”Party ID” dan Kemandirian Parpol
Salah satu cara memperkuat ”party ID” adalah menerapkan sistem proporsional tertutup: nama caleg terpilih ditentukan parpol. Fanatisme pemilih yang memilih caleg tertentu berdasarkan transaksi pragmatis bisa dihapus.
Faktor sosiologis masih menjadi faktor penting yang menentukan perilaku dan pilihan politik pemilih pemilu. Faktor tersebut banyak berperan dalam membentuk perilaku pemilih yang berorientasi pada perasaan kedekatan dengan partai politik tertentu.
Party ID atau party identification adalah konsep tentang kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu. Semakin dekat dan suka dengan parpol pilihannya, pemilih akan semakin loyal dan terus memilih parpol itu dalam pemilu. Di saat yang sama, pemilih juga cenderung bersedia melakukan ”pengorbanan” kepada parpolnya, termasuk menyumbang materi dan tenaga.
Sebaliknya, semakin minim tingkat kesukaan pemilih terhadap parpol pilihannya, pemilih akan semakin enggan melakukan tindakan pengorbanan atas dasar kesukarelaan (voluntarisme). Masyarakat demokrasi dengan ciri pemilih pemilu semacam ini akan cenderung membentuk perilaku politik yang transaksional dan pragmatis.
Semakin minim tingkat kesukaan pemilih terhadap parpol pilihannya, pemilih akan semakin enggan melakukan tindakan pengorbanan atas dasar kesukarelaan.
Dalam sejumlah studi tentang party ID, rendahnya tingkat kesukaan terhadap parpol secara umum ditengarai menyebabkan rendahnya kemauan pemilih untuk berperan secara aktif dalam proses pemilu. Seandainya berperan, kerap kali mereka ”berharap” mendapatkan imbalan atas ”jasa”-nya dalam memilih parpol tersebut.
Salah satu indikasinya, hingga pemilu termutakhir April 2019, isu imbalan dalam politik (politik uang) masih muncul, baik di masa pra-pemilu, jelang pencoblosan, hingga pasca-pemilu. Praktik politik uang ditengarai marak dilakukan, terutama oleh para calon anggota legislatif (caleg), baik dengan praktik ”membeli” suara saat masa kampanye maupun ”serangan fajar” jelang pencoblosan.
Hasilnya, selama masa kampanye Pemilu 2019, Kepolisian Negara RI melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) telah mengungkap 35 kasus dugaan politik uang. Kasus itu ditemukan di hampir semua wilayah Indonesia, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
Kasus dugaan politik uang juga terungkap pada masa tenang, seperti di Ciamis (Jabar), Padang Lawas Utara (Sumut), Asahan (Sumut), Solok (Sumatera Barat), Pangandaran (Jabar), Bandung (Jabar), Lombok Timur (NTB), Batam (Kepulauan Riau), Jakarta Utara (DKI Jakarta), Nias (Sumut), serta Ponorogo dan Lamongan (Jatim) (Kompas, 17/4/2019).
Besarnya massa pemilih yang bersifat ”mengambang” atau ”abu-abu” dalam memilih baik caleg maupun parpol menyebabkan mereka harus banyak berkorban untuk meraih simpati. Bukan rahasia lagi, dibutuhkan modal finansial yang tak sedikit dari parpol untuk bisa lolos ambang batas pemilu dan bagi caleg untuk duduk sebagai anggota lembaga legislatif. Modal finansial ini juga masih harus disertai modal waktu, tenaga, dan perhatian.
Dibutuhkan modal finansial yang tak sedikit dari parpol untuk bisa lolos ambang batas pemilu dan bagi caleg untuk duduk sebagai anggota lembaga legislatif.
Direktur Utama Saiful Mujani Research Center (SMRC) Djayadi Hanan, sebagaimana dimuat dalam laman kbr.id, menyatakan rendahnya tingkat party ID pemilih pemilu di Indonesia. Tingkat kedekatan warga Indonesia dengan parpol yang diyakininya hanya 11,7 persen, menurut hasil survei pada Desember 2017. Artinya, hanya 11,7 persen responden yang meyakini parpol pilihannya dan akan memilih kembali parpol itu kapan pun pemilu digelar.
”Party ID Indonesia masih kalah jauh jika dibandingkan Belgia, Australia, Israel, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan,” kata Djayadi. Menurut dia, tidak konsistennya masyarakat Indonesia terhadap parpol pilihan dipengaruhi siapa pemimpin parpolnya dan juga banyaknya parpol baru di setiap penyelenggaraan pemilu (kbr.id, 2/1/2018).
Survei SMRC itu digelar pada 7-13 Desember 2017 menggunakan 1.220 responden nasional dengan 87 persen responden valid dan nir-pencuplikan ± 3,1 persen.
