi ketokohan dalam memilih parpol. Pilihan terhadap Partai Demokrat di Pemilu 2004, misalnya, sangat terasosiasi dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sang Ketua Dewan Pembina. Melalui pencitraan sosok yang masif, parpol baru ini langsung meraih 8,45 juta suara pemilih atau 7,45 persen di pemilu perdana.
Pola itu menguat dalam Pemilu 2009, di mana SBY kembali memenangi kontestasi politik meraih kursi kepresidenan. Pada saat itu perolehan suara partai Demokrat ”melenting” menjadi 21,7 juta atau 20,4 persen dan memenangi pemilu legislatif. Sulit membayangkan keunggulan Partai Demokrat atas parpol mapan berpengalaman, seperti Golkar dan PDI-P, bisa terjadi tanpa keberadaan SBY. Jelas, identifikasi sosok SBY menjadi sama dengan identifikasi parpol.
Sulit membayangkan keunggulan Partai Demokrat atas parpol mapan berpengalaman, seperti Golkar dan PDI-P, bisa terjadi tanpa keberadaan SBY.
Namun, pola demikian tak sepenuhnya terulang dalam Pemilu 2014. Meski PDI-P mampu memenangi pemilu legislatif, kemunculan sosok Joko Widodo (Jokowi) dari Wali Kota Solo dan lalu Gubernur DKI Jakarta tak sepenuhnya mencerminkan asosiasi ke PDI-P. Ini karena sosok yang lebih melekat sebagai simbol PDI-P masih berada pada Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri.
Jokowi muncul sebagai sosok yang paling diunggulkan sebagai presiden. Secara konsisten, ia paling banyak meraih dukungan pemilih. Hasil survei Litbang Kompas, Desember 2013, menunjukkan, 43,5 persen responden menyatakan memilih Jokowi sebagai presiden. Hampir separuh responden yang sebelumnya mengaku memilih Megawati mengalihkan dukungan kepada Jokowi (Kompas, 8/1/2014).
Skor terendah
Survei dari Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang dirilis awal tahun 2018 menyatakan, PDI-P menjadi parpol yang teridentifikasi memiliki party ID cukup kuat di tengah rendahnya derajat party ID di Indonesia.
Skor party ID di Indonesia ada di angka 11,7 persen pada Desember 2017. Artinya, hanya 11,7 persen orang di Indonesia merasa punya ikatan psikologis dengan parpol tertentu dan akan memilih parpol itu kapan pun pemilu digelar. Sementara party ID PDI-P sekitar 20 persen yang menyatakan memilih PDI-P dengan alasan partai pendukung Jokowi (kbr.id, 3/1/2018).
Bagaimanakah party ID berproses sehingga menghantar PDI-P memiliki pemilih yang relatif loyal dan berhasil memenangi tiga kali pemilu di era multipartai saat ini? Kita ambil contoh eksistensi PDI-P di Provinsi Bali, basis pemilih loyal parpol ini.
Bali merupakan wilayah yang secara konsisten memenangkan PDI-P di sejumlah pemilu. Pulau Bali (dan Jawa Tengah) setelah reformasi merupakan lumbung suara bagi PDI-P sehingga kerap dijuluki sebagai ”kandang banteng”.
Sejarah menunjukkan, kedekatan pemilih Bali dengan PDI-P mencakup berbagai aspek. Hal itu, antara lain, dari sosok ibu presiden Soekarno (nenek Megawati), yaitu Ida Ayu Nyoman Rai, yang berasal dari Singaraja, Bali. Hal ini mendorong terjadinya transformasi ideologi dari bentuk ”identitas politik wilayah” ke identitas kelembagaan partai.
Individu lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam format identitas nasional, menyerap nilai dan etos yang membentuk karakter diri secara mendalam. Komunitas politik Bali yang mewadahi identitas kedaerahan juga membentuk lapis strata dan struktur ruang yang memberikan warna, intensitas, dan membentuk sebuah kesadaran ikatan mendasar yang sam. (Parekh 2008:56).
Sejarah menunjukkan, kedekatan pemilih Bali dengan PDI-P mencakup berbagai aspek.
Dalam kasus Bali, kemenangan PDI-P terjadi berulang-ulang karena telah terjadi party institutionalization, yaitu identitas parpol, dalam hal ini PDI-P, yang telah melebur ke dalam sistem sosial masyarakat Bali. Terbangun rasa suka terhadap parpol itu karena semangatnya dinilai sama atau kontekstual dengan kondisi sosial setempat.
Kondisi ini terus berlangsung sehingga preferensi tumbuh dan akhirnya membentuk loyalitas. Evaluasi retrospektif yang bersifat rasional atas kinerja parpol yang berkuasa menghasilkan persepsi personal untuk dipilih ataupun tidak dipilih. Hal itu yang menjadi pertimbangan dalam memilih calon atau parpol pada pemilu (Mujani, 2012: 34).
Keterkaitan etik
Tingginya tingkat kemenangan PDI-P di Bali juga bisa dirunut dari sejarah perkembangan kepartaian di provinsi ini dan kuatnya sosio-religi masyarakat Bali. Dari sejumlah penelitian antropologi tentang sejarah kepartaian di Bali, muncul sejumlah simpul perubah sosial yang penting, di antaranya kuatnya afiliasi massa di Bali dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pengekangan politik yang dilakukan melalui aparat di masa Orde Baru tak mampu menghapus kedalaman aspirasi politik itu yang sebelumnya sudah tertanam sejak era 1960-an. Sebaliknya, berbagai tekanan itu justru ”meletus” ketika proses transisi demokrasi terjadi pada 1998.
Kedekatan masyarakat Bali dengan PDI-P juga diakibatkan karakteristik masyarakat Bali yang akar kulturalnya bersifat sekuler. Agama dan sistem sosial masyarakat Bali menciptakan tipikal masyarakat kolektif yang mengarahkan orang Bali untuk hidup secara kekerabatan.
Ketua-ketua Banjar, misalnya, biasanya adalah pendukung PNI lama. Sifat kolektif masyarakat itu diperkuat oleh hubungan biologis simbolis yang menghubungkan Ida Ayu Nyoman Rai-Soekarno-Megawati-PDIP-Bali. Susunan pemahaman sosial itu ditambah fakta sosiologis bahwa mereka adalah kelompok minoritas di tengah mayoritas.
Mereka percaya bahwa dukungan bagi parpol nasionalis akan lebih memperjuangkan persamaan bagi seluruh umat ketimbang masuk ke parpol agama tertentu. Kecenderungan semacam ini bahwa kelompok minoritas akan mendukung parpol besar yang sekuler merupakan kelaziman langkah politik yang juga terjadi di sejumlah negara demokrasi.
Itulah sebagian jejak kekuatan PDI-P yang melembaga di masyarakat Bali. Meski tak selalu menang secara absolut di DPR dan DPRD, tak terbantahkan Bali adalah contoh proses party ID yang terkuat bagi PDI-P.