Dana parpol
Konsekuensi dari rendahnya tingkat rasa kepemilikan (sense of belonging) parpol ini menyebabkan warga pemilih tak melakukan upaya yang cukup untuk berkontribusi dalam kemenangan parpol yang dipilihnya. Tidak banyak kelompok warga yang mandiri dan sukarela melakukan iuran dana, memobilisasi suara, berkampanye, dan melakukan berbagai tindakan dukungan lain demi parpol.
Akibatnya berikutnya, hingga saat ini belum ada parpol yang benar-benar mampu mandiri secara finansial melalui upaya menghimpun dana warga atau masyarakat pemilihnya. Alih-alih mendapatkan dana publik, semua parpol mendasarkan biaya operasionalnya dari berbagai sumber internal, terutama dari kader parpol dan simpatisan. Karena berasal dari sumber internal, transparansi dan akuntabilitas nyaris tak terjadi kecuali di proses pemilu.
Yang lebih parah adalah potensi perilaku korupsi yang dilakukan kader parpol untuk biaya operasional parpol. Di sejumlah kasus korupsi yang melibatkan sejumlah parpol kerap terungkap pengakuan terdakwa yang melakukan korupsi atas perintah struktur parpol untuk membiayai kegiatan atau hajatan parpol.
Pengaturan pendanaan politik di tataran internal parpol yang tidak transparan menjadi pintu masuk yang melanggengkan praktik semacam ini. Parpol mendapat kebebasan untuk menentukan iuran/sumbangan anggota, khususnya bagi kader mereka yang sedang menjabat.
Di banyak kasus, iuran itu sering kali melebihi batas kemampuan atau tidak sesuai dengan profil serta pendapatannya sebagai pejabat publik. Kondisi ini akhirnya ikut memicu korupsi politik. Korupsi ini terjadi di berbagai tahapan, mulai dari perekrutan caleg dan calon kepala daerah sampai ketika elite menduduki jabatan publik di DPR/DPRD dan pemerintahan pusat/daerah.
Parpol mendapat kebebasan untuk menentukan iuran/sumbangan anggota, khususnya bagi kader mereka yang sedang menjabat.
Salah satu cara untuk menekan korupsi politik di sejumlah negara adalah dengan mendanai parpol. Ketergantungan finansial parpol terhadap para kadernya di eksekutif ataupun legislatif dikurangi melalui adanya subsidi negara bagi parpol. Subsidi negara ini dihitung melalui jumlah suara yang diperoleh di pemilu yang mencerminkan jumlah dukungan politik parpol itu.
Saat ini, subsidi finansial negara bagi parpol masih amat kurang. Dana parpol selama ini bersumber dari iuran anggota, subsidi negara, dan sumbangan pribadi atau badan usaha yang tidak mengikat serta jumlahnya dibatasi undang- undang.
Upaya mengurangi persoalan ini telah dilakukan pemerintah, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Bantuan dari negara untuk mendanai parpol dinaikkan dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per perolehan suara di pemilu sebelumnya. Namun, ini belum bisa menutup kebutuhan minimum pendanaan parpol.
Proporsional tertutup
Cara yang lain diusulkan untuk memperkuat party ID adalah dengan mengembalikan sistem proporsional tertutup (nama caleg terpilih ditentukan parpol) dari yang saat ini bersifat terbuka (nama caleg terpilih ditentukan mekanisme suara terbanyak). Pemilihan caleg dengan sifat tertutup dinilai akan mengalihkan fanatisme pemilih yang memilih caleg tertentu berdasarkan transaksi pragmatis (politik uang) menjadi kepada parpol saja.
Upaya ini tentu saja juga perlu didukung tindakan lain agar parpol semakin dapat diidentifikasi oleh pemilih tanpa menghiraukan susunan caleg yang akan terpilih di pemilu. Misalnya, kampanye yang lebih menonjolkan program dan visi-misi parpol ketimbang janji politik calon anggota legislatif.
Namun, untuk sampai mengubah sistem seleksi caleg dari terbuka menjadi tertutup bukan perkara mudah. Isu perubahan sistem seleksi ini sering dibaca publik sebagai serangan terhadap keterbukaan dan peran politik warga negara di era Reformasi yang serba terbuka, transparan, dan partisipatif. Hasil jajak pendapat terbaru Litbang Kompas menunjukkan, publik masih cenderung memilih berdasarkan nama yang dikenalnya ketimbang yang disusun oleh partai berdasarkan nomor urut.
Bagaimanapun, diskursus serta upaya mencari format terbaik dan kompatibel bagi pemilih pemilu di Indonesia harus terus dilakukan tanpa menafikan upaya baru untuk meredam maraknya korupsi akibat lemahnya party ID dan kemandirian finansial parpol. (LITBANG KOMPAS)